Tasawuf/Akhlak

Hubungan Syariat dan Tasawuf dalam Kajian Islam

Rab, 15 September 2021 | 02:00 WIB

Hubungan Syariat dan Tasawuf dalam Kajian Islam

Fiqih (syariat) lebih umum daripada ilmu tasawuf karena syariat lebih pada pekerjaan-pekerjaan yang bernilai menampakkan potret agama Islam. (ilustrasi: wordpress.com)

Imam Ibnu Malik mengatakan, “Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka akan berpotensi menjadi orang zindiq. Barang siapa yang belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung akan menjadi orang fasiq. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yang sesungguhnya.”


Kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami. Keduanya merupakan cabang ilmu yang menempati posisi sangat strategis dalam menuntuk manusia menuju jalan yang benar. Oleh karenanya, Imam Malik mengatakan bahwa keduanya tidak dipisahkan dalam menjalankan amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika syariat bisa diumpamakan sebagai teori dalam beribadah, maka tasawuf merupakan pengendali dalam melakukan ibadah tersebut.


Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu Allah tidak lain selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu-ilmu itu kemudian menjadi sebuah manifestasi untuk menyempurnakan ibadah seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya, bentuk penghambaan dan peningkatan spiritualitas, seorang hamba melakukan shalat, wujud kepedulian seorang hamba kepada sesama manusia dengan mengeluarkan zakat, upaya untuk meraih ridha-Nya dengan melaksanakan ibadah haji, dan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang tercela dengan mengerjakan puasa.


Makna Syariat dan Tasawuf

Pada dasarnya, ilmu syariat merupakan salah satu cabang ilmu yang membahas perihal ibadah-ibadah atau amaliah yang bersifat lahir (nyata). Sedangkan ilmu tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang bersifat batin (tidak nyata). Keduanya merupakan ilmu yang sangat erat dan saling berhubungan. Mari kita bahas satu per satu.


Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat adalah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, ingin dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan:


اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا.


Artinya, “Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.” (Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 8).


Untuk menerapkan syariat di atas, dengan melakukan semua yang diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tidak ada teladan dan contoh yang benar selain mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dengan Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik adalah mengikuti para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai pada Rasulullah.


Akan tetapi, ada yang tidak kalah penting ketika melakukan ibadah, yaitu kebersihan hati dari setiap sifat-sifat yang bisa merusak eksistensi ibadah itu sendiri. Oleh karenanya, untuk bisa selamat dari sifat-sifat tercela, ilmu tasawuf juga sangat penting untuk dimengerti dan dipahami, agar semua ibadah yang dilakukan bisa diterima oleh Allah swt.


Ilmu tasawuf sendiri lebih cenderung tentang urusan hati dan cara-cara membersihkannya, sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Murtadha Az-Zabidi:


تَطْهِيْرُ الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ مِنَ الْآثَامِ الخَفِيَّةِ وَالْجَلِيَّةِ مِنْ أَوَائِلِ التَّصَوُّفِ


Artinya, “Menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yang tidak jelas dan yang jelas, merupakan awal mula dari tasawuf. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Bairut, Tarikh al-‘Arabi: 1994], juz VIII, halaman 477).


Senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq Al-Fasi, (wafat 899 H) seorang ulama sufi, asal Maroko. Ia mengatakan:


التَصَوُّفُ عِلْمٌ قُصِدَ لِاِصْلَاحِ الْقُلُوْبِ وَاِفْرَادِهَا للهِ تَعَالَى عَمَّا سِوَاهُ.


Artinya, “Ilmu tasawuf adalah ilmu yang dimaksudkan untuk memperbaiki hati dan menyendirikannya (hati) hanya untuk Allah swt dari selain-Nya.” (Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawa’idut Tasawwuf, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Lebanon: 2005], halaman 25).


Dari definisi syariat dan tasawuf di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan cabang ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Syariat mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batiniah. Maka sangat wajar, jika Imam Malik memosisikan ahli hakikat yang sebenarnya hanya kepada orang-orang yang sudah bisa memahami dan memadukan ilmu syariat dan tasawuf. Tidak hanya syariat, tidak juga hanya tasawuf.


Ungkapan di atas senada dengan pendapat Syekh Muhammad bin  Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Hanafi (wafat 1156 H), perihal makna syariat dan tasawuf. Menurutnya, ilmu syariat adalah ilmu yang membahas tentang aspek lahiriah dari setiap ibadah atau pekerjaan yang dilakukan seorang hamba, sedangkan tasawuf merupakan ilmu yang membahas perihal batin seorang hamba dalam membersihkan hati mereka dari segala sifat tercela ketika melakukan ibadah. (Abu Sa’id al-Hanafi, Bariqatu Mahmudiyah fi Syarhi Thariqati Muhammadiyah wa Syari’ati Nabawiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 2010], juz 1, halaman 291).


Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ajibah al-Husaini (wafat 1266) dalam kitabnya memberikan garis ketentuan secara khusus perihal keduanya. Menurutnya, fiqih (syariat) lebih umum daripada ilmu tasawuf karena syariat lebih pada pekerjaan-pekerjaan yang bernilai menampakkan potret agama Islam. Ibnu Ajibah mengatakan:


حُكْمُ الْفِقْهِ عَامٌ لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ إِقَامَةُ رَسْمِ الدِّيْنِ وَرَفْعِ مَنَارِهِ وَإِظْهَارِ كَلِمَاتِهِ وَحُكْمُ التَّصَوُّفِ خَاصٍ لِأَنَّهُ مُعَامَلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ مِنْ غَيْرِ زَائِدٍ


Artinya, “Hukum fiqih (syariat) sangat umum, karena tujuannya adalah menampakkan potret agama Islam, mengangkat aturannya, dan menampakkan kalimatnya. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan ilmu yang khusus, karena sesungguhnya, ia merupakan interaksi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya tanpa perlu menambah.” (Ibnu ‘Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2001], halaman 21).


Hubungan Syariat dan Tasawuf

Syekh Zainuddin al-Malibari memberikan salah satu penafsiran, perihal ayat Al-Qur’an yang memadukan antara ilmu syariat dan ilmu tasawuf. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 


Artinya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5).

Ayat di atas menurut Syekh Zainuddin memiliki dua kandungan antara syariat dan tasawuf, (1) kandungan ayat tentang syariat, yaitu “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hamba menyembah kepada Allah melalui upaya yang menjadi representasi dari adanya ilmu syariat, seperti shalat, puasa, zakat, haji, meninggalkan maksiat dan lainnya. Semua ketentuan ini tentu dilakukan secara nyata (lahir), yang merupakan timbal balik dari adanya syariat itu sendiri, sebagai salah satu cabang ilmu yang mengatur pola hidup beragama secara lahiriah; dan (2) kandungan ayat tentang tasawuf, yaitu “hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Ayat ini menurut al-Malibari menjadi pokok penting dalam ilmu tasawuf. Dan, adanya ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang hamba harus menghilangkan semua kemampuan dan usahanya ketika melakukan ibadah, dan mengembalikan kepada Allah. Dengan kata lain, tanpa adanya pertolongan dari-Nya, maka siapa pun tidak aka nada yang bisa melakukan suatu ibadah, sehinggan dengan anggapan demikian, tidak ada peluang untuk sombong, ingin dipuji dan sifat-sifat tercela lainya, karena semua yang dilakukan memang tidak didasari oleh usahanya, namun murni atas pertolongan Allah swt. (al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 9).


Kesimpulannya, melakukan semua ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam dan meninggalkan semua maksiat yang menjadi larangan merupakan representasi dari adanya ilmu syariat. Ilmu yang satu ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur pola ibadah yang sifatnya lahiriah. Namun, di sisi yang lain juga perlu untuk memperhatikan ibadah dari aspek batiniah, sebab tanpa tinjauan ini, meski secara syariat semua ibadah sudah benar, akan keliru jika dalam menjalankannya masih ada sifat-sifat tercela, dan hal ini hanya bisa diperbaiki dengan ilmu tasawuf sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu A’lam bisshawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.