Syariah

5 Alasan Sunnah Merayakan Maulid Nabi menurut Sayyid Muhammad al-Maliki

Rab, 13 Oktober 2021 | 09:00 WIB

5 Alasan Sunnah Merayakan Maulid Nabi menurut Sayyid Muhammad al-Maliki

Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (tengah) menggandeng KH Abdurrahman Wahid (baju batik) dan KH Said Aqil Siroj. (Foto: Istimewa)

Maulid Nabi adalah bagian dari tradisi umat Islam yang tidak bisa dipisahkan dari budaya Nusantara. Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan cirik has tersendiri dalam merayakan Maulid Nabi, mulai dari acara sederhana di surau-surau kecil hingga acara megah nan meriah seperti Grebeg Maulud di Yogyakarta yang dihadirkan untuk memperingati kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw.

 

Memang, ada sebagian kecil kelompok masyarakat yang menolak perayaan Maulid Nabi. Mereka menganggap perayaan Maulid Nabi sebagai bid’ah yang tidak layak dilakukan. Tapi hal itu mudah sekali dipatahkan oleh ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, salah satunya Sayyid Muhammad al-Maliki.

 

Sayyid Muhammad al-Maliki dalam kitab Syarh Maulid ad-Diba’i menyimpulkan, setidaknya ada lima alasan mengapa kita harus merayakan Maulid Nabi, yaitu:

 

Pertama, merayakan Maulid Nabi sebagai wujud rasa bahagia dan gembira atas kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw pasti bermanfaat di dunia dan akhirat. Bagaimana tidak? Abu Lahab, seorang yang membenci dakwah Nabi, saja diringankan siksanya di neraka setiap hari Senin. Hal ini dikarenakan Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad. Bahkan, Abu Lahab memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah sebagai wujud rasa bahagianya.

 

قال عروة وثويبة مولاة لأبي لهب كان أبو لهب أعتقها فأرضعت النبي صلى الله عليه و سلم فلما مات أبو لهب أريه بعض أهله بشرحيبة قال له ماذا لقيت ؟ قال أبو لهب لم ألق بعدكم غير أني سقيت في هذه بعتاقتي ثويبة.

Artinya, “Urwah mengatakan, ‘Tsuwaibah adalah budak perempuan milik Abu Lahab. (Ketika Nabi Muhammad lahir) Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah kemudian Tsuwaibah menyusui Nabi Muhammad (yang baru lahir). Maka, ketika Abu Lahab wafat, sebagian keluarganya bermimpi bertemu Abu Lahab. Sayangnya, Abu Lahab terlihat sangat memprihatinkan keadaanya. Keluarganya bertanya, ‘Apa yang telah terjadi denganmu?’ Abu Lahab menjawab ‘Tidak ada kenikmatan bagiku setelah berpisah dengan kalian kecuali aku diberikan minum di tempat ini (alam akhirat) karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah” (HR al-Bukhari).

 

Al-Hafidh Muhammad bin Nashir ad-Din ad-Dimsyaqi mendendangkan sebuah puisi yang sangat indah mengenai hal ini.

 

إذا كان هذا كافرا جاء ذمه ۞ بتبت يداه في الجحيم مخلدا

أتى أنه في يوم الإثنين دائما ۞ يخفف عنه للسرور بأحمدا

فما الظن بالعبد الذي كان عمره ۞ بأحمد مسرورا ومات موحدا

Apabila seorang kafir (Abu Lahab) yang dihinakan

Dengan ayat “Tabbat Yadâ (sungguh sangat celaka bagimu)” menetap abadi di neraka Jahim

Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa setiap hari Senin datang

Dia (Abu Lahab) diringankan siksanya karena gembira dengan kelahiran nabi Ahmad

 

Lantas, bagaimana pendapatmu dengan seorang yang sepanjang umurnya gembira dengan kelahiran Nabi dan ia wafat dalam keadaan beriman?

  

Kedua, Nabi Muhammad saja banyak bepuasa di hari Senin sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahirannya. Karena dengan kelahiran Baginda Nabi Muhammad-lah manusia menemukan cahaya agama Islam. Tentu, kita sebagai umat Nabi harus merasa sangat bersyukur dengan kelahiran Baginda Nabi.

 

عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الاثنين ؟ فقال فيه ولدت وفيه أنزل علي

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari bahwa suatu ketika Rasulullah ditanyai mengenai kebiasaannya berpuasa di hari Senin. Rasulullah pun bersabda ‘Di hari Senin-lah aku dilahirkan dan di hari Senin-lah diturunkan (Al-Qur’an) kepadaku” (HR Muslim).

 

Ketiga, Allah memerintahkan kita untuk berbahagia dengan sebab rahmat dan pertolongan yang Allah berikan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

 

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا

Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira” (QS Yunus: 58).

 

Dan rahmat terbesar yang Allah berikan bagi kita adalah lahirnya Baginda Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an menegaskan bahwa diutusnya Baginda Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah bagi alam semesta

 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).

 

Keempat, perayaan Maulid Nabi diwarnai dengan pembacaan sejarah kehidupan nabi. Mulai dari kelahiran, budi pekerti, ciri-ciri fisik, kemuliaan serta mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi. Tentu hal ini akan menambah rasa kecintaan kita kepada Nabi Muhammad serta memantapkan keimanan kita. Selain itu, perayaan Maulid Nabi juga sebagai wadah untuk mengajak umat Islam membaca shalawat kepada Nabi. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an agar umat Islam banyak membaca shalawat:

 

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

 

Artinya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS Al-Ahzab: 56).

 

Kelima, perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah (baik) yang telah diajarkan turun-temurun oleh umat Islam. Belum lagi, perayaan Maulid Nabi umumnya diiringi dengan ceramah agama dan nasihat yang bermanfaat serta suguhan makanan yang diberikan kepada para hadirin. Para ulama mengambil dalil bid’ah hasanah dari nasihat Sahabat Abdullah bin Mas’ud:

 

قال عبد الله بن مسعود ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن و ما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيىء

Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Perkara yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik maka perkara tersebut baik di sisi Allah, dan perkara yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk maka perkara tersebut buruk disisi Allah” (HR Ahmad).

 

Di sisi yang lain, para ulama fiqh menetapkan kaedah,

 

للوسائل حكم المقاصد

“Setiap wasilah perbuatan dihukumi sesuai dengan tujuannya”

 

Perayaan Maulid Nabi dihukumi sunnah karena tujuannya adalah meneladani Baginda Nabi serta bershalawat kepadanya.

 

Tidak semua yang tidak dilakukan oleh Nabi adalah tercela. Contoh lain yang juga berupa bid’ah hasanah yaitu pembukuan Al-Qur’an yang dilaksanakan di zaman khalifah Utsman bin Affan. Kita tahu bahwa jerih payah pembukuan Al-Qur’an tidak diperintahkan langsung oleh Rasulullah akan tetapi manfaatnya bisa kita rasakan hingga hari ini. Begitu juga dengan perayaan Maulid Nabi yang telah terbukti sejak dahulu berdampak positif bagi masyarakat luas.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo