Syariah

Pemakaian Jilbab bagi Muslimah menurut Ibnu Asyur

Sel, 21 Januari 2020 | 12:30 WIB

Pemakaian Jilbab bagi Muslimah menurut Ibnu Asyur

Ibnu ‘Asyur sama sekali tidak menafikan kewajiban muslimah untuk memakai jilbab, kerudung atau pakaian apapun yang berfungsi menutup aurat bagian kepala, rambut, leher dan dada.

Silang pendapat tentang wajib tidaknya jilbab bagi muslimah terus berlangsung dengan beragam referensi. Sebagian orang menyatakan jilbab tidak wajib bagi muslimah dengan mengambil rujukan karya Imam Ibnu ‘Asyur (1296-1394 H/1879-1937 M) asal Tunisia, yaitu Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyyah dan Tafsir At-Tahrir wat Tanwir; karya Syekh Abdullah bin Bayyah (1935 M-…) asal Republik Islam Mauritania di Afrika Barat, yaitu Shina’atul Fatawa wa Fiqhul Aqalliyyat; dan karya semisalnya.

Tulisan ini berusaha mendudukkan pendapat mufassir Tunisia itu—pendapat Abdullah bin Bayyah insya Allah akan diulas pada tulisan berikutnya—secara proporsional, dan menguji apakah ia benar-benar tidak mewajibkan jilbab bagi kaum muslimah; atau yang terjadi sebenarnya adalah kekurangtepatan dalam penyimpulan pendapatnya.

Larangan Pemaksaan Adat Kepada Bangsa Lain 
Memang benar Ibnu ‘Asyur menyatakan, adat suatu bangsa dalam posisinya sebagai adat tidak boleh dipaksakan kepada bangsa lain atas nama agama, dan bahkan tidak dapat dipaksakan kepada masyarakat bangsa itu sendiri. Termasuk juga urusan model jilbab sebagai sebuah adat bangsa Arab. Ia mengatakan:

فَنَحْنُ نُوقِنَ أَنَّ عَادَاتِ قَوْمٍ لَيْسَتْ يَحِقُّ لَهَا—بِمَا هِيَ عَادَاتٌ—أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهَا قَوْمٌ آخَرُونَ فِي التَّشْرِيعِ، وَلَا أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهَا أَصْحَابُهَا كَذَلِكَ ... وَفِي الْقُرْآنَ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ (الأحزاب: 59). فَهَذَا شَرْعٌ رُعِيَتْ فِيهِ عَادَةُ الْعَرَبِ. فَالْأَقْوَامُ الَّذِينَ لَا يَتَّخِذُونَ الْجَلَابِيبَ لَا يَنَالُهُمْ مِنْ هَذَا التَّشْرِيعِ نَصِيبٌ

Artinya, “Maka kami sangat yakin bahwa adat suatu bangsa tidak boleh—dalam posisinya sebagai sebagai adat—dipaksakan kepada bangsa lain atas nama syariat, dan tidak boleh pula adat tersebut dipaksakan kepada bangsa itu sendiri atas nama syariat pula … Dalam al-Qur’an disebutkan: ‘Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan wanita-wanita orang beriman untuk memakai jilbabnya (dengan menutupi wajah dan kepala mereka dan hanya menampakkan satu mata; atau mengikatkan jilbabnya pada dahi mereka: baca Tafsir At-Thabari juz XX halaman 324-325). Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak disakiti oleh para lelaki yang kurang ajar’ (Surat Al-Ahzab ayat 59). Ini adalah tasyri’ atau pemberlakuan syariat yang di dalamnya terdapat pertimbangan adat istiadat bangsa Arab sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak memakai model jilbab seperti ini tidak mendapatkan bagian atau pemberlakuan syariat—untuk wajib memakai model jilbab seperti yang disinggung dalam ayat—.”(Muhammad At-Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyyah, [Kairo-Beirut, Darul Kitab Al-Mishri dan Darul Kitab Al-Lubnani: 2011 M], halaman 156-157).

