Tasawuf/Akhlak

Khusyuk dalam Kajian Tasawuf

Ahad, 15 Agustus 2021 | 09:30 WIB

Khusyuk dalam Kajian Tasawuf

Orang khusyuk ketika dipancing kemarahannya, dilanggar janjinya, atau ditolak orang lain akan menghadapinya dengan penuh penerimaan.

Kita sering mendengar kata “khusyuk”. Khusyuk biasanya dikaitkan dengan ibadah shalat atau sembahyang. Dari kaitan ini, kita pada umumnya mengaitkan khusyuk dengan pelaksanaan shalat secara tenang baik lahir maupun batin.


Khusyuk dan shalat memiliki kaitan erat. Kaitan keduanya dapat ditemukan pada Surat Al-Mukminun ayat 1-2. Bahkan shalat khusyuk pada awal Surat Al-Mukminun ini menjadi sifat orang beriman yang beruntung.


قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ


Artinya, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya,” (Surat Al-Mukminun ayat 1-2).


Al-Qusyairi mengutip Surat Al-Mukminun ayat 1-2 sebagai pembukaan pembahasan perihal khusyuk dalam Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Sedangkan pengertian khusyuk itu sendiri secara bahasa adalah ketundukan/kepatuhan kepada Allah (al-inqiyad lil haqq). (Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah,[Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 82).


Al-Qusyairi mengutip berbagai pandangan ulama perihal khusyuk. Menurut sebagian ulama, khusyuk adalah pendirian hati di hadapan Allah dengan perhatian yang terfokus. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, kekhusyukan hati adalah pengendalian mata dari pandangan.


Sebagian ulama menyebutkan tanda khusyuk pada seorang hamba Allah. Menurutnya, (tanda) orang yang khusyuk ketika dipancing kemarahannya, dilanggar janjinya, atau ditolak (oleh orang lain) akan menghadapinya dengan penuh penerimaan.


Muhammad bin Ali At-Tirmidzi mengatakan, orang yang khusyuk adalah mereka yang padam api syahwatnya, kecil asap dalam dadanya, dan terbit cahaya takzim dalam hatinya sehingga syahwatnya mati, hatinya hidup, dan pembawaan fisiknya tenang. (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 82).


Al-Hasan Al-Basri mengatakan, khusyuk adalah rasa takut senantiasa yang lazim pada hati kepada Allah. Sedangkan Imam Junaid menjawab ketika ditanya perihal khusyuk, “Kerendahan hati pada Allah yang maha mengetahui ghaib,” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 82).


Ketika menjelaskan kekhusyukan, Abu Ali Ad-Daqaq mengutip Surat Al-Furqan ayat 63, yaitu “Wa ‘ibādur rahmānil ladzīna yamsyūna fil ardhi hawnan” , atau “Hamba Allah yang berjalan di muka bumi dengan merendah.” Kata “merendah” tidak lain adalah tawadhu dan khusyuk.


Apapun pandangan perihal khusyuk, ulama bersepakat bahwa khusyuk bertempat pada hati. Adapun pembawaan lahiriyah hanya bersifat gejala atau tanda dari khusyuk itu sendiri. Seorang ulama pernah menegur orang yang berpenampilan kumuh dan buruk sebagai kekhusyukan. 


“Wahai Fulan, khusyuk itu di sini (sambil menunjuk ke dadanya),” kata ulama tersebut. (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 82).


Yang jelas, khusyuk ini sangat penting karena berkaitan dengan sifat shalat orang yang beriman. Kekhusyukan ini juga yang diprediksi menjadi barang berharga pertama yang hilang dari umat Islam kelak.


وقال حذيفة: أول ما تفقدون من دينكم الخشوع


Artinya, “Sahabat Hudzaifah berkata, ‘Hal pertama yang hilang dari agama kalian nanti adalah kekhusyukan,’” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 82). Wallahu a’lam. (Ustadz Alhafiz Kurniawan)