Bahtsul Masail

Hukum Ibu Menyusui Belum Qadha Puasa sampai Datang Ramadhan Berikutnya

Sel, 2 April 2024 | 16:45 WIB

Hukum Ibu Menyusui Belum Qadha Puasa sampai Datang Ramadhan Berikutnya

Seorang wanita belum bisa qadha puasa Ramadhan karena punya bayi .( freepik)

Assalamu'alaikum. Saya mau bertanya. Tahun lalu saat bulan Ramadhan, saya melahirkan (dan mengalami nifas) sampai tahun ini. Saat bulan Ramadhan tiba, saya belum bisa mengqadha puasa dikarenakan anak saya yang masih kecil. Yang jadi pertanyaan saya, apakah saya harus membayar fidyah atau tidak? Mohon penjelasannya, terima kasih. (Amatullah).
 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Terima kasih atas pertanyaannya. Semoga penanya dan seluruh pembaca NU Online selalu dalam lindungan Allah swt. 
 

Di antara salah satu syarat sah puasa adalah suci dari haid dan nifas. Sehingga orang yang sedang mengalami haid atau nifas tidak boleh dan tidak sah untuk melakukan puasa. Meski demikian, ia berkewajiban untuk melakukan qadha puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas.
 

Kemudian jika ia tidak dapat melakukan qadha selama satu tahun dikarenakan masih menyusui anaknya, sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia tidak berkewajiban untuk membayar fidyah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan kepada orang yang mampu dan berkesempatan untuk melakukan qadha, namun tidak segera dilakukan sampai datang Ramadhan berikutnya.
 

Fidyah adalah makanan pokok sebanyak 1 mud (kurang lebih 7 ons atau 0,75 kg) yang harus dibayarkan sebagai pengganti puasa, seperti orang yang sudah tua dan tidak mampu puasa; atau sebagai kewajiban tambahan karena meninggalkan puasa, seperti ibu hamil yang tidak puasa karena mengkhawatirkan kandungannya, atau karena mengakhirkan qadha puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan berikutnya. 
 

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fathul Jawwad menjelaskan sebagai berikut:
 

وَ) الطَّرِيْقُ الثَّانِي: تَأْخِيْرُ الْقَضَاءِ فَيَجِبُ مَعَهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ كَمَا مَرَّ عَلَى حُرٍّ (مُؤَخِّرِ قَضَاءٍ) لِشَيْءٍ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرُ ، هَذَا إِنْ (أَمْكَنَهُ) الْقَضَاءُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فِي التَّأْخِيْرِ لِإِفْتَاءِ سِتَّةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ بِهِ وَلَا مُخَالِفَ لَهُمْ
 

Artinya, “Jalan kedua yang mewajibkan fidyah adalah menunda qadha puasa. Selain qadha, ia juga harus mengeluarkan satu mud setiap harinya, seperti penjelasan di atas, bagi orang merdeka yang menunda qadha sebagian puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya. Hal ini jika dia mampu mengqadha pada tahun tersebut tanpa ada alasan untuk menundanya, mengingat adanya fatwa enam sahabat mengenai hal tersebut, dan tidak ada seorangpun yang tidak setuju.”
 

فَإِنْ أَخَّرَهُ بِعُذْرٍ كَأَنِ اسْتَمَرَّ سَفَرُهُ أَوْ نِسْيَانُهُ أَوْ جَهْلُهُ الَّذِي يُعْذَرُ بِهِ أَوْ إِكْرَاهُهُ أَوْ إِرْضَاعُهَا إِلَى قَابِلٍ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ مَا بَقِيَ الْعُذْرُ وَإِنِ اسْتَمَرَّ سِنِيْنَ وَلَوْ كَانَ إِفْطَارُهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى الْأَوْجَهِ إِذْ لَا يَلْزَمُ مِنَ الْإِثْمِ الْفِدْيَةُ
 

Artinya, “Jika dia menundanya dengan suatu alasan, seperti masih dalam perjalanannya, kelupaannya, ketidaktahuannya yang dapat ditolerir, masih dalam paksaannya (untuk tidak puasa), atau dia masih menyusui sampai tahun berikutnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selama alasan itu masih ada, sekalipun itu terus menerus bertahun-tahun, meskipun tidak puasanya dulu tanpa alasan menurut pendapat kuat (al-aujah), karena dosa meninggalkan puasa tidak selalu mengharuskan membayar fidyah.” 
 

وَخَرَجَ بِاسْتَمَرَّ خُلُوُّهُ عَنِ الْعُذْرِ بِقَدْرِ مَا عُلِمَ فَتَلْزَمُهُ الْفِدْيَةُ وَيَتَكَرَّرُ الْمُدُّ بِتَكَرُّرِ الْأَعْوَامِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فَيَجِبُ (لِكُلِّ سَنَةٍ مُدٌّ) لِأَنَّ الْحُقُوْقَ الْمَالِيَةَ لَا تَتَدَاخَلُ
 

Artinya, “Dikecualikan dari bahasa terus-menerus, jika alasan tidak berpuasanya telah hilang dengan kadar waktu yang telah diketahui, maka ia harus membayar fidyah, dan kewajiban fidyah tersebut diulangi dengan pengulangan tahunnya menurut pendapat yang dijadikan pegangan. Jadi tiap tahun wajib membayar satu mud, karena hak yang bersifat kehartaan tidak saling tumpang tindih (menjadi satu).” (Ahmad Ibnu Hajar Al-Haitami, Fathul Jawwad bisyarhil Irsyad, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2005], juz I, halaman 452).
 

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan, wanita yang tidak dapat melakukan qadha puasa Ramadhan karena masih menyusui bayinya sampai datang Ramadhan berikutnya, ia tidak berkewajiban untuk membayar fidyah karena mengakhirkan qadha puasa, sebab ia masih mengalami uzur dan belum berkesempatan untuk melakukan qadha. Jadi kewajibannya hanya qadha puasa tanpa disertai membayar fidyahWallahu a’lam.
 


Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar