Syariah

Zakat Fitri Bukan Zakat Fitrah

Sel, 4 Juni 2019 | 11:45 WIB

Kesalahan yang telah diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat umum biasa disebut dengan salah kaprah. Memang, biasanya kesalahan semacam ini tidak terlalu substansial. Tetapi jika berhubungan dengan masalah ibadah hendaknya segera diluruskan. Termasuk di antaranya adalah penyebutan zakat fitri dengan istilah zakat fitrah.

 

Zakat fitrah biasa digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan zakat bahan makanan pokok yang wajib ditunaikan orang Muslim setelah berpuasa Ramadhan hingga pagi shalat Idul Fitri. Seharusnya, istilah yang dipergunakan sesuai dengan teks hadits Rasulullah SAW adalah kata zakat fitri bukan zakat fitrah. Sebagaimana dalam tiga hadits berikut:

 

قال النبي صلى الله عليه وسلم صوم شهر رمضان معلق بين السماء والأرض ولايرفع الابزكاة الفطر

 

Nabi saw bersabda “puasa bulan Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak akan diterima (dengan sempurna oleh Allah swt) kecuali dengan zakat fitri.

 

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر او صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بها ان تؤدى قبل خروج الناس الى الصلاة

 

Dari Ibnu Umar ra Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma, atau gandum bagi muslim yang hamba dan muslim yang merdeka laki-laki maupun perempuan, baik muslim anak-anak ataupun  orang tua. Dan hendaklah zakat fitrah ditunaikan sebelum orang-orang selesai mengerjakan halat id.

 

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث طعمة للمساكين فمن اداها قبل الصلاة فهى زكاة مقبولة, ومن اداها بعد الصلاة فهى صدقة من الصدقات

 

Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak berguna dan ucapan kotor, serta untuk memberikan makanan orang miskin. Maka barang siapa mengeluarkan zakat sebelum shalat id maka itulah zakat fitrah yang terqabul, dan barang siapa yang memberika zakat setelah shalat id maka itu termasuk shadaqah.

 

Itulah tiga teks hadits Rasulullah SAW yang dengan jelas menggunakan kata "zakâtul fithri" atau zakat fitri. Begitu juga teks-teks dalam kitab dan referensi berbahasa Arab.

 

Penjabaran ini menjadi penting karena perbedaan penggunaan kedua istilah ini berimplikasi pada perbedaan pemahaman. Kata fitri dalam kalimat zakatul fitri bermakna zakat makanan. Karena makna kata fitri dalam bahasa Arab serumpun dengan ifthar, futhur, dan kata derivasi lainnya yaitu makan atau berbuka. Hal ini bisa dilihat dari hadits kedua terakhir yang menerangkan bahwa zakat fitri itu berupa satu sha’ kurma atau gandum. Mengapa kurma atau gandum, karena kurma atau gandum merupakan bahan makanan yang dapat digunakan untuk berbuka puasa atau difungsikan sebagai makanan di hari raya Idul Fitri.

 

Hal ini diperkuat dengan keterangan hadits ke tiga bahwa zakatul fitri thu’matan lil masakin (zakat fitri itu bertujuan untuk memberi makan orang yang miskin). Disinilah hakikat zakat fitri itu (yang kita kenal secara salah kaprah sebagai zakat fitrah), yaitu zakat yang fungsinya memberi (bahan) makanan kepada orang-orang yang berhak di hari raya. Sehingga pada 1 syawal tidak ada orang muslim yang tidak makan karena tidak memiliki bahan makanan, dan karena pada hari itu diharamkan berpuasa.

 

Oleh karena itulah hari raya setelah Ramadhan di sebut dengan ‘idul fitri yang secara bahasa dapat diartikan dengan kembali berbuka atau kembali bisa makan pagi, setelah satu bulan penuh umat muslim berpuasa Ramadhan.

 

Keterangan tersebut, sungguh berbeda dengan istilah zakat fitrah yang lazim dimaknai sebagai zakat untuk membersihkan diri umat Muslim setelah bulan Ramadhan. Meskipun pemaknaan ini tidak salah tetapi penggunaan makna ini terlalu jauh, pasalnya makna ini merupakan makna kedua yang melangkahi makna pertamanya sebagai zakat makanan'. Ini bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menghubungkan kata fitrah dengan kesucian. Padahal dalam bahasa Arab tidak ada satu keterangan pun yang menghubungakan fitri dengan suci.

 

Demikianlah adanya bahasa yang berlaku di masyarakat kita, meskipun salah tetap saja digunakan, dan tidak masalah selama yang terjadi hanya salah kaprah bukan salah paham. Wallahu a'lam.

 

(Ulil Hadrawi)

 

::::

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 26 Juli 2014, pukul 10.00. Redaksi mengunggahnya ulang tanpa mengubah isi tulisan.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua