Syariah

Beda Amil dan Panitia Zakat Berdasar Hasil Munas NU 2017

Sel, 12 April 2022 | 17:00 WIB

Beda Amil dan Panitia Zakat Berdasar Hasil Munas NU 2017

keberadaan amil zakat menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat karena menyangkut tugas menopang kesejahteraan orang banyak, terutama orang-orang yang lemah.

Salah satu ibadah yang harus dilakukan umat Islam sekaligus menjadi ukuran status keislaman seseorang adalah menunaikan zakat. Kewajiban zakat menjadi salah satu rukun Islam yang dilakukan dengan menyerahkan sebagian hartanya kepada orang lain. Dalam melakukannya, muzakki (orang yang berzakat) bisa memberikannya secara langsung kepada mustahiq (orang yang berhak) ataupun melalui orang lain yang disebut sebagai amil (pengelola zakat).


Dalam hasil Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 2017 disebutkan definisi amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk memungut, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya yaitu delapan ashnaf (golongan). Jadi amil pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan imam dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan zakat.


Namun di masyarakat sampai saat ini, masih banyak ditemukan sekelompok orang yang ‘mengamilkan diri’ dan mengelola zakat, sedekah, dan infak. Kelompok ini dibentuk atas inisiatif dan prakarsa dari masyarakat atau swakarsa dan tidak mendapatkan legalitas dari pemerintah. Tak jarang mereka mengambil bagian dari zakat yang dikumpulkan karena merasa sudah menjadi amil.


Terkait dengan hal ini, hasil Munas NU tahun 2017 menegaskan bahwa panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat, tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat. Hal ini karena mereka tidak diangkat oleh pihak yang berwenang yang menjadi kepanjangan tangan kepala negara dalam urusan zakat. 


Lain halnya jika pembentukan tersebut sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku di mana minimal dicatatkan ke KUA untuk amil perseorangan atau amil kumpulan perseorangan. Hal ini berdasarkan Kitab Hasyiyah at-Tarmasi (Muhammad Mahfudl Termas, Hasyiyah at-Tarmasi, Jeddah-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1423 H/2011 M, juz, V, h. 404). 


Namun perlu dilihat fakta bahwa keberadaan amil zakat menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat karena menyangkut tugas menopang kesejahteraan orang banyak, terutama orang-orang yang lemah. Karena itu Munas 2017 memberikan penjelasan tentang inisiasi pembentukan dan hak pengangkatan amil zakat. 


Imam, dalam hal ini kepela negara, memiliki kewenangan untuk membentuk amil zakat. Namun masyarakat juga bisa turut berperan melakukan inisiasi pembentukannya dengan catatan, sesuai dengan prosedur dan yang telah ditetapkan.


Dalam konteks negara modern seperti Indonesia, pengangkatan amil adalah kewenangan (imam) kepala negara. Namun demikian, kewenangan itu bisa dilimpahkan kepada para pejabat pembantunya, yang ditunjuk untuk mengangkat amil yang menurut PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, adalah gubernur, bupati, atau walikota. Mereka pun boleh mengangkat pegawai (‘ummal) untuk membantu tugas mereka dalam mengelola zakat.


Adapun prosedur pengangkatan amil zakat sama dengan prosedur pengangkatan hakim dan jabatan-jabatan kekuasaan lainnya. Sehingga ada beberapa prosedur pengangkatan amil zakat harus diperhatikan. Pertama, Amil zakat merupakan salah satu yang masuk kategori jabatan kekuasaan (wilayah). Karenanya, pengangkatan amil zakat menjadi sah apabila dilakukan dengan pernyataan yang mengesahkan kekuasaan atau kewenangan amil zakat.


Pengangkatan ini bisa dilakukan secara langsung apabila memang pihak calon amil hadir di tempat pengangkatan atau pelantikan. Dan bisa juga ditempuh dengan cara tidak langsung (dengan surat pengangkatan resmi) apabila ia tidak hadir di tempat pengangkatan. Hal ini seperti dalam pengangkatan calon hakim.


Kedua, Muwalli atau pihak yang mengangkat. Dalam hal ini bisa kepala negara atau pejabat di bawahnya atau pejabat pembantu) mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat/calon amil zakat) telah memenuhi kualifikasi persyaratan untuk diangkat sebagai amil zakat. Konsekuensinya jika pihak yang mengangkat ternyata tidak mengetahui kredibilitas dan kualitas yang dipersyaratkan bagi calon amil yang diangkatnya maka pengangkatannya tidaklah sah.


Ketiga, Muwalla (calon amil) mengetahui bahwa muwalli berhak mengangkatnya. Di samping itu juga ia mengetahui dengan pasti jika muwalla telah mengangkat dirinya sebagai amil zakat sehingga ia berhak menjadi kepanjangan tangan muwalli dalam soal urusan zakat. Kemudian muwalla menyampaikan kesanggupannya untuk menjadi amil atau atau langsung bekerja.


Keempat, dalam pengangkatannya, disebutkan tugas amil mengenai penanganan zakat secara jelas. Penyebutan ini menjadi penting agar amil zakat yang diangkat mengetahui sejauh mana wilayah tugas yang diembannya.


Kelima, dalam pengangkatannya disebutkan daerah kerja amil. Hal ini bertujuan agar ia dapat mengetahui dengan persis mana yang daerah yang menjadi kewenangannya dalam urusan zakat dan yang bukan. Jika ia diketahui, maka pengangkatannya tidak sah.


Baznas dan Lembaga Amil Zakat

Dalam pengelolaan zakat di Indonesia, pemerintah telah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Baznas merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.


Dalam pasal 17 UU tersebut juga disebutkan tentang lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berfungsi untuk membantu Baznas dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. LAZ ini dibentuk oleh masyarakat dan wajib mendapat izin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri.


Izin dari menteri untuk membentuk LAZ ini hanya diberikan kepada organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Izin juga hanya diberikan kepada LAZ yang berbentuk lembaga berbadan hukum dan mendapat rekomendasi dari Baznas.


Berdasarkan data dari Kementerian Agama sampai dengan akhir 2021, sudah ada 91 Lembaga Amil Zakat (LAZ) pada skala nasional hingga skala kabupaten/kota yang resmi mendapatkan izin dari pemerintah. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 333 Tahun 2015 telah diatur perizinan LAZ yang dibagi menjadi LAZ berskala Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.


Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung