Bahtsul Masail

Hukum Menunda dan Mengurangi Gaji Buruh dalam Islam

Rab, 1 Mei 2024 | 06:00 WIB

Hukum Menunda dan Mengurangi Gaji Buruh dalam Islam

Ilustrasi buruh. (Foto: NU Online/Freepik)

Buruh, pekerja, pegawai, atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya dari pemberi kerja atau pengusaha atau majikan. Dalam istilah fiqih, buruh disebut ajir, yaitu orang yang menyewakan jasanya dengan imbalan upah atau ujrah.

 

Diantara problem yang dialami oleh sebagian buruh adalah adanya penundaan atau pengurangan gaji secara sepihak. Hal ini tentu dinilai melanggar hak para buruh dan pekerja. Lantas, dalam sudut pandang Islam, bagaimana hukum menunda dan mengurangi gaji buruh?

 

Secara garis besar, Islam telah mewajibkan untuk segera membayar upah buruh ketika sudah menyelesaikan pekerjaannya, terlebih jika buruh memintanya. Menunda pembayaran, mengurangi atau bahkan tidak memberikan upahnya, merupakan bentuk kezaliman yang diharamkan. Alasannya karena dianggap memperbudak dan merendahkan kepada sesama muslim. 

 

Dalam kajian fiqih, terdapat tiga bentuk pembayaran upah. Pertama, upah disepakati untuk dibayar di awal, maka harus dibayarkan di awal sesuai kesepakatan. Kedua, upah disepakati untuk dibayar di akhir atau dicicil, maka upah tersebut dapat dibayarkan di akhir atau dicicil sesuai kesepakatan. Ketiga, tidak ada kesepakatan waktu pembayaran, maka konsep yang ketiga ini terdapat tiga pendapat.

 

Menurut pendapat mazhab Syafi’i harus dibayarkan di awal. Menurut Abu Hanifah, upah dibayarkan sesuai manfaat atau pekerjaan yang sudah dilakukan. sedangkan menurut Imam Malik, upah diberikan setelah semua manfaat atau pekerjaan telah selesai. (Abul Hasan 'Ali Al-Mawardi, Hawi al kabir fi fiqhi madzhabil imam asy-Syafi'i [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994] juz VII, halaman 395)

 

Buruh pada umumnya termasuk dalam ijarah ‘ain, artinya ia menyewakan jasanya secara khusus dan tidak dapat diwakilkan. Sedangkan upah buruh pada umumnya termasuk ujrah fidz dzimmah, yaitu upah yang belum disediakan dan ditunjukkan pada awal transaksi. Dalam kondisi seperti ini, diperbolehkan untuk melakukan kesepakatan pembayaran upah di awal atau di akhir. Jika tidak ada kesepakatan waktu pembayaran, maka dalam pandangan fiqih, upah seharusnya diserahkan di awal. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj [Mesir: Mathba’ah Mushthafa Muhammad] juz VI, halaman 126)

 

Kemudian, ketika buruh telah menyelesaikan pekerjaannya, maka secara hukum, upah telah benar-benar menjadi haknya. oleh karena itu, ketika buruh sudah meminta upah, maka dalam kondisi mampu, majikan wajib segera menyerahkannya dan haram menunda-nunda. 

 

Al-Munawi menjelaskan dalam kitab Faidhul Qodir:

 

(أَعْطُوا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ) أَيْ كِرَاءَ عَمَلِهِ (قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ) … فَيَحْرُمُ مَطْلُهُ وَالتَّسْوِيْفُ بِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ فَالْأَمْرُ بِإِعْطَائِهِ قَبْلَ جَفَافِ عَرَقِهِ إِنَّمَا هُوَ كِنَايَةٌ عَنْ وُجُوْبِ الْمُبَادَرَةِ عَقِبَ فَرَاغِ الْعَمَلِ إِذَا طَلَبَ وَإِنْ لَمْ يَعْرَقْ أَوْ عَرِقَ وَجَفَّ 

Artinya “(Berikan upahnya kepada pekerja) yaitu uang sewa atas pekerjaannya (sebelum keringatnya mengering), maka haram menunda-nunda dalam keadaan mampu. Maka perintah untuk memberinya sebelum keringatnya mengering hanyalah kiasan dari kewajiban bersegera setelah pekerjaan selesai jika ia meminta, meskipun ia tidak berkeringat atau berkeringat dan mengering.” (Abdurrouf Al-Munawi, Faidhul Qodir Syarah al-Jami' ash-Shaghir [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2018] juz I, halaman 694)

 

Sedangkan hukum mengurangi gaji buruh, secara makna sama dengan menghalangi atau tidak memberikan upah yang menjadi hak dari buruh. Dalam pandangan Islam, tindakan ini merupakan bentuk kezaliman yang diharamkan dan dinilai sebagai memperbudak dan merendahkan kepada sesama muslim. 

 

(قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا ثُمَّ أَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ) … وَقَوْلُهُ ( اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ ) هُوَ دَاخِلٌ فِى مَعْنَى مَنْ بَاعَ حُرًّا لِأَنَّهُ اسْتَخْدَمَهُ بِغَيْرِ عِوَضٍ وَهَذَا عَيْنُ الظُّلْمِ وَإِنَّمَا عَظُمَ الْإِثْمُ فِيْمَنْ بَاعَ حُرًّا لِأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ أَكِفَّاءُ فِى الْحُرْمَةِ وَالذِّمَّةِ 

 

Artinya: “(Allah berfirman: Ada tiga orang yang akan menjadi musuhku di hari kiamat: seorang laki-laki yang memberi dengan namaku, lalu dia mengkhianati, seorang laki-laki yang menjual orang merdeka lalu memakan uang hasilnya, dan seorang laki-laki yang menyewakan seorang pekerja, Maka dia telah mempekerjakannya tetapi tidak diberi upahnya)...dan perkataannya: (Dia mempekerjakan seorang pekerja tetapi tidak memberinya upah) termasuk dalam pengertian Barang siapa yang menjual orang merdeka; Karena dia memanfaatkannya tanpa upah, dan ini adalah inti dari ketidakadilan. dan besarnya dosa bagi seseorang yang menjual orang merdeka; Karena umat Islam adalah sama dalam hal kemuliaan dan ditanggung/ dilindungi.” (Ibnu Baththal, Syarah Shahih Bukhari [Riyadh: Maktabah Ar-Rusydi] juz VI, halaman 349)

 

Dengan demikian, hukum menunda pembayaran upah adalah haram dalam kondisi (1) buruh telah menyelesaikan pekerjaannya, (2) buruh telah meminta bayaran, dan (3) majikan mampu untuk membayar upah. Sedangkan hukum mengurangi gaji buruh juga diharamkan karena merupakan bentuk kezaliman yang dilarang agama. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pimpinan Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar.