Cerpen Yulita Putri
Meja di hadapanku saat itu terasa jauh lebih mengerikan dari meja di ruang kelas dan rumah. Aku mematung dalam ruangan yang begitu sunyi bersama papa. Hanya suara napas kami dan detak jarum jam yang terdengar. Wajah papa yang begitu datar makin membuat suasana kian tegang. Tak ada salju di sisiku, tapi aku merasa ruangan ini beku.
Aku menceritakan kembali kejadian yang telah berlangsung dua belas tahun lalu karena tak mau membiarkannya hilang, menguap seperti bensin yang dibiarkan dalam ruang terbuka. Sekarang, aku baru bisa mengerti mengapa semua itu terjadi dan dari mana asal muasal kebiadaban itu bermula.
Secercah kehangatan meringkus tubuhku ketika dua orang laki-laki berseragam masuk membawa tumpukan kertas. Aku benar-benar tak mengerti mengapa orang-orang dewasa sering kali memperlakukan anak-anak tanpa menanyakan perasaan dan pendapatnya atas apa yang terjadi di sekitar.
Baca Juga
Cerpen: Perempuan Kedua
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pa?" tanyaku mencoba mendapat tanggapan dari papa dan dua orang laki-laki yang kini duduk di depanku.
Mereka tak lekas menjawab tapi langsung menyodorkan gambar-gambar seorang gadis kecil dengan luka di bagian kepala dan wajah. Matanya bengkak, di pipinya ada warna merah dan biru. Bibirnya terlihat pucat dengan luka lebam di pipi kiri.
"Tahu siapa gadis kecil ini?"
"Ya … Sabila, teman kelasku."
"Sabila meninggal karena insiden penyerangan. Apa kamu punya informasi siapa yang membuat gadis kecil ini kehilangan nyawanya?"
"Tidak."
Suara dalam ruangan kembali hening. Kulihat mata papa dan kedua orang asing itu saling beradu. Mereka seperti melempar pesan yang tak kumengerti maksudnya.
"Ardo, jawab pertanyaan papa dengan jujur, apa kamu benar-benar tidak mengetahui siapa yang membunuh Sabila?"
Suara papa terasa dingin. Nadanya mengingatkanku dengan kejadian yang sering kusaksikan di rumah tujuh tahun lalu. Mata itu menusuk perasaanku. Orang lain pasti akan takut jika berada di posisiku saat ini. Dulu, aku juga begitu. Tapi kini, tidak lagi. Aku sudah membiarkan perasaanku hancur lebur dimakan mata itu. Tak kurasakan apa pun.
"Tidak, Pa,” ucapku tegas.
Salah satu laki-laki berseragam berdiri lalu memencet tombol di layar televisi yang menempel di dinding. Aku terkejut melihat video yang muncul. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Layar itu menampilkan seorang anak laki-laki berjaket hitam bergambar Snoopy memukuli Sabila hingga gadis kecil itu tergeletak di lantai.
"Papah lihat! Mereka punya video Ardo," sahutku sambil berdiri dari kursi lalu menunjuk ke arah video.
Baca Juga
Danarto Pentashih Cerpen Pertama Gus Mus
Papa menunduk. Entah kenapa kini wajahnya terlihat seperti mama ketika menyusuiku- sayu dan sembunyi. Tubuhnya tak lagi kokoh, matanya tak lagi menusuk, tetapi lesu seperti tertutup kabut. Ia tak bicara apa-apa, hanya menyentuh pundakku lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Ardo, kenapa kamu memukul temanmu?” ucap salah satu petugas berseragam.
Pertanyaan itu tak lekas kujawab. Layar sudah mati, tapi tampilan dalam video masih menyala dalam pikiranku. Kurasakan amarah yang mengalir dalam darah. Aku ingin melempar televisi itu dengan kursi, meja, atau kutinju hingga retak.
Baca Juga
Cerita Pendek: Perjanjian Kedua Iblis
"Kenapa kamu melakukan itu, Ardo?"
"Aku … hanya bermain. Dan Sabila tidak keberatan dengan hal itu, Pa."
"Tapi kamu membunuh manusia! Kau tahu apa arti pembunuhan?” ucap papa dengan nada lebih tinggi.
