Syariah

Pemakaian Kerudung bagi Muslimah menurut Ibnu Asyur

Rab, 22 Januari 2020 | 08:00 WIB

Pemakaian Kerudung bagi Muslimah menurut Ibnu Asyur

(Ilustrasi: IBTimes.co.uk)

Penafsiran An-Nur ayat 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ 

Artinya, “Dan katakanlah Muhammad kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya, menjaga kemaluannya, tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak dari mereka, dan hendaklah mereka melekatkan kerudungnya pada kerahgamisnya (sekira antara ujung kedurung dan pangkal kerah gamisnya tidak menyisakancelah yang dari situ jenjang lehernya menjadi tampak/kelihatan) …”(Surat An-Nur ayat 31).

Secara lebih terperinci Ibnu ‘Asyur menyatakan, kata "zinah" atau perhiasan dalam ayat dapat interpretasikan dengan dua tafsir: zinah muktasabah yaitu perhiasan wanita yang dapat diusahakan manusia; dan zinah khilqiyyah yaitu perhiasan wanita yang bersifat given, bawaan sejak lahir.

Bila perhiasan wanita dalam Surat An-Nur ayat 31 dimaknai sebagai zinah muktasabah atau perhiasan wanita yang dapat diusahakan oleh manusia, seperti celak, kuteks, henna, gelang kaki dan semisalnya, maka perhiasan yang dikecualikan dalam ayat dan boleh ditampakkan oleh wanita adalah perhiasan yang tempatnya merupakan anggota tubuh wanita yang tidak ditutupi olehnya, yaitu wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki. Ibnu ‘Asyur menegaskan:

فَمَعْنَى مَا ظَهَرَ مِنْهَا: مَا كَانَ مَوْضِعُهُ مِمَّا لَا تَسْتُرُهُ الْمَرْأَةُ وَهُوَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ وَالْقَدَمَانِ

Artinya, “Maka berdasarkan penafsiran perhiasan dalam ayat adalah perhiasan yang dapat diusahakan manusia, maka makna perhiasan yang tampak dari wanita adalah perhiasan yang tempatnya tidak ditutup oleh wanita, yaitu wajah, keuda telapak tangan dan kedua telapak kaki,” (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XX, halaman 207).

Adapun bila perhiasan wanita dalam Surat An-Nur ayat 31 dimaknai sebagai zinah khilqiyyah atau perhiasan yang bersifat given, pembawaan semenjak dari lahir, yaitu seluruh tubuh, sebagaimana interpretasi sekelompok mufassirin, maka perhiasan yang dikecualikan dalam ayat dan boleh ditampakkan oleh wanita adalah wajah, kedua telapak tangan; dan ada yang berpendapat termasuk kedua telapak kaki dan rambut.  

Perlu diperhatikan, meskipun mengutip pendapat ulama yang menyatakan ‘termasuk bagian tubuh yang boleh ditampakkan oleh wanita adalah rambut’, namun tidak dapat disimpulkan bahwa Ibnu ‘Asyur menyetujuinya dan tidak mewajibkan menutup aurat bagian kepala, rambut, telinga, leher dan dada. Sebab menurutnya, dengan Surat An-Nur ayat 31 itu Allah SWT justru melarang wanita muslimah dari tasahul atau serampangan memakai kerudung. 

Dari sini, sangat tidak tepat bila disimpulkan bahwa Ibnu ‘Asyur tidak mewajibkan muslimah memakai kerudung penutup aurat bagian kepala, rambut, telinga, leher dan dada. Apalagi sampai menyimpulkan bahwa Ibnu ‘Asyur tidak mewajibkan mereka memakai kerudung sama sekali. Simpulan seperti ini jelas-jelas keliru.

Lihatlah bagaimana Ibnu ‘Asyur menafsirkan frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ, yang melarang wanita muslimah untuk tasahul atau serampangan dalam memakai kerudung, yaitu kain yang dipakai wanita muslimah di kepalanya untuk menutupi rambut, leher dan kedua telinganya. Karena terkadang mereka menurunkan kerudung ke punggungnya, seperti yang dilakukan wanita-wanita bangsa Nabath, bangsa Arab kuno yang menetap di Yordania hingga ke sebelah utara Damaskus sehingga membuat leher, dada, kedua telinga tidak tertutup. Karenanya Allah SWT memerintah mereka untuk memakai jilbab dengan firman-Nya: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ. (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XVIII, halaman 208).

Lebih tegas lagi secara terang-terangan Ibnu ‘Asyur menafsirkan frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ sebagai berikut: 

وَالْمَعْنَى: لِيُشَدِّدْنَ وَضْعَ الْخُمُرِ عَلَى الْجُيُوبِ، أَيْ بِحَيْثُ لَا يَظْهَرُ شَيْءٌ مِنْ بَشَرَةِ الْجِيدِ.وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ:بِخُمُرِهِنَّ، لِتَأْكِيدِ اللُّصُوقِ مُبَالَغَةً فِي إِحْكَامِ وَضْعِ الْخِمَارِ عَلَى الْجِيبِ زِيَادَةً عَلَى الْمُبَالَغَةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ فِعْلِ: يَضْرِبْنَ. وَالْجُيُوبُ: جَمْعُ جَيْبِ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَهُوَ طُوقُ الْقَمِيصِ مِمَّا يَلِي الرِّقَبَ. وَالْمَعْنَى:وَلْيَضَعْنَ خُمُرَهُنَّ عَلَى جُيُوبِ الْأَقْمِصَةِ بِحَيْثُ لَا يَبْقَى بَيْنَ مُنْتَهَى الْخِمَارِ وَمَبْدَاءِ الجَيبِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ الْجِيدُ.

Artinya, “Arti frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ adalah ‘Hendaklah wanita-wanita beriman itu meletakkan kerudungnya di kerah gamisnya secara kokoh’. Maksudnya sekira kulit lehernya tidak tampak sedikitpun. Huruf Ba’ dalam kata: بِخُمُرِهِنَّ berfungsi menguatkan pelekatan kerudung, sebagai mubalaghah dalam mengukuhkan peletakan kerudung pada kerah gamis, sebagai tambahan atas mubalagah yang sudah ada pada fi’il: يَضْرِبْنَ. Sedangkan kata: جُيُوبِ merupakan bentuk jamak dari kata: جَيْبِ dengan huruf jim dibaca fathah, yang artinya adalah kerah baju gamis yang dekat dengan leher. Jadi, makna frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ secara lengkap adalah ‘Hendaklah wanita-wanita beriman melekatkan kerudungnya pada kerah gamisnya, sekira tempat di antara ujung kedurung dan pangkal kerah gamisnya tidak menyisakan celah yang dari situ jenjang lehernya menjadi tampak/kelihatan,’” (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XVIII, halaman 208).

Konteks Rambut Wanita Muslimah Boleh Ditampakkan
Dalam suatu kesempatan Ibnu ‘Asyur merespon pertanyaan tentang bagian tubuh mana saja dari wanita muslimah yang wajib ditutup rapat dari pandangan orang lain. Hal ini dikutip oleh At-Thahir Al-Haddad:

إِنَّ الَّذِي يَجِبُ سَتْرُهُ مِنَ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ هُوَ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَنْ غَيْرِ الزَّوْجِ، وَمَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْأَطْرَافَ عَنِ الْمَحَارِمِ. وَالْمُرَادُ بِالْأَطْرَافِ: اَلذِّرَاعُ وَالشَّعْرُ وَمَا فَوْقَ النَّحْرِ. وَيَجُوزُ لَهَاأَنْ تُظْهِرَ لِأَبِيهَا مَا لَا تُظْهِرُهُ لِغَيْرِهِ مِمَّا عَدَا الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةِ. وَكَذَا لِابْنِهَا. وَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ وَجْهِهَا وَلَا كَفَّيْهَا عَنْ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ.  

Artinya, “Sungguh bagian tubuh dari wanita merdeka yang wajib ditutup adalah bagian tubuh di antara pusar dan lutut di hadapan suaminya; dan selain wajah dan athraf atau berbagai bagian ujung tubuhnya di hadapan mahramnya. Yang dimaksud athraf adalah lengan, rambut dan bagian atas dada. Di hadapan ayahnya ia boleh menampakkan bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada selainnya, kecuali aurat mughallazhah (dua kemaluan). Demikian pula untuk anaknya. Bagi wanita merdeka tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya di hadapan siapapun,” (At-Thahir Al-Haddad, Imra’atuna fis Syari’ah wal Mujtama, [Kairo-Beirut, Darul Kitab Al-Mishri dan Darul Kitab Al-Lubnani: 2011 M], halaman 93-116).

Menurut penulis, jawaban ini menunjukkan bahwa konteks ‘pendapat ulama yang membolehkan rambut wanita muslimah ditampakkan’ dalam tafsir Ibnu ‘Asyur adalah ketika wanita muslimah dalam kondisi di hadapan mahramnya—dan tentu suaminya—. Bukan di hadapan laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya, yang justru bertentangan dengan mazhab Maliki yang dianut Ibnu ‘Asyur. Dalam hal ini Syekh Ali As-Sha’idi Al-‘Adawi (1112-1189 H/1700-1775 M), pakar fikih Maliki asal Mesir, menjelaskan:

وَأَمَّا عَوْرَةُ الْحُرَّةِ مع الذُّكُورِ الْمُسْلِمِينَ الْأَجَانِبِ فَجَمِيعُ جَسَدِهَا إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا ... وَأَمَّا عَوْرَتُهَا مع مَحْرَمِهَا ... فَجَمِيعُ جَسَدِهَا إلَّا الْوَجْهَ وَالْأَطْرَافَ فَلَا يَجِبُ عليها سَتْرُ الْوَجْهِ وَالْأَطْرَافِ بِالنِّسْبَةِ لِمَحْرَمِهَا

Artinya, “Adapun aurat wanita merdeka bersama laki-laki muslimin ajnabi yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya … Sedangkan auratnya bersama mahramnya … maka seluruh tubuhnya kecuali wajah dan athraf (termasuk rambut). Karenanya ia tidak wajib menutup wajah dan athrafnya di hadapan mahramnya.” (Ali As-Sha’idi Al-‘Adawi, Hasyiyyatul ‘Adawi ‘ala Syarhi Kifayatit Thalib Ar-Rabbani, [Beirut, Darul Fikr: 1412 H], juz I, halaman 215).

Pemahaman seperti inilah yang lebih mendekati kebenaran daripada pemahaman yang mengarahkan pendapat itu pada konteks yang lebih luas. Simpulan keliru atas pandangan Ibnu ‘Asyur jelas-jelas bertentangan dengan penjelasan Ibnu ‘Asyur sendiri dalam kitab tafsirnya dan bertentangan dengan ketentuan fikih Maliki yang dianut oleh Ibnu ‘Asyur (yang hanya membolehkan wanita muslimah menampakkan wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki ajnabi atau yang bukan mahramnya).

Dengan demikian tidak tepat bila ‘pendapat yang membolehkan wanita membuka rambutnya’ dalam tafsir Ibnu ‘Asyur itu digunakan untuk membenarkan wanita muslimah yang belum berjilbab atau memakai kerudung secara ideal.

Simpulan
Walhasil, dari analisa tulisan ini diketahui bahwa: pertama, asumsi Ibnu ‘Asyur tidak mewajibkan wanita muslimah memakai jilbab, dalam arti kerudung yang menutup aurat bagian kepala, rambut, telinga, leher dan dada, adalah asumsi yang jelas-jelas keliru. Yang terjadi sebenarnya adalah kekurangtepatan dalam memahami dan menyimpulkan pendapat Ibnu ‘Asyur.

Kedua, konteks ‘pendapat ulama yang membolehkan rambut wanita muslimah boleh ditampakkan’ dalam tafsir Ibnu ‘Asyur adalah ketika wanita muslimah dalam kondisi di hadapan mahramnya. Pemahaman seperti inilah yang lebih mendekati kebenaran daripada pemahaman yang mengarahkan pendapat itu pada konteks yang lebih luas, karena jelas-jelas bertentangan dengan penjelasan Ibnu ‘Asyur sendiri dalam tafsirnya dan bertentangan dengan ketentuan mazhab Maliki yang dianut Ibnu ‘Asyur (yang hanya membolehkan wanita muslimah menampakkan wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki ajnabi atau yang bukan mahramnya).

Demikian upaya penulis dalam mengurai isu ketidakwajiban berjilbab bagi wanita muslimah berdasarkan pendapat Ibnu ‘Asyur. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi yang sehat dan memperkaya khazanah ilmu keislaman. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
 
 
 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur