Syariah

Menyentuh Alat Kelamin Membatalkan Wudhu

Sab, 15 Juni 2019 | 05:30 WIB

Bagi sebagian orang keterangan mengenai perkara yang membatalkan wudhu sudahlah jelas dan maklum adanya, seperti kentut, kencing dan buang air besar yang menyebabkan keluarnya barang kotor dan najis dari badan.

Namun perkara lain yang membatalkan wudhu bagi sebagain orang tidaklah demikian jelas. Karena pemahamannya memerlukan pengetahuan yang mendalam. Misalnya batalnya wudhu karena  dengan istri dan alat kelamin sendiri. Bagaimana bisa bersentuhan langsung dengan istri membatalkan wudhu? Padahal hanya istrilah perempuan yang boleh dijadikan ‘teman satu ranjang’ dalam melewati berbagai malam? Atau bukankah hanya istri yang melahirkan anak turun kita? 

Demikian pula dengan alasan menyentuh alat kelamin sendiri dengan telapak tangan, apalagi menyentuh alat kelamin orang lain. Hal ini secara logika agak susah diterima, mengingat alat kelamin termasuk dari bagian tak terpisahkan dari tubuh kita. sebagaimana tangan dan kaki. Akan tetapi demikianlah adanya keterangan dari berbagai sumber yang berdasar pada hadits Rasulullah saw.

والخامس وهو اخر النواقض مس فرج الأدمى بباطن الكف من نفسه وغيره ذكرا او انثى صغيرا اوكبيرا حيا او ميتا

Dan yang kelima, yaitulah keterangan terakhir dari perkara yang membatalkan wudhu adalah menyentuh (farji) alat kelamin manusia dengan telapak tangan, baik alat kelamin sendiri maupun alat kelamin orang lain, laki-laki maupun perempuan, anak kecil ataupun orang dewasa, hidup ataupun mati.

Hal ini berpijak pada sebuah hadits shahih yang kuat sekali yang berbunyi: 

من مس ذكره فلايصلى حتى يتوضأ (رواه الخمسة وصححه الترمذى)

Barang siapa yang menyentuh dzakarnya, maka tidaklah ia bersembahyang hingga ia berwudhu (Hadits riwayat Al-khamsah -lima orang imam hadits- dan dinilai sahih oleh Turmudzi).

Meskipun pendapat Syafi’iyyah ini bukanlah satu-satunya, akan tetapi pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama. Dan bahwasannya perbedaan pendapat tersebut lebih bermuara pada penilaian para ulama tentang hadits yang ada. Bukan pada substansi perkaranya. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid

وسبب اختلافهم في ذلك أن فيه حديثين متعارضين: أحدهما الحديث الوارد من طريق بسرة أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول “إذا مَسَّ أحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ” وهو أشهر الأحاديث الواردة في إيجاب الوضوء من مس الذكر، وصححه يحيى بن معين وأحمد بن حنبل، وضعفه أهل الكوفة؛ وقد روي أيضا معناه من طريق أم حبيبة، وكان أحمد بن حنبل يصححه.

Maka, menjadi penting bagi kita selaku orang awam mengetahuai berbagai hal syar’i semacam ini. Wallahu a’alam bi shawabUlil Hadrawy


Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Senin, 29 April 2013 pukul 09:00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua