Bahtsul Masail

Hukum Makan Balut dalam Islam: Halal atau Haram? Ini Penjelasan Lengkap Ulama

Ahad, 22 Juni 2025 | 18:00 WIB

Hukum Makan Balut dalam Islam: Halal atau Haram? Ini Penjelasan Lengkap Ulama

Hukum makan balut (NUO).

Assalamu'alaikum wr wb. Di media sosial kemarin sempat viral terkait makanan bernama balut. Balut sendiri adalah telur itik atau ayam yang telah dibuahi dan dierami selama beberapa hari, hingga embrio mulai terbentuk, Kemudian balut direbus dan dimakan. Balut direbus dalam keadaan telur masih utuh dan hewan di dalamnya belum disembelih. Nah, bagaimana hukum memakannya? Terimakasih sudah menerima pertanyaan saya. Mohon untuk diberikan jawaban. (Hamba Allah).
 

Jawaban

Wa'alaikumussalam wr wb. Sebelumnya terima kasih kami sampaikan kepada saudara penanya yang telah berkenan mengajukan pertanyaan ini kepada kami. Semoga saudara penanya serta para pembaca NU Online senantiasa berada dalam limpahan rahmat dan keberkahan-Nya.
 

Balut sebenarnya bukan makanan asli Indonesia, melainkan makanan khas dari Filipina. Namun, makanan ini juga dapat ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara lainnya, seperti Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Seiring dengan perkembangan media dan informasi, makanan ini kini telah dikenal di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, meskipun tidak mudah ditemukan seperti di negara asalnya.
 

Balut sendiri adalah telur itik atau ayam yang di dalamnya sudah terdapat embrio yang hampir sempurna, yang kemudian direbus dan dimakan. 
 

Di negara asalnya Filipina, balut dianggap sebagai makanan tradisional yang telah dikonsumsi secara turun-temurun. Ia sering dijual sebagai jajanan kaki lima dan memiliki nilai budaya yang kuat. Selain karena faktor tradisi dan budaya, pengonsumi balut percaya bahwa balut memiliki kandungan gizi yang tinggi. Lantas bagaimana hukum mengonsumsinya menurut fiqih? 
 

Semua jenis telur hukumnya suci dan dapat dikonsumsi, termasuk telur dari hewan yang dagingnya tidak halal dimakan, seperti telur burung rajawali, gagak, elang, burung hantu, buaya, kura-kura, dan hewan lainnya. Namun, ada pengecualian: telur yang sudah rusak atau tidak layak menetas, telur bangkai, dan telur ular, ketiganya tidak boleh dikonsumsi. (Muhammad bin Umar Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 39). 
 

Selanjutnya, bagaimana dengan makanan balut yang di dalamnya sudah terdapat embrio yang hampir sempurna? Berikut penjelasan Syekh Nawawi Banten: 
 

وَلَو كسرت بَيْضَة حَيَوَان مَأْكُول وَوجد فِي جوفها فرخ لم يكمل خلقه أَو كمل خلقه لَكِن قبل نفخ الرّوح فِيهِ جَازَ أكله بِخِلَاف مَا إِذا كَانَ بعد نفخ الرّوح وزالت حَيَاته بِغَيْر ذَكَاة شَرْعِيَّة فَإِنَّهُ يكون ميتَة 
 

Artinya, "Jika telur dari hewan yang halal dimakan dipecah, lalu di dalamnya ditemukan anak (embrio) yang belum sempurna penciptaannya, atau sudah sempurna bentuknya tetapi belum ditiupkan ruh, maka boleh memakannya. Berbeda halnya jika ruh sudah ditiupkan ia mati tanpa disembelih secara syar'i, maka ia dihukumi sebagai bangkai." (Nawawi Banten, 40). 
 

Penjelasan Syekh Nawawi Banten menegaskan bahwa telur yang sudah berubah menjadi embrio atau bahkan wujudnya sudah sempurna, maka halal dimakan selama belum belum bernyawa. Berbeda halnya jika sudah bernyawa kemudian mati, maka hukumnya sebagaimana bangkai, sebab mati dengan tidak disembelih secara syar'i
 

Pertanyaan berikutnya kapan embrio unggas; itik atau ayam sudah mulai bernyawa (nafhirruh)? Tentu pengetahuan mengenai hal ini dapat diketahui melalui pendapat ahli (ahli khubrah).
 

Permasalahan ini dapat disamakan dengan permasalahan telur yang sudah berubah menjadi darah dan bagian yang tidak berubah menjadi cairan. Halal tidaknya telur tersebut diserahkan kepada pendapat ahli khubrah dengan mengacu pada kondisi apakah telur yang demikian itu masih layak menetas atau tidak. Jika tidak layak menetas, maka haram dimakan karena najis. (Fathul Jawad, halaman 71). 
 

Walhasil, dalam tinjauan fiqih, hukum memakan balut diperinci sebagai berikut:
Jika embrio dalam telur belum bernyawa (belum ditiupkan ruh), maka hukumnya halal untuk dimakan. Namun, jika embrio tersebut telah bernyawa, maka hukumnya haram karena termasuk dalam kategori bangkai.
 

Dengan pertimbangan kehati-hatian (iḥtiyaṭh), kami berpendapat bahwa memakan balut sebaiknya dihindari apalagi hanya ikut-ikutan trend, bahkan bisa jadi haram. Hal ini karena tidak dapat diketahui secara pasti apakah embrio dalam balut tersebut sebelumnya sudah bernyawa atau belum pada saat dimasak atau dikonsumsi.
 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a'lam. 

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo