Tafsir

Tafsir QS al-Mumtahanah 8-9: Perihal Hubungan Antarumat Beragama

Ahad, 24 Oktober 2021 | 15:00 WIB

Tafsir QS al-Mumtahanah 8-9: Perihal Hubungan Antarumat Beragama

Tafsir QS al-Mumtahanah 8-9: Perihal Hubungan Antarumat Beragama. (Foto: Ilustrasi)

Islam termasuk agama yang sangat perhatian terhadap tata etika pergaulan sosial, termasuk hubungan antarpemeluk agama. Islam amat menekankan perdamaian dan sebisa mungkin menghindari permusuhan, apalagi ketika hal itu sampai menimbulkan pertumpahan darah. Perbuatan adil mesti ditegakkan kepada siapa saja, tak terkecuali kepada orang-orang yang berbeda golongan dan keyakinan.

 

Allah berfirman:

 

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

 

Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS Al-Mumtahanah: 8).

 

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain at-Taimi yang dijuluki dengan Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan, ayat ini menjadi dasar untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain. Bentuk perbuatan baik itu, misalnya, adalah dengan cara memperlakukan mereka secara adil, berinteraksi dengan baik, tidak mengganggu keberadaan, dan saling tolong-menolong. (Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Bairut, Darul Ihya at-Turatsi: 1999], juz X, h. 520).

 

Dari penjelasan ar-Razi di atas, dapat kita pahami bahwa berbuat baik dan bersikap toleran, serta menjalin pergaulan dengan pemeluk agama lain, merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya. Membangun kerukunan dengan pemeluk agama lain dengan cara memberlakukan mereka dengan baik, sopan, adil, dan bijaksana termasuk wujud pengamalan pesan Al-Qur’an.

 

Syekh Abu Abdillah bin Abdurrahman as-Sa’idi (w. 1376 H), dalam tafsirnya mengatakan, ada banyak alasan untuk melakukan kebaikan, sekali pun kepada kelompok agama lain. Alasan-alasan tersebut, misalnya, bergaul dengan dasar kesopanan, berbuat baik karena adanya hubungan kerabat, menjadi tetangga, atau jika keduanya tidak ada, alasan terakhir adalah karena hubungan kemanusiaan. (Syekh as-Sai’idi, al-Qawa’idul Hissan fi Tafsiril Qur’an, [Maktabah ar-Rusydu, cetakan pertama: 1999], h. 35).

 

Sejarah Diturunkannya Ayat

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671) mengutip beberapa pendapat ulama perihal sejarah diturunkannya ayat di atas. Dalam kitabnya disebutkan, suatu saat Qatilah hendak mendatangi anak putrinya, Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar, untuk memberikan anting dan barang-barang lainnya. Ketika itu Qatilah adalah mantan istri Sayyidina Abu Bakar—ia ditalak sejak masa jahiliyah.

 

Setelah bertemu, Asma’ yang saat itu sudah memeluk agama Islam—sementara ibunya tidak— menolak dengan tegas pemberian itu, bahkan ia menyuruh sang ibu keluar meninggalkan rumahnya, dengan alasan “tidak diperbolehkannya menjalin kerukunan dan pergaulan” dengan pemeluk agama lain. Dengan perasaan kecewa, Qatilah mendatangi Rasulullah saw untuk mengadukan kejadian yang dialaminya. Setelah semuanya disampaikan kepadanya, turunlah ayat di atas. (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Darul Kutub al-Mishriah, cetakan kedua: 1964], juz XVI, h. 59).

 

 

Konteks Perang vs Konteks Damai

Pada ayat selanjutnya, Allah melarang umat Islam untuk berteman dan bergaul dengan pemeluk agama lain, apabila mereka memerangi umat Islam, atau membantu kelompok-kelompok yang menyerang Islam. Sebagaimana ditegaskan,

 

اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al-Mumtahanah: 9).

 

Secara tegas, Allah swt melarang umat Islam untuk berkawan dan menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain pada ayat di atas, hanya saja poin penting yang perlu dipahami adalah kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, bahwa setiap ayat harus diletakkan dalam proporsi dan sesuai dengan konteksnya masing-masing, karena sejatinya ayat Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa yang dengan sewenang-wenang bisa diterapkan di mana-mana. Maka, tidak boleh memaksakan ayat yang diturunkan dalam posisi perang, mislanya, untuk diterapkan dalam keadaan damai.

 

Begitu juga dengan Indonesia, negara aman nan majemuk dalam banyak hal, termasuk agama. Ayat di atas tidak bisa diterapkan di Indonesia sebab konteks perang atau penyerangan terhadap umat Islam tidak ada, dan semua pemeluk agama mempunyai ikatan perjanjian untuk hidup bersama dengan damai dalam naungan konsitutusi.

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI