Tafsir

Tafsir Surat Al-An'am Ayat 162: Menjadi Hamba yang Seutuhnya Milik Allah

NU Online  ·  Senin, 5 Mei 2025 | 08:00 WIB

Tafsir Surat Al-An'am Ayat 162: Menjadi Hamba yang Seutuhnya Milik Allah

Ilustrasi Qur'an. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam ibadah shalat, terselip sebuah rahasia yang sering luput dari perhatian; kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Tak sekadar ritual yang diulang lima kali sehari, shalat memuat pernyataan paling jujur seorang hamba—sebuah ikrar tanpa keraguan bahwa dirinya sepenuhnya milik Tuhan. 


Bait "kepasrahan" itu ada di doa iftitah, yang dibaca di awal, saban shalat. Di sana, seorang Muslim menyatakan bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, bahkan matinya hanya untuk Allah. Doa ini bukan sekadar pembukaan liturgis, tetapi sebuah deklarasi eksistensial. 


Sebuah penegasan bahwa hidup ini bukan milik diri, melainkan persembahan. Maka, gerakan dalam shalat tidak hanya melulu soal ruku' dan sujud, tetapi tentang bagaimana manusia berdiri, tunduk, dan menyerah dalam satu garis lurus yang mengarah pada Allah. Di titik itulah, kita mengerti; sejatinya shalat adalah bahasa pasrah. Pun, hakikat  kepasrahan adalah inti dari hidup yang percaya.


Kepasrahan ini diambil dari firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An'am ayat 162;


قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ۝١٦٢


qul inna shalâtî wa nusukî wa maḫyâya wa mamâtî lillâhi rabbil-‘âlamîn


Artinya; "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam."


Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa Surat Al-An’am ayat 162 mengandung dua hal penting: pertama, ajaran agama Nabi Ibrahim AS, dan kedua, sikap Nabi Muhammad SAW yang mengajak umatnya untuk beriman dengan tulus kepada Allah.


Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk sikap pasrah;


Sesungguhnya shalatku, seluruh ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya hanya untuk Allah, Tuhan Seluruh Alam.”


Ini berarti, Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa segala yang  dilakukan, baik itu ibadah seperti shalat dan penyembelihan hewan, maupun kehidupan dan kematiannya, semuanya dipersembahkan dengan tulus hanya untuk Allah. Allah tidak memiliki sekutu dalam apapun, baik dalam sifat, perbuatan, atau dalam penciptaan alam semesta.


Ajaran ini adalah ajaran yang sangat mulia, yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, baik melalui wahyu Allah maupun nalar yang sehat. Nabi Muhammad juga menegaskan bahwa beliau adalah orang yang pertama dan paling taat dalam kelompok orang-orang yang berserah diri kepada Allah (Muslim).


Lebih jauh, menurut Profesor Quraish Shihab, Secara bahasa, kata "Nusuk", sebuah kata Arab yang ganjil di telinga, namun maknanya tersembunyi filosofi: awalnya ia menunjuk pada sepotong logam, perak, yang dibakar hingga kotorannya mengelupas. Yang tersisa hanyalah kemurnian. Maka ibadah dinamai nusuk, karena ia pun semestinya seperti itu: jernih dari selain Tuhan.


Pun, kata "nusuk" yang digunakan dalam ayat ini memang bisa berarti "sembelihan", tapi maksudnya lebih luas, yaitu semua bentuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas. Jadi, semua jenis ibadah yang dilakukan oleh manusia, bisa berarti "nusuk", asalkan ikhlas karena Allah.


Lantas mengapa shalat (dalam ayat ini) disebut lebih dulu sebelum ibadah lainnya? Karena shalat adalah ibadah yang paling utama dan tidak bisa ditinggalkan, bahkan dalam kondisi sulit. shalatlah yang paling intim. Tak bisa ditunda. Tak bisa diwakilkan. Lima kali sehari. Ia merupakan tiang utama dalam Islam.


Lalu tentang kematian, "matiku", kata Nabi. Bukan hanya henti napas, tapi mungkin juga tentang hidup setelah hidup, tentang doa-doanya yang terus mengalir bagi umat yang ditinggalkannya. Rasul, dalam satu riwayat, disebut menjawab salam dari siapa pun yang menyapanya. Ruhnya dikembalikan sejenak, katanya, hanya untuk menyambut.


