Syariah

Pentingnya Meluruskan Niat ketika Hendak Menunaikan Ibadah Haji

Senin, 12 Juni 2023 | 12:00 WIB

Pentingnya Meluruskan Niat ketika Hendak Menunaikan Ibadah Haji

Ilustrasi jamaah haji. (Foto: MCH)

Salah satu hal yang sangat penting untuk dijaga dan benar-benar diperhatikan dengan baik oleh semua jamaah haji yang hendak menunaikan rukun Islam kelima itu adalah perihal niat. Sebab, niat memiliki peran yang sangat penting dalam suatu perbuatan atau ibadah manusia. Dengan niat, semua jamaah haji dapat mengetahui keinginan dan arah yang ditujunya, sehingga ia bisa mencapai kesadaran diri untuk meraih apa yang telah menjadi tujuan intinya.

 

Jika tujuan ibadah hajinya sudah benar dari awal, maka semua rukun dan syarat haji akan dilakukan dengan penuh ikhlas. Begitu juga sebaliknya, ibadah haji yang dilakukan dengan niat yang tidak benar, maka semua rukun dan syaratnya akan dilakukan dengan penuh ketidak-ikhlasan. Di sinilah pentingnya memperbaiki niat.

 

Oleh karena itu, Rasulullah sudah memprediksi sejak beberapa abad yang lalu perihal keberadaan orang-orang yang akan melakukan ibadah haji dengan tujuan yang tidak benar. Misalnya, mereka yang kaya akan berhaji dengan tujuan untuk healing, berwisata, jalan-jalan dan lainnya; mereka yang memiliki pendapatan sedang-sedang saja (menengah) akan berhaji dengan tujuan untuk berdagang, mencari uang, bekerja, dan lainnya; mereka yang terhormat akan berhaji dengan tujuan pamer dan sombong; dan fakir akan berhaji dengan tujuan untuk mengemis. Dalam salah satu haditsnya, nabi bersabda:

 

يَأْتِي على النَّاسِ زَمَانٌ يحجُّ أغنياؤهُم للنّزْهَةِ وَأَوْسَاطُهُمْ للتّجَارَةِ وَأَغْلَبُهُمْ للرِّيَاءِ والسُّمْعَةِ وفُقَرَاؤُهُمْ للمَسْأَلَةِ

 

Artinya, “Akan datang pada manusia suatu masa, di mana orang-orang kaya menunaikan ibadah haji untuk berwisata, orang-orang menengah untuk berdagang, orang-orang pandai untuk mendapatkan pujian dan pamer, dan orang-orang fakir untuk meminta-minta.” (HR Anas bin Malik).

 

Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H) dalam karya monumentalnya menjelaskan bahwa tujuan-tujuan dalam hadits di atas merupakan tujuan duniawi yang manusia upayakan dengan cara melakukan ibadah haji, bahkan bisa menjadi penghalang untuk mendapatkan kemuliaan ibadah haji. Dalam karyanya al-Ghazali menyebutkan:

 

فَكُلُّ ذَلِكَ مِمَّا يَمْنَعُ فَضِيْلَةَ الْحَجِّ وَيُخْرِجُهُ عَنْ حَيْزِ حَجِّ الْخُصُوْصِ

 

Artinya, “Semua itu (tujuan-tujuan dunia) termasuk sesuatu yang bisa menjadi penghalang dari keutamaan haji, dan mengeluarkannya dari status hajinya orang-orang istimewa.” (al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], juz I, halaman 262).

 

Berdasarkan hadits dan penjelasan di atas, sudah seharusnya para jemaah haji benar-benar memperhatikan dan memperbaiki niatnya ketika hendak menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima tersebut. Sebab, niat yang benar akan menjadi modal utama untuk mencapai haji yang mabrur dan meraih predikat sebagai haji orang-orang istimewa. Lantas, seperti apa niat yang benar ketika hendak menunaikan ibadah haji? Berikut penjelasannya.

 

Niat yang Benar dalam Ibadah Haji
Niat yang benar adalah dengan cara menjadikan Allah swt sebagai satu-satunya tujuan dalam melaksanakan ibadah haji, dan mengesampingkan tujuan-tujuan lain yang bisa mempengaruhi ketulusan dan keikhlasan itu, seperti agar bisa jalan-jalan, rekreasi, ingin dipanggil pak haji atau ibu hajah, tujuan berdagang, untuk mengemis, sombong dan lainnya. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam ibadah haji sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:

 

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

 

Artinya, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah [2]: 196).

 

Syekh Nawawi Banten dalam salah satu karya tafsirnya menjelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan perihal kewajiban menyempurnakan semua rukun-rukun dan syarat-syarat ibadah haji dan umrah, juga menjauhi semua hal-hal yang diharamkan saat menunaikannya. Semua itu harus dilakukan dengan tulus ikhlas, murni untuk beribadah kepada Allah semata, tanpa dicampur dengan tujuan-tujuan duniawi. (Syekh Nawawi Banten, Mirah Labid li Kasyfi Ma’nal Qur’anil Majid, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1417 H], juz I, halaman 65).

 

Senada dengan pendapat tersebut, Syekh Sulaiman bin Umar al-Bujairami asy-Syafi’i (wafat 1221 H) dalam salah satu karyanya menjelaskan sebab adanya kata “lillah” pada ayat di atas, yaitu sebagai bentuk isyarah bahwa ibadah haji dan umrah harus dilakukan dengan niat yang ikhlas dan benar. Sebab, tidak sedikit dari orang-orang yang menunaikan ibadah haji dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari orang lain,

 

قوله (وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ) إِنَّمَا أُتِيَ بِلَفْظِ لِلهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ يُطْلَبُ فِيْهِمَا إِخْلَاصُ النِّيَةِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَالِبَ فِيْهِمَا الرِّيَاءُ وَالسُّمْعَةُ. قَالَ الدَّمِيرِيُّ: وَيَجِبُ عَلَيْهِ تَصْحِيحُ النِّيَّةِ فِيهِمَا، وَهُوَ أَنْ يُرِيدَ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

 

Artinya, “(Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah) sebab adanya lafal “lillah-karena Allah” (pada ayat tersebut), sebagai bentuk isyarah perihal diharuskannya niat ikhlas ketika menunaikan ibadah haji dan umrah. Hal itu disebabkan, karena pada umumnya dalam menunaikan kedua ibadah tersebut terdapat tujuan ingin dipuji dan pamer. Imam ad-Darimi berkata: wajib bagi orang yang beribadah haji untuk membenarkan niat dalam menunaikan keduanya, yaitu dengan bertujuan karena Allah semata.” (Syekh Bujairami, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 181).

 

Demikian penjelasan perihal pentingnya membenarkan dan memperbaiki niat ketika hendak menunaikan ibadah haji, agar bisa meraih pahala yang mabrur dari rukun Islam yang kelima tersebut. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.