Baca Juga
Cerita Pendek: Gambar Buatan
Aku ingin bilang bahwa aku tak sengaja, aku cuma mengulang apa yang kulihat. Aku sungguh tak paham mengapa mereka menyebutku ‘pembunuh’. Mereka tidak mengerti apa yang aku lakukan dengan Sabila hanya sebuah permainan
"Aku laki-laki, Sabila perempuan. Bukankah hal itu boleh terjadi, Pa?"
***
Baca Juga
Cerita Pendek: Alhamdulillah
Hari-hari di rumah selalu ada suara teriakan. Penyulutnya bisa dari mama atau papa. Aku ingin berceloteh, kenapa mereka saling memaki? Tapi lidahku terasa beku untuk menuangkan keresahan itu dalam bahasa orang dewasa. Akhirnya, aku hanya menangis sambil menyimak semua yang aku dengar dan lihat.
Senin sore, suara jeritan mama lebih kencang dari biasanya. Kali ini ada bunyi benturan ke tembok. Seperti seorang tukang yang sedang menggempur dinding yang telah usang. Iya, aku pernah mendengar dan melihatnya saat pertama kali pindah ke rumah ini. Aku penasaran sekali dengan yang terjadi. Apakah ada seekor beruang yang masuk ke rumah atau monster yang sedang mencari anaknya, seperti yang aku lihat di televisi? Kakiku tak bisa diajak kerja sama untuk bangkit dari box tidur, padahal aku ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Tak lama, mama masuk ke kamar, menghampiriku. Ia tahu aku lapar dan ingin segera mengisap sari makanan dalam tubuhnya. Buru-buru kuteguk cairan berwarna putih dari gumpalan daging di dadanya. Ini situasi paling nyaman yang pernah aku rasakan. Lebih membahagiakan ketimbang mendengar teriakan yang sering menyambangi hari-hariku.
Baca Juga
Cerita Pendek: Nyeser
Oh, mamaku perempuan yang cantik. Wajahnya putih bersih, matanya bulat, bibirnya kemerah-merahan. Aku senang sekali memandangi wajahnya sambil mengisap susu. Dunia ini terasa menyenangkan. Namun wajah mamah sering berubah. Terkadang ia sangat cantik seperti yang telah kuceritakan, tapi di waktu lain, wajahnya dihiasi warna merah dan ungu di bagian dekat alis. Ukuran matanya juga menjadi lebih besar dari sebelumnya. Biasanya kalau sedang seperti itu mama menetekkan aku sambil menangis.
***
Aku sudah bisa berjalan. Tak lagi meringkuk di box tidur. Kata mama kelak aku bisa jadi prajurit yang gagah ketika sudah dewasa. Aku tak tahu apa prajurit itu, apakah sejenis monster atau zombie yang ada di film-film. Tapi kata mama prajurit itu tangguh dan tidak mudah untuk dilukai orang lain.
Baca Juga
Cerpen: Wong Nyupang
Saat aku menggambar dinding, papa pulang dari tempat kerja. Aku menuju ke arah pintu masuk. Mereka berteriak lagi. Suara mereka persis seperti yang aku dengar sejak belum bisa merangkak. Papa mengempaskan tubuh mama lalu mendaratkan pukulan di pipinya. Perempuan yang kukasih itu tidak melakukan perlawanan apa-apa. Tubuh mama seperti samsak tinju yang pasrah dipukuli hingga rusak.
"Maa...ma ... " ucapku dengan terbata-bata.
Mama lekas menghampiriku, meninggalkan papa sendirian. Kami berdua berada di dalam kamar dengan pintu tertutup. Aku ingin menangis, tapi mama malah tersenyum dan berbisik bahwa dia tidak kenapa-kenapa. Bibirnya terlihat pucat dengan luka lebam di pipi kiri.
Baca Juga
Tahun Wawu
Yulita Putri, alumnus UIN Raden Intan Lampung, STEBI Lampung, dan Pascasarjana UNU Surakarta. Tulisannya yang fokus pada beberapa isu seperti pendidikan, tren, perempuan, dan buku tersebar di beberapa media online. Kini aktif di Yayasan Spek-Ham Surakarta dan Pusat Kajian Perempuan Solo, dengan minat pada isu gender, anak, pendidikan, lingkungan, dan agama. Bukunya yang telah terbit Menafsir Sastra Anak (2024).