Syariah

Transaksi Sekuritas dan Aset Derivatif di Pasar Modal dalam Fiqih Muamalah

Senin, 12 Juli 2021 | 13:00 WIB

Transaksi Sekuritas dan Aset Derivatif di Pasar Modal dalam Fiqih Muamalah

Saat di pasar modal, maka underlying asset (aset yang mendasari/ma fidz dzimmah) ketiga sekuritas di atas adalah berupa aset produktif (namma’).

Aset derivatif merupakan aset turunan yang diperjualbelikan di pasar berjangka (al-aswaq al-mustaqbaliyah). Sebagai aset turunan, apakah aset derivatif ini sama fungsinya dengan saham, obligasi, dan reksadana? Jawabnya sudah barang tentu tidak. 


Saham, obligasi, dan reksadana dibeli oleh seorang investor untuk dijadikan sebagai instrumen menanam modal. Jadi, ketiga sekuritas ini awalnya merupakan instrumen pasar modal.


Sebagai instrumen pasar modal, tempat membeli ketiga sekuritas tersebut umumnya juga dilakukan di pasar modal (al-aswaq ra'sul maliyyah). Ini adalah sebuah keniscayaan.


Saat di pasar modal, maka underlying asset (aset yang mendasari/ma fidz dzimmah) ketiga sekuritas di atas adalah berupa aset produktif (namma’).


Ketiga jenis sekuritas ini sendiri juga memiliki wujud fisik, yaitu terdiri atas a’yan (barang) berupa kertas berharga yang sering dikenal sebagai al-awraq al-maliyyah (kertas berharga). Sifat berharganya kertas disebabkan karena ada kandungan manafi’ (manfaat dari aset produktif) yang terdiri dari khadamat (jasa), atau hak atas suatu a’yan atau manafi’ produktif. 


Garis besarnya, pihak pembeli ketiga sekuritas tersebut di atas, di pasar modal, senantiasa karena adanya dorongan gharadh shahih (tujuan utama yang benar) yaitu mendapatkan pembagian sisa hasil usaha (deviden) dari perusahaan emiten yang menerbitkan.


Lantas bagaimana dengan aset derivatif? 

Aset derivatif tidak wujud a’yan (barang fisik) secara langsung. Transaksi aset derivatif pada dasarnya adalah merupakan transaksi jual beli aset berjamin dengan aset berjamin (bai’ ma fidz dzimmah bi ma fidz dzimmah). Transaksi ini sering kita kenal dengan istilah transaksi bai’ud dain bid dain (jual beli utang dengan utang) atau biasa pula dikenal dengan istilah akad hawalah (oper utang).


Mengapa dikelompokkan dalam akad bai’ dain bid dain? Sebab, saat transaksi derivatif itu dilakukan barang yang ditransaksikan itu belum ada. Adanya barang adalah setelah selang beberapa waktu ke depan (future/mustaqbal). Setiap transaksi yang meniscayakan adanya penyerahan salah satu harga dan barang di masa mendatang menandakan bahwa barang atau harga itu adalah utang (mal duyun).


Setiap barang yang bisa diutang, menandakan barang itu bernilai harta (mal). Alhasil, ada istilah harta berjamin tagihan utang, berjamin hak atas suatu a’yan atau manafi’ yang bisa diadakan. Tanpa adanya jaminan pengadaannya berupa a’yan atau manafi’, maka transaksi tersebut disebut sebagai transaksi fiktif (bai’ ma’dum). Mengapa? Sebab barang yang ditransaksikan tidak berstatus harta.


Kontrak yang melibatkan transaksi aset derivatif disebut kontrak mendatang (future contract). Pasar tempat pelelangannya disebut future market (pasar berjangka). Sebenarnya pemahaman semacam ini masih terbilang sederhana sih. Ada bentuk transaksi lain yang kiranya perlu dikupas di tulisan lainnya.


Untuk lebih memahami salah satu bentuk transaksi aset derivatif ini (secara fiqih), kita ambil ilustrasi dari tulisan sebelumnya. Penulis pernah menyampaikan contoh tentang agro-trading pada pertanian cabai bukan? Anda bisa membuka kembali halaman tersebut.


Dalam tulisan itu, penulis memberikan ilustrasi mengenai kontrak yang dilakukan oleh perusahaan dengan petani cabai pemilik lahan.


Ringkasnya, pihak perusahaan memberikan pinjaman modal kepada petani dengan ketentuan pengembaliannya seumpama per 1 juta pinjaman modal, maka petani wajib menyerahkan cabai seberat 50 kg. Jika petani, meminjam uang 10 juta, maka petani wajib menyerahkan hasil panenan cabai seberat 500 kg atau 0,5 kwintal. Saat berlangsungnya akad, petani belum memiliki cabai.


Adakah potensi kerugian yang timbul dari kontrak semacam? Di tulisan itu, penulis juga sudah menyampaikan memungkinkannya terjadi dua potensi kerugian di kedua belah pihak. Bisa jadi kerugian itu terjadi pada petani, dan adakalanya juga terjadi pada perusahaan. Kerugian terjadi karena adanya potensi moral hazard, yang datang dari kedua belah pihak. Padahal syariat menggariskan “la dharara wa la dhirara” (tidak boleh berbuat kerugian atau saling merugikan).


Akad sebagaimana diilustrasikan di atas adalah contoh dari akad derivatif dengan keberadaan obyek yang ditransaksikan terdiri dari aset yang belum ada namun bisa diadakan selang beberapa waktu ke depan.


Karena barangnya belum ada maka pada dasarnya transaksi aset derivatif sama dengan transaksi ghaib. Namun, karena bisa dijamin pengadaannya ke depan, serta bisa diketahui karakteristiknya, maka akad tersebut disebut maushuf fidz dzimmah. Jika disatukan, maka akad yang melibatkan transaksi aset derivatif ini juga bisa disebut bai ainin ghaibah maushufah fidz dzimmah. Mazhab Hanafi sering menyebut akad ini sebagai istishna' (inden barang). Bisa juga dibaca sebagai akad salam.


Karakteristik Kontrak Berjangka Komoditi

Kontrak barang yang baru ada setelah selang beberapa waktu ke depan, dikenal dengan istilah future contract. Kontrak ini berisi nota penagihan. Apa yang ditagih? Sudah pasti adalah utang. Utang apa? Utang barang (komoditas). Karena harta yang diserahkan uang, dan harta yang diterima adalah barang, maka pada dasarnya akad ini juga masuk kategori bai' (jual beli). Kecuali, yang diterima adalah uang, maka akadnya masuk sharf atau masuk qardh.


Karena merupakan nota penagihan barang, maka nota future contract menjadi mirip dengan obligasi. Itu sebabnya, future contract juga bisa disebut derivat obligasi (turunan obligasi).


Lalu komoditas apa saja yang masuk dalam kelompok aset derivatif dalam future contract? Aset derivatif dalam future contract, terdiri dari banyak komoditas, misalnya minyak bumi, emas, kopra, nikel, gandum, jagung, kopi, atau bahkan valas (valuta asing). Kalau dalam ilustrasi yang penulis sampaikan di atas, komoditas itu terdiri dari cabai. 


Forex bisa dimasukkan dalam kelompok future contract ini sebab forex memiliki “komoditas” yang ditransaksikan berupa mata uang asing. Kelompok pasarnya, seringkali dikenal dengan istilah FX Market (Foreign Exchange Market). Cryptocurrency juga bisa masuk dalam future contract, sebab untuk saat ini, cryptocurrency diakui legal sebagai “komoditi” di pasar berjangka.


Baik terhadap Valas maupun terhadap Cryptocurrency ini, ada perdebatan yang menarik jika dipasarkan selaku komoditas. Perdebatan itu terjadi sebab mata uang (naqd) merupakan yang disejajarkan dengan komoditas emas dan perak. Adapun pada kedua komoditas ini, akad yang berlaku adalah akad sharf, dan bukan akad jual beli.


Cryptocurrency, awal diproduksinya juga berlaku sebagai tsaman. Alhasil, produknya juga disejajarkan dengan emas dan perak, sehingga menghendaki berlakunya akad sharf. Namun, sejauh ini, baik forex maupun cryptocurrency adalah diaku sebagai komoditas. Keterangan lebih lanjut kiranya akad lebih jelas jika diulas kelak di tulisan mendatang.


Bagaimana dengan Saham dan Obligasi?

Saham dan obligasi pada dasarnya bukan merupakan produk yang dipasarkan sebagai future contract. Pemasaran keduanya sebagai future contract justru menjadikan kedua aset tersebut menjadi sangat rawan (high risks) dengan spekulasi. Mengapa? Sebab, valuasi saham dan obligasi adalah berlangsung sangat cepat sehingga memiliki perubahan yang sangat besar dari waktu ke waktu. Hal yang sama juga berlaku atas reksadana.


Mengingat akan cepatnya perubahan itu, sangat tidak disarankan bagi para trader untuk melakukan transaksi dengannya di pasar derivatif, sebab efek kerugian yang ditimbulkan lewat spekulasi adalah sangat tinggi. Uraian secara lengkap, insya Allah akan disajikan mendatang. 


Takyif Fiqih Perdagangan Aset Berjangka Komoditi

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa pada dasarnya transaksi future dengan aset derivatif ini, adalah masuk rumpun transaksi salam, istishna’, yang keduanya merupakan cabang dari bai’ sya’in maushuf fidz dzimmah.


Sebagai bagian dari kontrak transaksi berbasis syai’in maushuf fidz dzimmah atau istishna’, maka pada dasarnya transaksi tersebut adalah boleh dengan syarat akad dan rukun jual belinya terpenuhi. Di antara syarat dan rukun jual beli yang harus dipenuhi adalah:


1. Meniscayakan produknya terdiri dari produk yang dijamin kehalalannya.


2. Harganya harus maklum dan disepakati di majelis akad.


3. Tidak ada illat gharar, riba, ghabn, jahalah, dan memakan harta orang lain secara batil.


Khusus untuk transaksi saham dan obligasi di pasar berjangka, maka perlu untuk penelitian lebih lanjut sesuai dengan akad yang berlaku (opsi). Insya Allah, akan disampaikan di tulisan berikutnya.


Transaksi forex sebagai komoditi, adalah boleh khususnya bagi pihak yang menempatkan forex (valuta asing) sebagai komoditas dan bukan sebagai mata uang.


Adapun bagi pihak yang menganggap bahwa forex adalah berlaku sebagai mata uang, transaksi forex adalah melazimkan akad sharf sehingga harus taqabudh (saling menyerahkan) dan yadan bi yadin (tunai) (spot). Wallahu a’lam bis shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur