Syariah

Dugaan Spekulasi pada Trading dalam Kajian Fiqih Muamalah

Sel, 6 Juli 2021 | 08:00 WIB

Dugaan Spekulasi pada Trading dalam Kajian Fiqih Muamalah

Di dalam trading terdapat praktik pembelian aset di satu waktu, dan hendak dijual lagi di waktu yang lain. Instrumen pembelian dilakukan oleh robot trading atau yang dikenal dengan istilah EA (expert advisory).

Banyak pihak yang mengatakan bahwa trading pada dasarnya adalah perjudian disebabkan adanya spekulasi sehingga untung-untungan. Tidak kita pungkiri bahwa spekulasi memang merupakan ciri utama dari praktik perjudian. Namun, spekulasi sendiri juga terdiri atas 3 macam, yaitu 1) spekulasinya orang berjudi, 2) spekulasinya orang jual beli yang disertai gharar dan jahalah terhadap barang yang dibeli, dan 3) spekulasi orang yang sedang berniaga.


Satu hal yang kita pedomani adalah bahwa di dalam trading terdapat obyek yang berlaku sebagai obyek yang bisa ditransaksikan. Obyek tersebut terdiri dari saham, obligasi/sukuk, reksadana, aset derivatif dan instrumen keuangan.


Melalui catatan ini, maka praktik spekulasi layaknya spekulasinya orang berjudi tidak akan kita bahas sebab sudah niscaya yang dikecualikan dari pembahasan trading.


Di dalam trading terdapat praktik pembelian aset di satu waktu, dan hendak dijual lagi di waktu yang lain. Instrumen pembelian dilakukan oleh robot trading atau yang dikenal dengan istilah EA (expert advisory) yang dikembangkan oleh broker dan sudah kita sebelumnya bahwa peran EA adalah sebagai instrumen komunikasi antara trader dan broker lewat jalinan akad wakalah atau samsarah.


Untuk melakukan open position dalam trading, seorang trader niscaya mengakses EA dan selanjutnya melakukan setting perangkat, menetapkan sil‘ah (produk) yang ingin dibelinya, mencermati spread (biaya transaksi), menetapkan kriteria take profit dan stop loss, mengamati tren pergerakan harga, melakukan analisis teknikal dan analisis fundamental, berdasar sinyal trading yang terpampang di dalam EA.


Ketika seluruh elemen sudah disetting, selanjutnya pihak broker menjalankan amanah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh trader untuk melakukan jual dan beli hingga batas waktu kontrak (Time Frame/TF) itu habis.


Hasil akhir dari trading ini adakalanya untung dan adakalanya rugi sebab hasil itu hanya bisa diketahui oleh trader setelah masa kontrak dia dan broker itu habis. Tindakan ini acap dijadikan landasan sebagai tindakan spekulatif dan dicap sebagai praktik “untung-untungan” yang identik dengan spekulasi. 


Benarkah tuduhan ini? Bagaimana syariat memandang spekulasi semacam ini? Apakah spekulasi ini termasuk bagian dari spekulasi yang dilarang oleh syara’? Di sinilah, fokus utama pembahasan tulisan ini akan berkutat, yaitu membedakan antara spekulasi “untung-untungan” dan spekulasi niaga untuk “mencari untung”. 


Spekulasi dalam Judi, Akad Jual-Beli dan Ijarah

Untuk bisa memahami perbedaan antara praktik niaga dan praktik perjudian, maka penting kiranya untuk mengetahui ciri utama dari kedua akad tersebut.


Imam Al-Mawardi menyampaikan definisi perjudian (qimar), sebagai berikut:


هو الذي لا يخلو الداخل فيه من أن يكون غانمًا إن أخذ، أو غارمًا إن أعطى


Artinya, "Yaitu suatu aktivitas yang meniscayakan pemain yang terlibat di dalamnya berlaku sebagai yang menang bila ia mendapatkan barang yang dipertaruhkan dan kalah bila ia yang harus menyerahkan barang yang dipertaruhkan.” (Al-Hawy Al-Kabiir, juz 19, halaman 225).


Melalui definisi ini, dapat dijabarkan pemahamannya bahwa qimar itu ditandai oleh adanya penyerahan sejumlah uang ke bandar yang dipertaruhkan guna melakukan kegiatan yang sifatnya spekulatif sehingga ada pihak yang kalah dan pihak yang menang. Secara tidak langsung, dalam perjudian juga meniscayakan ada beberapa pihak yang bermain spekulasi dan bersama-sama, serta ada pihak yang menjadi bandarnya. Pola judi semacam ini merupakan yang berasal dari rumpun penyimpangan akad musabaqah (perlombaan). Illat maysir terjadi karena tidak diketahuinya besaran ujrah yang harus diterima oleh pihak yang dijadikan lawan tanding.


Perjudian juga memungkinkan masuk sebagai bentuk penyimpangan akad jual-beli dan ijarah sebagaimana tersirat dari ibarat di atas. Ketika masuk dalam kedua rumpun akad ini, maka ciri utama perjudian dikenali sebagai ketiadaan obyek yang diperjualbelikan atau diijarahkan sebagai yang maklum sehingga terjadi praktik gharar dan jahalah. Kedua praktik ini menjadi satu dalam illat maysir (spekulatif).


Spekulasi dalam Tijarah

Kedua ciri yang menopang bangunan praktik “perjudian” di atas, sudah barang tentu berbeda dengan praktik tijarah. 


التجارة في اللغة تعني تقليب المال بالبيع والشراء ونحو ذلك طلبا للربح. وقد عرفها النووي بأنها (تقليب المال وتصريفه لطلب النماء) , وعرفها المناوي بأنها (تقليب المال بالتصرف فيه لغرض الربح)


Artinya, “Secara bahasa, tijarah dimaknai sebagai usaha membolak-balikkan harta melalui jual beli dengan harapan mencari laba (keuntungan). Imam Nawawi mendefinisikan tijarah sebagai suatu usaha membolak-balikkan harta, mengelolanya untuk maksud pengembangan/ produktif. Al-Munawi juga turut mendefinisikan bahwa tijarah adalah usaha membolak-balikkan harta dengan jalan pengelolaan untuk tujuan keuntungan/profit.” (Fiqhul Mu’amalat, juz IV, halaman 44).


Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum yang dinamakan tijarah memiliki syarat dan ketentuan sebagai berikut:


Ada harta modal (ra’sul mal) yang diputar dan ditasarufkan lewat akad mubadalah atau tamwil (usaha produktif) serta berfungsi sebagai starter untuk melakukan aksi beli dan menjual dalam bentuk perniagaan.


Ada usaha taqlibu al-mal, yaitu membeli barang (aradl) di satu waktu, kemudian dijual lagi di waktu lain dengan berbekal modal (ra’sul mal) yang sudah disediakan. Alhasil, praktik pembelian tersebut meniscayakan telah terjadi aktivitas qabdlu (penguasaan kepemilikan) dan penyerahan barang (taslim) di satu waktu. Ciri ini ditengarai sebagai ciri spot.


Thalabi al-ribhi, yaitu adanya jeda waktu antara pembelian dan penjualan kembali tersebut bertujuan dalam rangka memanfaatkan selisih harga yang terjadi dalam rentang waktu yang berbeda.


Dengan mencermati pada tiga anasir tijarah di atas, maka spekulasi dalam tijarah adalah karena ketidaktahuan harga di masa mendatang sehingga bukan pada elemen penyusun dari tijarah. Sudah barang tentu spekulasi ini sifatnya adalah sebuah keniscayaan, sebab apa yang terjadi di masa mendatang (saat menjual kembali barang ke pasar), adalah tidak akan ada orang yang tahu.


Ibarat Anda membeli barang sekarang, untuk Anda jual besok. Anda dipastikan tidak tahu bagaimana harga besok. Namun barang sudah Anda kuasai sekarang ini dan sudah berstatus milik Anda secara sah. Sudah barang tentu karena sahnya barang itu menjadi milik Anda, maka Anda juga sah untuk menjualnya kembali ke pasar keesokan harinya. Dari situ Anda mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian.


Alhasil, spekulasi yang berlaku pada akad tijarah ini tidak dapat disamakan dengan spekulasi yang terjadi pada akad jual-beli atau akad judi.


Relasi Akad-Jual Beli dan Tijarah

Karena di dalam tijarah meniscayakan adanya praktik taqlibu al-mal, maka di dalam tijarah meniscayakan juga terjadinya praktik jual dan praktik beli. Jika diuraikan, maka elemen penyusun dari akad tijarah sendiri adalah sebagai berikut: akad beli yang meniscayakan terjadinya penguasaan atas suatu aset dan menjadi milik sempurna trader/tajir, dan akad jual yang meniscayakan terjadinya pelepasan aset di waktu mendatang untuk mencari keuntungan.


Karena eratnya relasi akad tijarah dengan akad jual beli, maka sahnya akad tijarah secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh sahnya akad jual beli. Syarat sah dari akad jual beli adalah bila memenuhi kategori sebagai berikut:


Ada harga (tsaman) dan barang (sil’ah) yang menjadi obyek pertukaran imkanu al-qabdlli, yaitu bisanya harga dan barang saling dipindahkuasakan. Pindah kuasa barang dalam tijarah bisa juga dilakukan dengan qabdl al-hukmy.


Imkan al-taslim, yaitu bisanya kedua tsaman dan sil’ah tersebut saling diserahterimakan.


Spekulasi dalam Trading

Sebagian besar informasi yang beredar di masyarakat menyamakan trading itu sebagai tindakan “untung-untungan” dan kemudian memasukkannya dalam kelompok judi. Sementara itu berdasarkan maksud utama dari didirikannya pasar berjangka, adalah dalam kerangka niaga (tijarah) untuk maksud “mencari keuntungan.” Tentu dua diksi “untung-untungan” dan “mencari keuntungan” di sini menghendaki untuk dibedah.


Di dalam trading sendiri, ada dua praktik yang tidak bisa dilakukan sekaligus dan menghendaki dipisah. Praktik tersebut adalah praktik pembelian di satu waktu, dan praktik penjualan di waktu yang lain. Dari kedua praktik ini niscaya terjadi selisih harga, atau bahkan memungkinkan pula terjadi kesamaan harga. Alhasil, memenuhi kriteria sebagai akad tijarah. Lalu mengapa muncul diksi untung-untungan yang dilekatkan pada trading?


Mencari Keuntungan dan Untung-Untungan lewat Trading 

Mencari keuntungan merupakan tujuan utama dari akad tijarah (trading). Sebuah tindakan bisa disebut sebagai mencari keuntungan, adalah apabila:


Tindakan dalam mencari keuntungan tidak menerjang ketentuan yang terdapat dalam nushush al-syariah, yaitu melakukan praktik riba, ghabn, gharar, jahalah, dan memakan harta orang lain secara bathil.


Tindakan yang dilakukannya adalah bersifat rasional. Rasionalitas keputusan adalah kunci utama yang membedakan keputusan seorang individu sebagai yang spekulatif atau tidak. Sebab dalam niaga meniscayakan adanya hubungan sebab akibat (ilzam dan iltizam). Jika aradl (suplai) naik, maka thalab (permintaan) turun. Sebaliknya, jika thalab (permintaan) naik, maka suplai turun.


“Saya membeli barang A, karena A lagi diburu oleh pasaran. Jika saya membeli sekaarang, kemudian nanti saya jual di sore hari saat pasar sedang tidak ada penjual lain, maka saya akan mendapat keuntungan.” Statemen semacam ini adalah bagian dari sikap rasional, karena ada hubungan sebab akibat.


Setiap tindakan yang bersifat rasional, adalah bila tindakan itu memenuhi hukum aqly (diterima oleh akal, ilzam dan iltizam). Maksud dari ilzam dan iltizam adalah terpenuhinya kaidah sebab-akibat, sebagaimana dicontohkan dalam penjelasan nomor 1. Contoh lainnya, adalah seperti sebuah pernyataan: “Karena saya berinvestasi, maka saya bisa mendapatkan bagi hasil dan bagi kerugian.” “Karena saya membeli barang, maka saya bisa menjualnya.” “Jika saya membeli barang dengan harga X dan menjualnya dengan harga Y, maka saya mendapat keuntungan, atau sebaliknya saya mengalami kerugian.” Hal yang demikian ini adalah memenuhi ketentuan wajibnya ilzam dan iltizam.


Apa yang dipraktikkan oleh para trader dalam melakukan trading, seperti menggunakan broker tertentu lewat instrumen EA (expert advisor), melakukan analisa tehnikal dan fundamental, serta melakukan antisipasi terhadap spread, adalah bagian dari strategi dalam berniaga. Terkait dengan tata cara mendapatkan barang/sil’ah untuk ditradingkan, dan kemudian menjualnya kembali ketika mencapai kondisi tertentu selama durasi waktu tertentu, adalah bagian dari cara berniaga yang dibolehkan oleh syara’.


Membeli barang di waktu kini, dan menjualnya lagi di masa mendatang adalah meniscayakan ketidaktahuan. Sistem semacam ini tidak masuk dalam kategori spekulasi yang dilarang sebab ketidaktahuan harga di esok hari adalah sesuatu yang sifatnya pasti. Masalah ada grafik yang menunjukkan pergerakan harga atau tidak, merupakan yang bersifat mulgha (yang diabaikan), sebab merupakan unsur yang berada di luar akad itu sendiri. Ia hanya berfungsi membantu analisa seorang trader dalam memperkirakan kisaran harga.


Lalu Mengapa Ada Informasi Terkait dengan Untung-untungan?

Sejauh pendataan penulis, diksi untung-untungan ini sebenarnya dilekatkan pada trader yang belum memahami pengertian trading sebagai praktik niaga. Mereka lebih cenderung memahami bahwa trading itu adalah praktik jual beli semata. Menyerahkan uang sekarang, dan mendapatkan hasil di masa habis kontrak. Jadi, seolah trading itu digambarkan layaknya praktik bai’ munabadzah dan muhaqalah sehingga dimaknai sebagai menyimpan unsur maysir (spekulatif). Padahal dalam faktanya, adalah tidak berlaku semacam itu. Ada praktik pembelian barang (sil’ah) di satu waktu, dan ada praktik penjualan di waktu yang lain guna mendapatkan selisih harga tersebut sebagai keuntungan.


Praktik ini meniscayakan adanya peran broker yang alat komunikasinya menggunakan EA. Untuk kategori trader yang mengakses EA sebagai sarana untuk melakukan spekulasi layaknya bai’ munabadzah ini, maka dihukumi haram melakukan trading. 


Apa yang dilakukan para trader semacam ini, dalam pandangan Syeikh Ali Jum’ah dan Syekh Syauqi Ibrahim Allam (Mufti Mesir), adalah ditengarai sebagai telah melakukan praktik tala’ub (coba-coba dalam pasar) sehingga tidak diperkenankan untuk terjun dalam dunia trading, sampai batas ia memahami praktik yang terjadi. Pandangan lebih lanjut tentang trading menurut kedua ulama tersebut, insyaallah akan disampaikan dalam tulisan mendatang. Wallahu a’lam bis shawab


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.