Sekali lagi penting diutarakan, dalam konteks ini yang dimaksud oleh Ibnu ‘Asyur adalah model jilbab bangsa Arab tempo dulu, bukan jilbab itu sendiri dalam pengertian umum kita yaitu kain penutup aurat kepala, rambut, leher dan dada, yang di Indonesia juga lazim disebut kerudung. Sederhananya, Ibnu ‘Asyur sama sekali tidak menafikan kewajiban muslimah untuk memakai jilbab, kerudung atau pakaian apapun yang berfungsi menutup aurat bagian kepala, rambut, leher dan dada. 

Nah, model jilbab bangsa Arab tempo dulu seperti itulah yang oleh Ibnu ‘Asyur dianggap sebagai adat bangsa Arab dan tidak boleh dipaksakan kepada bangsa lain atas nama agama.
 
Adapun untuk kewajiban menutup menutup aurat bagi muslimah—dengan jilbab, kerudung dan berbagai mode pakaian lainnya—tidak dinafikannya dan otomatis tetap diakuinya sebagai syariat yang berlaku secara universal bagi setiap muslimah di seluruh dunia sesuai universalitas syariat Islam itu sendiri. Simpulan seperti ini dapat dibuktikan dengan memahami secara tepat penafsiran Ibnu ‘Asyur pada An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59.

Penafsiran Al-Ahzab ayat 59
 
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ...(الأحزاب: 59) 

Artinya, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan wanita-wanita orang beriman untuk memakaikan jilbabnya pada diri mereka—dengan menutupi wajah dan kepala mereka dan hanya menampakkan satu mata; atau mengokohkan jilbabpada dahi mereka—. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal—sehingga tidak diganggu oleh para lelaki yang kurang ajar—.” (Surat Al-Ahzab ayat 59). (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qur’an, [Giza, Daru Hijr: 1422 H/2001 M], cetakan pertama, juz IXX, halaman 181-182).

Ibnu ‘Asyur menjelaskan dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, definisi jilbab yang dimaksud ayat adalah pakaian yang lebih kecil daripada rida’ dan lebih besar daripada khimar dan qina’, yang dikenakan oleh wanita di kepala, yang dua sisinya menjulur ke arah dua sisi dagu dan sisanya menjulur ke arah pundak dan punggung, yang dikenakan ketika keluar rumah dan bepergian.

Ia juga menyatakan, jauh sekali bila dipahami bahwa tujuan utama ayat adalah memerintah pemakaian jilbab seperti itu yang dapat berbeda-beda sesuai kondisi dan adat pemakainya. Namun maksud utamanya adalah substansi firman Allah SWT: ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ. “Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak disakiti oleh para lelaki yang kurang ajar,” (M At-Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, [Tunis, Daru Sahnun: 1997 M], juz XX, halaman 106-107).

Tempo dulu jilbab merupakan identitas bagi wanita merdeka. Budak wanita tidak memakainya. Wanita merdekalah yang memakainya ketika keluar untuk mengunjungi berbagai tempat dan semisalnya. Mereka juga tidak memakainya ketika malam hari dan ketika keluar ke Manashi’ (tempat buang hajat atau nama tempat di luar kota Madinah), di mana mereka tidak pergi ke sana kecuali malam hari.

Kemudian di waktu berikutnya, setiap keluar rumah mereka diperintah untuk memakai jilbab seperti itu agar dikenali sebagai wanita merdeka sehingga tidak diganggu oleh pemuda-pemuda bermental porno yang menyangka mereka sebagai budak; atau agar orang-orang munafik tidak mengganggu mereka dengan ucapan-ucapan tak senonoh yang menghinakan mereka untuk sekadar menggaggu. Bahkan terkadang mereka justru membalas orang yang menggangunya dengan sumpah serapah, sehingga kedua belah pihak tersakiti. Perintah mengenakan jilbab semacam ini merupakan bagian dari saddud dzari’ah. (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XX, halaman 107). (bersambung...)
 
 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur