Syariah

Hikmah di Balik Tradisi Pengucapan Wallahu A‘lam

Sab, 5 Desember 2020 | 11:00 WIB

Hikmah di Balik Tradisi Pengucapan Wallahu A‘lam

Pengucapan Wallahu a'lam mengandung ungkapan dzikir, kerendahan hati, dan menghindari dari pemutlakan pendapat.

Selama belajar di pesantren, tentu para santri terbiasa mendengarkan para ustadz dan kiai mengucapkan Wallahu alam bi as-shawab pada penutup pengajian. Kalimat Wallahu alam bish-shawab memiliki makna Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.  Penggunaan kalimat ini sudah menjadi salah satu tradisi di kalangan pesantren.

 

Penggunaan kalimat Wallahu A’lam (hanya Allah yang lebih mengetahui) pada dasarnya digunakan sebagai jawaban ketika kita ditanya suatu permasalahan ilmu yang kita tidak ketahui jawabannya, sebagaimana wasiat shahabat Abdullah bin Mas’ud:

 

يا أيها الناس من سئل منكم عن علم هو عنده فليقل به فإن لم يكن عنده فليقل الله أعلم فإن من العلم أن تقول لما لا تعلم الله أعلم

 

“Wahai manusia, barang siapa yang ditanya tentang suatu permasalahan ilmu kepadanya dan ia mengetahuinya maka hendaknya ia menjawabnya. Dan barang siapa yang tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia mengatakan Wallahu a’lam karena sesungguhnya sebagian dari ilmu adalah engkau mengatakan Wallahu a’lam terhadap sesuatu yang tidak engkau ketahui” (Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2001, vol. 7 hal. 180).

 

Para ulama juga memakai kalimat Wallahu a’lam sebagai kode etik dalam menutup fatwa mereka. Selain itu, mereka juga memakai kalimat Wallahul muwaffiq  (hanya Allah yang memberikan petunjuk) dan sejenisnya sebagai penutup penjelasan mengenai permasalahan yang disepakati oleh ulama Ahlusunnah wal Jama’ah.

 

وإذا أجاب المفتي ينبغي أن يكتب عقب جوابه والله أعلم ونحو ذالك، وقيل في المسائل الدينية التي أجمع عليها أهل السنة والجماعة ينبغي أن يكتب والله الموافق، وأمثله.

 

“Dan ketika ulama ahli fatwa selesai memberikan fatwa dalam suatu permasalahan hendaknya ia menulis kalimat Wallahu a‘lam dan sesamanya. Dikatakan juga bahwa hendaknya setelah menjelaskan pendapat yang disepakati ulama Ahlussunnah wal Jama’ah untuk menulis kalimat Wallahul muwaffiq dan sejenisnya” (Syekh Mula Ali bin Sulthan al-Qari, Kitab Syam al-‘Awaidh fi Dzamm ar-Rawafidh, Kairo: Dar ash-Shafwah, 2004, hal. 137).

 

Kemudian, para ulama juga memakai kalimat Wallahu a’lam bish-shawab sebagai penutup dalam beberapa penjelasan dalam kitab-kitab karya mereka maupun sebagai penutup pengajian mereka. Menurut Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, ulama mazhab Syafi’i, hal ini dianjurkan dengan tujuan sebagai bentuk kerendahan hati para ulama serta upaya memasrahkan kembali hakikat permasalahan tersebut kepada Allah.

 

قال بعض الشيوخ: كأن المصنف قصد بذلك التبري من دعوى الأعلمية اهـ. قال العلامة ابن حجر بعد قول المنهاج والله أعلم: أي من كل عالم. وزعم بعض الحنفية أنه لا ينبغي أن يقال ذلك. قيل مطلقا وقيل للإعلام بختم الدرس. ويرد بأنه لا إيهام فيه بل فيه غاية التفويض المطلوب

 

“Sebagian para guru mengatakan, ‘(Dengan memakai lafadz Wallahu a‘lam bish-shawab) seakan-akan penulis bertujuan untuk berlepas diri dari pengakuan paling alim. Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan, maksud kalimat Wallahu a‘lam adalah hanya Allah yang lebih mengetahui dari seluruh orang alim. Sebagian ulama mazhab Hanafi mengatakan tidak seyogianya (makruh) memakai ungkapan demikian, sebagian memutlakkan dan sebagian yang lain menghukumi makruh ketika bertujuan sebagai pertanda ditutupnya pengajian. Dan pendapat ini tertolak karena tidak ada keraguan bahwa di dalam ungkapan Wallahu alam terdapat puncak kepasrahan kepada Allah yang dianjurkan” (Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, vol. 4 hal. 503).

 

 

Sedangkan, menurut kalangan ulama mazhab Hanafi penggunaan kalimat Wallahu a‘lam dengan tujuan sebatas tanda ditutupnya pengajian adalah makruh. Akan tetapi, bila diniatkan untuk berdzikir maka dihukumi sunnah. Apabila diniatkan keduanya (niat tanda ditutupnya pengajian dan dzikir) sekaligus, maka menurut mazhab Hanafi  dihukumi dengan yang paling dominan. Misal contoh, ketika lebih dominan niat sebagai penutup pengajian maka dihukumi makruh dan begitu juga sebaliknya ketika lebih dominan sebagai niat berdzikir maka dihukumi sunnah.

 

وقد كرهوا والله أعلم ونحوه لإعلام ختم الدرس حين يقرر. أما إذا لم يكن إعلاما بانتهائه لا يكره لأنه ذكر فيه وتفيض بخلاف الأول فإنه استعملة آلة للإعلام ـ إلى أن قال ـ أما إذا اجتمع القصدان يعتبر الغالب كما اعتبر في نظائره.

 

“Dan (para ulama mazhab Hanafi) memutuskan untuk memakruhkan pengucapan Wallahu A’lam dan sejenisnya dengan tujuan pertanda selesainya pengajian. Adapun ketika tidak ada tujuan pertanda selesainya pengajian maka tidak dimakruhkan. Karena di dalam kalimat tersebut terdapat dzikir dan kepasrahan kepada Allah berbeda dengan kasus yang pertama yang menjadikan kalimat Wallahu A’lam sebatas alat untuk pemberitahuan. Adapun ketika bertemu dua niat yang berbeda maka dimenangkan yang paling dominan sebagaimana dalam kasus yang sejenis” (Muhammad Amin bin Umar ibnu Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, vol. 6, hal. 431).

 

Sedangkan menurut Syekh Ali Jum’ah dalam laman resminya mengutarakan bahwa hikmah pengucapan Wallahu A’lam oleh para ulama adalah sebagai berikut :

 

Pertama, sebagai bentuk pengakuan mereka bahwa fatwa yang mereka utarakan adalah terbatas yang dapat ditinjau ulang kembali dalam kesempatan yang lain. Dan para ulama juga tak segan untuk mengubah fatwanya ketik ditemukan sudut pandang ataupun dalil hukum lain yang dapat mengubah pendapatnya.

 

Kedua, sebagai bentuk pengakuan para ulama bahwa fatwa mereka bersumber dari ilmu yang mereka dapatkan. Dan seluruh ilmu tersebut bersumber dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, ucapan Wallahu alam adalah bentuk tawadhu’ (kerendahhatian) mereka di hadapan Allah yang telah memberikan mereka petunjuk dalam memahami ilmu.

 

Walhasil, pada dasarnya para ulama menghukumi suatu permasalahan sesuai dengan bentuk lahiriah dan kasuistiknya, sedangkan di balik itu hanya Allah yang mengetahui hakikatnya sebagaimana ungkapan dalam kaidah ushul fiqh.

 

نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر

 

“Kami menghukumi dengan sesuatu yang dhahir (lahiriah), dan Allah yang menangani seluruh yang tersembunyi (samar).”

 

Karena itulah ulama sangat berhati-hati dalam berfatwa ataupun menjelaskan ilmu. Dan hal ini diwujudkan dalam bentuk kalimat Wallahu A’lam.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo