Syariah

Peran Penyandang Disabilitas dalam Aktivitas Keagamaan

Jum, 20 Oktober 2023 | 19:00 WIB

Peran Penyandang Disabilitas dalam Aktivitas Keagamaan

Ilustrasi penyandang disabilitas. (Foto: NU Online/Freepik).

Penyandang disabilitas atau biasa disebut dengan dzawil ‘ahat atau dzawil a’dzar memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana manusia pada umumnya. Tidak boleh ada bentuk diskriminasi maupun pembedaan peran antara disabilitas dan non-disabilitas selama tidak ada faktor penting yang berkaitan dengan kemaslahatan atau keselamatan maupun mudarat yang diciptakan.

 

NU melalui keputusan yang dikeluarkan pada Muktamar Ke-30 tahun 1999 di Kediri menegaskan keberpihakan pada penyandang disabilitas dan melarang tindakan diskriminatif dalam bentuk apa pun terhadap mereka.

 

Keberpihakan terhadap penyandang disabilitas ini juga disebutkan dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 61:

 

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ 

Artinya: “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian…”.

 

Peran penting dalam aktivitas keagamaan tidak hanya sah dilakukan oleh non-disabilitas, akan tetapi orang-orang dengan disabilitas pun dapat berperan penting di dalamnya. Di antara peran penting yang dapat dipegang oleh penyandang disabilitas adalah menjadi imam shalat dan mengumandangkan azan.

 

Mengenai perihal menjadi imam shalat, bukanlah suatu larangan bagi penyandang disabilitas untuk memimpin jalannya shalat. Dalam beberapa hadits terdapat riwayat yang menceritakan Nabi saw. memilih Ibnu Ummi Maktum, penyandang disabilitas netra, untuk menjadi imam shalat. Riwayat tersebut terdapat dalam Sunan Abi Dawud melalui jalur Anas bin Malik:

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى

Artinya: “Dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyuruh Ibnu Ummi Maktum menggantikan beliau untuk mengimami orang-orang sedangkan dia adalah orang yang buta.” (HR Abu Dawud)

 

Konteks hadits di atas terjadi ketika Nabi Muhammad saw. hendak pergi berperang, sehingga beliau perlu mencari badal yang menggantikannya menjadi imam di masjid Madinah. Hadits di atas juga merupakan bentuk suatu pernyataan bahwa penyandang disabilitas dapat menjadi imam shalat. 

 

Penyandang disabilitas lainnya yang pernah menjadi imam shalat adalah ‘Itban bin Malik. Dalam suatu riwayat disebutkan, ‘Itban bin Malik merupakan orang yang biasa menjadi imam untuk kaumnya, namun karena merasa keberatan dalam beberapa kondisi seperti malam yang gelap gulita dan jalanan yang becek, ia meminta permintaan khusus agar Nabi saw. shalat di rumahnya. Hadits tersebut adalah :

 

أنَّ عِتْبَانَ بنَ مَالِكٍ، كانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وهو أعْمَى، وأنَّهُ قَالَ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ والسَّيْلُ، وأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ البَصَرِ، فَصَلِّ يا رَسولَ اللَّهِ في بَيْتي مَكَانًا أتَّخِذُهُ مُصَلَّى، فَجَاءَهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَقَالَ: أيْنَ تُحِبُّ أنْ أُصَلِّيَ؟ فأشَارَ إلى مَكَانٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى فيه رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

Artinya:  “Bahwa 'Itban bin Malik menjadi imam shalat bagi kaumnya. Pada suatu hari dia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, sering terjadi malam yang gelap gulita dan jalanan becek sedangkan aku orang yang sudah lemah penglihatan. Untuk itu aku mohon shalatlah Tuan pada suatu tempat di rumahku yang akan aku jadikan tempat shalat.’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya di rumahnya. Beliau lalu berkata: ‘Mana tempat yang kau sukai untuk aku shalat padanya.’ Maka dia menunjuk suatu tempat di rumahnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian shalat pada tempat tersebut.” (HR al-Bukhari).

 

Dua hadits di atas cukup mewakili kebolehan penyandang disabilitas netra untuk menjadi imam shalat. Lantas, manakah shalat yang lebih utama, diimami oleh penyandang disabilitas netra atau non-disabilitas? 

 

Imam al-Nawawi menyebut dalam Raudhah al-Thalibin, bahwa terkait hal ini para ulama memiliki ragam pendapat yang berbeda. Pertama, menurut jumhur sama saja antara penyandang disabilitas netra dan non-disabilitas dalam perihal imam shalat. Kedua, orang yang memiliki penglihatan normal lebih utama, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Abu Ishaq al-Syairazi. Ketiga, orang dengan disabilitas netra lebih utama sebagaimana pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan al-Ghazali. (Imam al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.], jilid I, hal. 493).

 

Penjelasan di atas berkaitan dengan imam shalat bagi penyandang disabilitas netra, lantas bagaimana dengan penyandang disabilitas rungu dan grahita?

 

Mengutip buku Fiqih Penyanda Disabilitas, disabilitas grahita diposisikan sama seperti anak kecil yang mumayyiz, atau sudah memiliki kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukumnya adalah boleh apabila dirinya memiliki pengetahuan syarat, rukun dan sesuatu yang membatalkan shalat, juga hukum terkait shalat jamaah.

 

Akan tetapi yang menjadi problem adalah, kesadaran bagi penyandang disabilitas grahita merupakan hal urgen yang menentukan sah tidaknya shalat. Sebab orang yang tidak memiliki kendali atas akalnya, maka ia tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha shalatnya. Hal ini sebagaimana disebutkan al-Muzanni dalam Mukhtasharnya:

 

لَا يَكُونُ عَلَى الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ قَضَاءُ صَلَاةٍ

Artinya: “Orang yang akalnya tidak terkontrol, tidak wajib mengqadha shalat.” (Al-Muzanni, Mukhtashar al-Muzanni, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990], jilid VIII, hal. 298).

 

Maka dalam hal imam shalat yang dilakukan penyandang disabilitas grahita, kesadaran lah yang menentukan. Apabila kontrol terhadap akal ini tidak ada, maka shalatnya pun secara hukum dianggap batal sebab tidak memiliki kelayakan. Maka kelayakan menjadi imam pun tidak ada pada penyandang disabilitas grahita.

 

Adapun bagi penyandang disabilitas rungu dalam hal menjadi imam shalat, maka tidak masalah sebab shalatnya imam tidak tergantung dari suara makmum. Maka, kebolehan menjadi imam bagi penyandang disabilitas grahita disesuaikan dengan tingkat kesadarannya secara mental, sementara bagi disabilitas rungu diperbolehkan. (LBM PBNU, dll, Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, [Jakarta Pusat: LBM PBNU, 2018], hal. 91-92). 

 

Kemudian, aktivitas penting lain yang dapat diperankan oleh penyandang disabilitas adalah mengumandangkan adzan. Pada masa Nabi, Ibnu Ummi Maktum merupakan salah seorang penyandang disabilitas netra yang menjadi muadzin. Hal tersebut tercatat dalam beberapa riwayat hadits, salah satunya adalah riwayat Imam al-Bukhari:

 

 عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

 

Artinya:  “Dari Salim bin 'Abdullah dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Perawi berkata, ‘Ibnu Ummu Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, ‘Sudah shubuh, sudah shubuh’.” (HR. Al-Bukhari).

 

Demikianlah mengenai peran penyandang disabilitas keagamaan dalam aktivitas penting keagamaan. Hadirnya mereka dalam beberapa peran keagamaan menandakan bahwa Islam merupakan agama yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.