Daerah

Tradisi Sasi, Penghormatan kepada Alam di Raja Ampat Tetap Berjalan Meski Ada Tambang Nikel

Kamis, 19 Juni 2025 | 18:00 WIB

Tradisi Sasi, Penghormatan kepada Alam di Raja Ampat Tetap Berjalan Meski Ada Tambang Nikel

Elsa Moom dan hasil teripang yang diperolehnya saat buka sasi, di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Foto: Nugroho Arif Prabowo/Yayasan Konservasi Alam Nusantara)

Jakarta, NU Online

Ketua Dewan Adat Sub-Suku Usba, Charles Adrian Michael Imbir menyampaikan bahwa masyarakat adat di Raja Ampat, Papua Barat Daya tetap menjaga dan melestarikan tradisi sasi. Tradisi ini menjadi bentuk penghormatan kepada alam dan upaya menjaga keseimbangan ekosistem yang telah diwariskan secara turun-menurun.


Ia menyampaikan bahwa masyarakat adat, hidup dalam hubungan yang erat dengan alam. Prinsip hidupnya sangat sederhana yaitu mengambil secukupnya dari alam untuk makan dan minum.


“Masyarakat adat ini kan hidup dengan alam, dengan lingkungan, kalau alam dirusak ya sudah selesai itu sebenarnya, hilang sudah. Jadi budaya mengambil secukupnya itu, mereka ambil hanya untuk makan dan minum saja,” ungkap Charles saat dihubungi NU Online pada Rabu (18/6/2025).


Tradisi Sasi, kearifan lokal dalam menjaga alam

Charles menjelaskan bahwa sasi merupakan bentuk larangan adat yang bersifat sementara terhadap pengambilan hasil alam, seperti ikan, buah, sayur, dan hasil hutan. Larangan ini ditentukan oleh kesepakatan adat dan dihitung dengan cermat oleh masing-masing suku di Raja Ampat.


“Sasi ini dihitung setiap suku beda-beda, ada yang setiap enam bulan sekali, atau tiga bulan sekiali, beda-beda sesuai dengan situasi apa yang mau mereka laksanakan dan situasi kondisi sosial yang mereka hadapi,” katanya.


“Hewan-hewan apa yang diangkat (diambil) dan tumbuhan apa yang diambil, ada hitung-hitungannya itu, sehingga dapat kebutuhan sehari-hari mereka, kemanfaatan di lain waktu, keberkahan, dan dapat meningkatkan ekonomi,” lanjutnya.


Ia menegaskan bahwa tujuan utama dari perhitungan tersebut adalah memberikan waktu bagi ikan untuk berkembang biak, bagi tanaman untuk berbuah kembali. Menurutnya, tradisi sasi juga merupakan bentuk konservasi yang berbasis budaya. Melalui tradisi ini, diharapkan generasi berikutnya masih bisa merasakan manfaat dari alam di Raja Ampat.


“Adanya sasi ini untuk menjaga alam tetap terjaga dan manfaatnya terus berlanjut ke anak cucu nanti,” katanya.


Namun, masyarakat adat Raja Ampat kini menghadapi tantangan besar yaitu hadirnya industri pertambangan nikel di Pulau Gag, Kawei, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun.


“Walau ada tambang, tradisi itu tetap dijalankan, hanya saja tidak sampai ke wilayah tambang. Kalau wilayah sudah diambil perusahaan dan ada izinnya, itu jadi milik perusahaan, sudah bukan lagi milik adat,” ujar Charles.


“Jadi hutan lindung di Papua ini, kalau masyarakat ambil pohon itu kan ada hukumannya, kalau perusahaan yang sudah memiliki izin itu bisa memotong pohon berhektar-hektar,” tambahnya.


Antara hak adat dan kepentingan nasional

Charles menyoroti bahwa proyek-proyek tambang besar sering kali tidak mewakili kepentingan masyarakat Papua.


“Tambang-tambang ini kan di luar kepentingan Papua, bukan kepentingan masyarakat adat. Jangan karena orang Papua sedikit, jadi hasilnya diambil semua untuk orang di luar Papua,” tegasnya.


Ia menegaskan pentingnya memperhatikan kebutuhan dan keseimbangan alam, bukan semata-mata demi memenuhi kebutuhan nasional.  


“Kebutuhan masyarakat adat Raja Ampat dirusak, malah hilang,” ujar Alumnus Teknik Planologi Universitas Diponegoro (Undip) itu.