Bahtsul Masail

Hukum Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat

Sel, 14 Desember 2021 | 18:00 WIB

Hukum Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat

Menurut mazhab Hanafi hukumnya boleh dan cukup menjadi hajinya orang lain. (Ilustrasi: MCH)

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaktur NU Online, saya mau bertanya, apakah boleh menggantikan orang tua yang sudah mendaftar haji dengan maksud menghajikannya, sementara ahli warisnya belum pernah haji? Terima kasih. (Amalia Sukowati).


Jawaban

Wa’alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Hukum Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat Menurut Mazhab Syafi’i

Permasalahan ini termasuk kasus fiqih yang diperselisihkan ulama. Mazhab Syafi’i menyatakan orang yang menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk orang tuanya yang telah wafat disyaratkan sudah haji dahulu bagi dirinya sendiri. Bila ia belum berhaji, maka tidak cukup atau tidak boleh untuk menggantikan haji orang lain.   


عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ  أَوْ قَرِيبٌ لِيْ. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. رواه أبو داود والدار قطني والبيهقي وغيرهم باسانيد صحيحة


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi saw mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: ‘Laibaika dari Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’ Nabi tanya lagi: ‘Apakah e=kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun bersabda: ‘Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah.” (HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih).

 


Dari hadits inilah mazhab Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji tidak boleh mengganti orang haji orang lain. Bila ia nekat melakukannya, maka otomatis ibadah haji yang dilakukan menjadi haji bagi dirinya. Pendapat seperti ini juga menjadi pendapat Ibnu Abbas ra, al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (An-Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz VII, halaman 117-118).


Ada dua sisi pemahaman terhadap hadits tersebut sehingga menjadi dalil ketidakbolehan orang yang belum haji menggantikan haji orang lain. Pertama, dalam hadits itu Nabi saw menanyakan ibadah haji lelaki tersebut. Andaikan tidak ada hukum yang berbeda bagi orang yang mengganti haji orang lain dengan hukum haji pada umumnya, niscaya tidak perlu menanyakannya. Kedua, setelah mengetahui lelaki itu belum haji Nabi saw kemudian memerintahkannya untuk haji bagi dirinya sendiri kemudian baru menghajikan Syubrumah. Hal ini menunjukkan bahwa orang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum menghajikan dirinya sendiri. Selain itu haji bagi dirinya sendiri hukumnya wajib baginya, sementara haji orang lain tidak wajib baginya, sehingga orang tidak boleh meninggalkan kewajiban dirinya sendiri sebab melakukan sesuatu yang tidak wajib baginya. (Alauddin al-Kasani, Badâ-i’us Shana-i' fî Tartîbis Syarâ-i', [Beirut, Dârul Kitâbil ‘Arabi: 1982 M], juz II, halaman 213).

 


Hukum Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat Menurut Mazhab Hanafi

Sementara menurut mazhab Hanafi, orang yang belum haji boleh dan dianggap cukup untuk menjadi badal atau mengganti haji orang lain yang berhalangan. Ulama mazhab Hanafi berpedoman pada keumuman hadits berikut:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم. فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Al-Fadhl bin Abbas menjadi pengawal Rasulullah saw. Lalu datang perempuan dari Khats’am (salah satu kabilah dari Yaman). Sontak al-Fadlu memandang perempuan itu dan perempuan itu pun memandangnya. Seketika itu pula Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl sisi lain (agar tidak melihatnya). Lalu perempuan itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji dari Allah kepada hamba-hambanya telah menjadi kewajiban bagi ayahku saat ia tua renta dan tidak mampu berkendara. Apakah aku boleh berhaji sebagai ganti darinya?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Ya.’ Peristiwa itu terjadi dalam haji Wada’. (Muttafaq ‘Alaih, dan ini redaksi al-Bukhari).


Menurut mazhab Hanafi, hadits ini menjadi dasar bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain. Sebab dalam hadits ini Nabi jelas-jelas membolehkan perempuan Yaman itu untuk menghajikan orang tuanya yang sudah tua renta dan tidak mampu berkendara. Saat itu Nabi saw pun tidak menelisik apakah perempuan itu sudah haji untuk dirinya sendiri atau belum. Andaikan antara orang yang belum haji dan yang sudah haji  hukumnya berbeda, yang sudah haji boleh menghajikan orang lain, sementara yang belum haji tidak boleh menghajikannya, niscaya saat itu Nabi akan menelisik dan menanyakan lebih lanjut, apakah perempuan itu sudah haji atau belum. Faktanya tidak. Selain itu menurut mazhab Hanafi, haji untuk diri sendiri itu tidak wajib dilakukan pada waktu tertentu. Karenanya waktu kapanpun yang pantas digunakannya untuk haji bagi diri sendiri, juga pantas digunakan untuk menghajikan orang lain. 


Berangkat dari pemahaman semacam ini, mazhab Hanafi menyatakan bila orang melakukan haji dan diniatkan orang lain, maka haji itu terlaksana untuk orang lain tersebut.


Kesimpulan Hukum Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat

Secara sederhana uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum menghajikan orang lain, termasuk orang tua yang sudah wafat, diperselisihkan ulama. Menurut mazhab Syafi’i hukumnya tidak boleh dan tidak cukup, sementara menurut mazhab Hanafi hukumnya boleh dan cukup menjadi hajinya orang lain. Namun demikian, yang terbaik adalah tidak melakukannya dan mengalihkan haji orang tuanya kepada orang yang sudah haji, seiring kaidah fiqih yang menyatakan: ‘al-Khurûj minal khilâf mustahab’. Keluar dari perbedaan pendapat ulama dengan mengikuti pendapat yang melarang adalah sunnah. 


Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami secara baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wassalamu ’alaikum wr. wb. 


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.