Ibnu Jarir Thabari dalam Jami'ul Bayan, mengungkapkan ayat ini berisi suatu dialog antara Allah dan Nabi Muhammad SAW yang penuh makna. Ia mencatat, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, mengirimkan pesan yang seharusnya tidak hanya diterima dengan telinga, tapi juga dengan hati yang terbuka:


Katakanlah, wahai Muhammad, kepada mereka yang menyekutukan Tuhan dengan berhala-berhala dan patung-patung, yang meminta agar kamu mengikuti kebohongan mereka dalam penyembahan kepada dewa-dewa yang tak berdaya itu,"


Kemudian, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk mengucapkan kalimat yang seolah menjadi pernyataan hidup sekaligus kematian. Sebuah pengakuan yang dalam:


"Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam."


Shalat, ibadah, bahkan kehidupan dan kematian itu, semua untuk-Nya. Tidak ada setitik pun yang tercecer, tidak ada sedikit pun yang disekutukan. Semua adalah persembahan untuk Allah. 


Pesan ini, bukan hanya untuk orang-orang yang mendustakan, tapi untuk kita semua yang terkadang tergoda untuk mengalihkan arah kepada sesuatu yang lain. Sebuah seruan untuk kembali ke titik yang paling dasar—pengabdian yang tulus, tanpa kemelekatan pada apapun selain Yang Maha Esa.


قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: (قل) ، يا محمد، لهؤلاء العادلين بربهم الأوثان والأصنام، الذين يسألونك أن تتبع أهواءهم على الباطل من عبادة الآلهة والأوثان = (إن صلاتي ونسكي) ، يقول: وذبحي (٢) = (ومحياي) ، يقول: وحياتي = (ومماتي) يقول: ووفاتي = (لله رب العالمين) ، يعني: أن ذلك كله له خالصًا دون ما أشركتم به


Artinya; "Abu Ja'far berkata: Allah berfirman kepada Nabi Muhammad: (Katakanlah), wahai Muhammad, kepada mereka yang menyekutukan Tuhan mereka dengan berhala-berhala dan patung-patung, yang meminta kamu untuk mengikuti keinginan mereka dalam kebatilan berupa penyembahan kepada dewa-dewa dan berhala-berhala: (Sesungguhnya shalatku dan ibadahku), yaitu: sembelihanku (2) = (dan hidupku), yaitu: kehidupanku = (dan matiku), yaitu: kematianku = (untuk Allah Tuhan semesta alam), yang berarti: semua itu adalah semata-mata untuk-Nya, tanpa ada yang disekutukan dengan-Nya." (Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir Jamiul Bayan, [Makkah: Darul tarbiyah wa Turats, tt] Jilid XII, hlm. 283).


Sementara itu, Imam Sya'rawi dalam kitab Khawatirusy Sya'rawi Haulal Qur'anil Karim menjelaskan, ayat 162  sebagai ayat keikhlasan. Allah memulai dari "shalat", ibadah yang lima kali sehari diulang, tapi tidak pernah usang. Ibadah yang tidak gugur, bahkan ketika sakit. Boleh jadi seseorang tidak bisa puasa, tidak wajib zakat, tak mampu haji. Tapi shalat, tak bisa lepas. Bahkan jika seseorang sakit dan hanya bisa berbaring, ia tetap wajib untuk shalat, meskipun hanya dengan gerakan kepala atau melalui niat dalam hati.


Mengapa? Sebab  shalat adalah satu-satunya ibadah yang langsung ditetapkan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya, tanpa perantara. Tak turun lewat malaikat. Ia datang dari langit, dari sidratul muntaha, bukan dari bumi. 


Shalat bukan sekadar rukun. Ia adalah ritme hidup seorang Muslim. Ada yang mengatakan, hidupnya dimulai dengan adzan dan diakhiri dengan iqamah, bahwa antara dua panggilan itu, manusia hanya punya sejenak untuk bersujud.


Maka kata Imam Sya’rawi,  kata “shalatku” sebagai sesuatu yang mewakili seluruh Islam. Pilar. Fondasi. Nafas. Dan sekaligus kesetiaan. Sebab, dalam shalat, seseorang berdiri, tunduk, sujud. Tapi yang paling penting, ia hadir menyembah Allah SWT.


Lebih jauh lagi, sama seperti ulama sebelumnya, Imam Sya’rawi membaca nusuk sebagai ibadah, sekaligus bentuk pemurnian. Seperti perak yang dilebur agar bersih, ibadah adalah upaya manusia untuk meluruhkan riya, menyingkirkan pamrih, dan memurnikan tujuan.


Baginya, ini bukan soal bentuk ibadah saja, thawaf, sa’i, wukuf. Tapi apa yang tersembunyi dalamnya: bahwa ibadah adalah proses menjadi murni. Sebuah perjalanan dari keramaian dunia menuju satu arah: lillahi rabbil ‘alamin

Tak kalah menarik, dalam ayat ini disetir dua hal yang tidak bisa dipilih mansia, yakni: hidup dan mati. Kata Imam Sya’rawi, ada yang bisa kau kendalikan (shalat dan ibadah), dan ada yang tidak (hidup dan mati). Tapi semua, ujarnya, tetap milik Allah. Seseorang hidup bukan karena kehendaknya. Ia mati bukan karena keinginannya. Tapi anehnya, dalam dua peristiwa itu pun manusia bisa gagal berserah. Maka Allah minta: persembahkan juga hidup dan matimu hanya untuk-Nya.

 

Pada intinya, semua ibadah harus dilakukan hanya untuk Allah, tanpa menyekutukan-Nya, tanpa riya, dan tidak mengharap pujian dari manusia. Ibadah yang kita lakukan untuk selain Allah tidak akan memberi manfaat, karena hanya Allah yang dapat memberi balasan yang sejati.


و «صلاتي» مقصود بها العبادة والركن الثاني في الإِسلام الذي يتكرر كل يوم خمس مرات، وهي الركن الذي لا يسقط أبداً؛ لأن شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله - كما قلنا سابقاً - يكفي أن تقولها مرة في العمر، وقد يسقط عنك الصوم إن كنت لا تستطيع، وقد لا تزكي لأنه ليس لك مال، وقد لا تستطيع الحج، وتبقى الصلاة التي لا تسقط أبداً عن العبد. وهي - كما نعلم - قد أخذت من التكليف حظها من الركينة.

إن كل تكليف من التكاليف جاء بواسطة الوحي إلا الصلاة فإنها جاءت بالمباشرة، وتلقاها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من ربه دون واسطة. وحين يقول الحق: {إِنَّ صَلاَتِي} ، فهو يذكر لنا عمدة الأركان والتي اشتملت على كل الأركان كما أوضحنا سابقاً. حتى إن الإِنسان إذا كان راقداً في مرض ولا يستطيع القيام فعليه أن يحرك رأسه بالصلاة أو يخطر أعمال الصلاة على قلبه. 


Artinya; "Dan 'shalatku' yang dimaksud adalah ibadah dan rukun Islam yang kedua, yang dilakukan setiap hari sebanyak lima kali. Ia adalah satu-satunya rukun yang tidak pernah gugur. Sebab syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah — sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya — cukup diucapkan sekali seumur hidup. Puasa bisa gugur bila seseorang tidak mampu melakukannya. Zakat bisa saja tidak dikeluarkan karena tidak memiliki harta. Haji pun bisa tidak dilaksanakan karena tidak adanya kemampuan. Namun, shalat tetap merupakan ibadah yang tidak pernah gugur dari seorang hamba.


Dan seperti yang kita ketahui, shalat telah mengambil porsi tersendiri dari sisi pembebanan hukum (taklif) dengan cara yang sangat khusus. Semua bentuk taklif dalam agama datang melalui wahyu, kecuali shalat, yang ditetapkan secara langsung (tanpa perantara). Rasulullah  menerimanya langsung dari Tuhannya tanpa perantara. Maka ketika Allah berfirman: {Sesungguhnya shalatku}, Dia menyebutkan pokok dari seluruh rukun (Islam), yang mencakup semua rukun lainnya sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Bahkan jika seseorang sedang berbaring karena sakit dan tidak mampu berdiri, maka ia tetap harus menggerakkan kepalanya untuk melaksanakan shalat, atau cukup menghadirkan gerakan-gerakan shalat itu dalam hatinya." (Imam Sya'rawi, Khawatirusy Sya'rawi Haulal Qur'anil Karim, Juz VII, hlm. 4022)


Dengan demikian, sejatinya surat Al-An’am ayat 162 adalah deklarasi tauhid dan ikhlas yang harus senantiasa ditanamkan dalam hati seorang Muslim. Ayat ini menuntun bahwa seluruh hidup, dari shalat, ibadah, aktivitas dunia, hingga kematian — harus bernilai ibadah dan ditujukan hanya kepada Allah semata. 


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung.