Masjid Ramah Lingkungan, Gus Ulil: Harus Selaras dengan Ekosistem Sosial
Sabtu, 14 Juni 2025 | 19:30 WIB

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla pada Focus Group Discussion (FGD) Pembinaan Dakwah Ekologis Masjid di Hotel Permata Bogor pada Sabtu (14/6/2025) (Foto: Rikhul Jannah/NU Online)
Bogor, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil menyatakan bahwa konsep masjid ramah lingkungan bukan hanya soal penghematan energi atau penanaman pohon, tapi harus selaras dengan kondisi ekosistem sosial di sekitar masjid.
“Misalkan di Daerah Jakarta, itu lahannya sempit, tetapi di setiap gang dibangun masjid yang mewah. Itu kan tidak seimbang. Harus memperhatikan kondisi masyarakatnya, bangun masjid sesuai dengan kondisi setempat. Jangan apa-apa mewah; sederhana saja cukup, asal digunakan dengan optimal,” ujar Gus Ulil pada Focus Group Discussion (FGD) Pembinaan Dakwah Ekologis Masjid di Hotel Permata Bogor pada Sabtu (14/6/2025).
Ia menegaskan bahwa setiap desa atau kelurahan cukup memiliki satu masjid sebagai tempat berkumpulnya umat Muslim, seperti kegiatan Shalat Jumat.
“Kalau setiap gang punya masjid, ini ekosistem masyarakatnya terganggu, disana bunyi suara, disini bunyi suara, baru 300 meter ada masjid; cukup satu saja, kalau mushalla bolehlah; kalau masjid satu saja cukup,” tegasnya.
Gus Ulil menyoroti pembangunan masjid di daerah perkotaan dan pedesaan. Menurutnya, masjid di kota cenderung memiliki manajemen yang lebih baik dibandingkan di desa. Hal ini terlihat dari pengelolaan sampah dan air wudhu dengan bantuan teknologi.
“Mengelola ekologi itu ya menggunakan teknologi, menggunakan sains. Mengatasi masalah dengan cara yang taktis, ini loh teknologinya, ini berdasarkan sainsnya,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa penggunaan air wudhu di pedesaan sering kali mengabaikan pengelolaan air yang berdampak pada ketersediaan air tanah di sekitarnya.
“Penggunaan air dari tanah, kalau di desa terkadang lupa mengelolanya jadi air sumur itu terus dikeduk, semestinya pemerintah harus meregulasi pengelolaan air tanah di desa-desa sehingga takmir masjid tahu langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.
Sedangkan di daerah perkotaan, sambungnya, harusnya pemerintah semua yang kelola karena lingkupnya lebih kecil.
“Seperti di Jakarta itu kan baru dikit yang menerapkan pengelolaan air. Kalau langsung pemerintah yang mengelola, saya yakin tidak ada krisis air di negeri ini,” tambahnya.
Sementara itu, dosen antropologi dari Australian National University Eva F. Nisa menyampaikan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat menjadi penyebab utama krisis iklim.
“Bumi mendapatkan tekanan kebutuhan sumber daya seperti air bersih, energi, pangan, dan gaya hidup negara-negara kaya lebih merusak lingkungan,” katanya.