Nasional

Tanggapan Guru terkait Rencana Dimasukannya Mata Pelajaran AI ke Kurikulum SD hingga SMA

Sabtu, 10 Mei 2025 | 20:00 WIB

Tanggapan Guru terkait Rencana Dimasukannya Mata Pelajaran AI ke Kurikulum SD hingga SMA

Ilustrasi: Pembelajaran AI di Indonesia berpotensi dihadapkan pada kesenjangan infrastruktur dan SDM.

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka berencana memasukkan mata pelajaran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) ke dalam kurikulum tingkat SD, SMP hingga SMA. Kebijakan ini menuai pro dan kontra di kalangan para pendidik.


Guru Sekolah Dasar (SD) Hj Isriati Baiturrahman 2 Kota Semarang, Jawa Tengah, Fikri Alfian Manshuroni merupakan salah satu yang kontra terkait kebijakan tersebut. Ia mengaku tidak menolak total kebijakan tersebut namun mencoba mengkritisinya.

 

"Jadi, bukan menolak esensinya, tapi mengkritisi cara dan waktunya," jelasnya saat diwawancarai NU Online pada Rabu (7/5/2025).

 

Ia mempunyai beberapa alasan mengapa tidak menerima mentah-mentah kebijakan tersebut. Alasannya, di Indonesia masih terjadi kesenjangan di bidang infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM). Bahkan kebijakan penerapan mata pelajaran AI ini dirasa tergesa-gesa 

 

Ia menyebut setidaknya ada tiga dampak negatif apabila kebijakan tersebut diterapkan secara tergesa-gesa dan tidak dipertimbangkan kelemahannya.

 

Pertama anak-anak akan mengalami ketergantungan pada teknologi. Teknologi AI bisa memicu anak malas berpikir, karena semua problem bisa dijawab AI.

 

Kedua, plagiarisme meningkat. Tanpa edukasi etika, anak-anak dapat dengan mudah mencontek lewat AI tanpa melalui proses belajar.

 

Ketiga, bias informasi. Pada umumnya, AI mengandung informasi dari berbagai sumber yang belum tentu sesuai dengan nilai budaya dan agama.

 

"Karena itu, etika digital dan literasi kritis harus jadi bagian wajib dari kurikulum AI, bukan hanya teknologinya," paparnya.

 

Fikri sapaan akrabnya tidak menyangkal terkait urgensi AI saat ini, apalagi faktor perubahan dunia kerja dan sosial terjadi karena AI. Namun menurutnya, urgensi tidak bisa dijadikan alasan untuk melahirkan kebijakan yang tergesa-gesa.


Ia juga mengkritik budaya latah teknologi masyarakat Indonesia. Suatu budaya atau gaya hidup yang seringkali diadopsi tanpa ada filter dan kesiapan untuk menerapkannya.

 

"AI bisa membuat anak pasif, hanya menyalin dari AI. Menurunkan daya tahan belajar dan kreativitas," ujarnya.

 

"Kalau AI hanya jadi alat bantu instan, ini bisa membuat anak makin malas membaca dan berpikir, menurunkan kreativitas dan nalar," lanjutnya.


Ia mengakui kebijakan implementasi AI menjadi mata pelajaran merupakan kebijakan yang futruristik. Meskipun tetap saja harus dilihat secara proporsional.

 

Mengenalkan AI, kata Fikri, bukan berarti mengajarkan coding yang rumit untuk anak-anak khususnya anak-anak SD. Melainkan memberi pemahaman dasar untuk mereka terkait cara kerja teknologi AI, berpikir logis dan etika digital atau AI.


"Tapi, keberhasilannya sangat tergantung pada kesiapan sekolah, guru, dan kurikulum yang adaptif terhadap usia," terangnya.

 

Sementara itu, salah seorang guru Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Jakenan, Pati, Jawa Tengah,  Dafid Alfiyanto mendukung penerapan AI menjadi mata pelajaran di sekolah. Menurutnya, hal tersebut merupakan ide yang bagus.

 

Namun, ia mewanti-wanti agar kebijakan tersebut dilaksanakan secara bertahap. Materi AI bisa dimulai sebagai muatan lokal, ektrakurikuler atau proyek lintas pelajaran (STEAM). 


"Singkatnya, saya pro karena mengajarkan AI bukan hanya soal mengerti teknologi, tapi soal membangun masa depan yang cerdas, etis, dan mandiri secara digital," tegasnya.


Sebagai konsekuensinya, implementasi kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan pelatihan guru, kurikulum adaptif dan kolaborasi dengan sektor teknologi.

 

Ia mengatakan kebijakan ini akan berdampak positif baik bagi individu siswa, institusi atau sekolah bahkan secara nasional yaitu dari segi ekonomi digital dan kedaulatan teknologi. Namun, implementasinya harus dirancang secara bertahap, inklusif dan adaptif.


Ia mengungkapkan AI yang dirancang menjadi mata pelajaran baru harus mampu mempersiapkan generasi masa depan bangsa, bukan justru menjadi beban baru. Suksesnya kebijakan ini, kata Dafid dipengaruhi penerapan yang manusiawi dan kontekstual, bukan sekedar formalitas pengajaran teknologi.

 

"Pemerintah harus memandang penerapan AI di sekolah sebagai proses jangka panjang yang membutuhkan kesiapan ekosistem, bukan sekadar program cepat untuk pencitraan. Kuncinya (yaitu) bertahap, kolaboratif, kontekstual, dan inklusif," pungkasnya.