6 Etika Dagang dalam Islam: Belajar dari Kasus Ayam Goreng Minyak Babi
NU Online · Rabu, 28 Mei 2025 | 20:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Belakangan ini, masyarakat dihebohkan oleh kabar viral tentang sebuah rumah makan di Jawa Tengah yang mengaku telah menggunakan minyak babi dalam proses menggoreng ayam yang mereka sajikan. Fakta ini mengungkap bahwa makanan tersebut tidak halal. Selama puluhan tahun beroperasi, rumah makan tersebut tidak pernah mencantumkan keterangan non-halal, sehingga banyak konsumen Muslim yang mengonsumsinya tanpa rasa khawatir.
Kasus seperti ini tentunya mengingatkan kita akan pentingnya etika dagang dan kejujuran dalam bisnis. Sebagai Muslim, selain mengikuti kode etik dalam berbisnis yang menjadi ketetapan dan undang-undang dalam negara, kita juga patut merujuk kepada hadits Nabi dan juga nasihat dari para ulama terkait jual-beli. Rasulullah SAW bersabda:
التاجر الصدوق الأمين مع النبيين، والصديقين، والشهداء
Artinya, "Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), dan para syuhada," (HR At-Tirmidzi).
Al-Hakim, sebagaimana dikutip oleh Al-Munawi, menjelaskan bahwa pedagang yang jujur mendapatkan kedudukan ini karena hatinya terbebas dari sifat penipuan, menyerupai sifat kenabian yang terbuka dari kedustaan. Kejujuran ini juga mencerminkan keselarasan antara hati dan perbuatan, serta pengorbanan diri demi menjaga amanah, sebagaimana sifat para syuhada yang rela berkorban demi Allah (Faydhul Qadir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijariyyah, al-Kubra, 1356], jilid III, hlm. 278).
Dalam konteks kasus tersebut, kejujuran dalam menyampaikan status kehalalan makanan adalah wujud nyata dari amanah ini. Pesan ini tentunya berlaku juga untuk umumnya pelaku segala jenis usaha. Kejujuran tentang produk merupakan hal yang paling berharga bagi konsumen.
Islam tidak hanya menekankan kejujuran, tetapi juga menetapkan adab-adab luhur dalam berdagang yang menjadi pedoman bagi setiap pedagang Muslim. Syekh Wahbah Az-Zuhaili memaparkan 6 etika berdagang dalam Islam, yaitu sebagai berikut:
Baca Juga
Hukum Daging Babi dan Organ Lainnya
1. Tidak Berlebihan Mengambil Keuntungan
Islam secara tegas melarang praktik penipuan harga yang mencolok (ghabn fahish), karena termasuk bentuk kecurangan yang diharamkan dalam seluruh agama. Namun, selisih harga yang ringan dan tidak bisa dihindari dalam jual beli dibolehkan, karena jika setiap selisih kecil dibatalkan, maka hampir tak ada transaksi yang sah.
2. Jujur dalam Muamalah
Seorang pedagang wajib menjelaskan barang dagangannya sebagaimana adanya, tanpa dusta dalam menyebut jenis, kualitas, asal-usul, maupun biaya produksinya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan fasik, kecuali yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dalam muamalah, dan jujur.”
3. Bersikap Lapang dalam Transaksi
Penjual dianjurkan untuk memudahkan pembeli, misalnya dengan memberi potongan harga, dan pembeli pun dianjurkan untuk tidak memberatkan syarat atau terlalu menawar. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, Rasulullah bersabda: “Semoga Allah merahmati seseorang yang lapang hati ketika menjual, ketika membeli, dan ketika menagih utangnya.”
4. Menghindari Sumpah
Umat Islam dianjurkan untuk tidak bersumpah dalam jual beli, meskipun isi sumpahnya tersebut benar. Karena hal itu merupakan bentuk “mengambil nama Allah” dalam urusan duniawi. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian sebagai penghalang untuk berbuat baik, bertakwa, dan mendamaikan manusia.” (QS. Al-Baqarah: 224)
5. Memperbanyak Sedekah
Pedagang dianjurkan untuk banyak bersedekah sebagai bentuk penebus atas kekeliruan yang mungkin terjadi, seperti sumpah, penipuan, menyembunyikan cacat barang, atau mengambil keuntungan yang merugikan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Qais bin Abi Gharzah, Nabi bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa hadir dalam jual beli. Maka campurkanlah jual beli kalian dengan sedekah.”
6. Mencatat Transaksi
Dianjurkan untuk menulis dan mendata akad jual beli, terutama jika ada pembayaran yang ditangguhkan, serta menghadirkan saksi dalam transaksi. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan transaksi utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah...” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr, t.t], jilid V, hlm. 3307-3308)
Kasus rumah makan yang menyembunyikan penggunaan minyak babi menjadi pengingat kuat bagi pelaku usaha untuk menjunjung tinggi kejujuran dan amanah dalam setiap transaksi. Islam telah memberikan pedoman luhur melalui ajaran Rasulullah SAW dan nasihat para ulama, yang menekankan pentingnya kejujuran, kelapangan hati, dan tanggung jawab dalam berdagang.
Penjual wajib menyampaikan informasi produk secara rinci dan jelas kepada publik. Dengan demikian, calon pembeli dapat memahami secara tepat spesifikasi, keunggulan, dan karakteristik produk yang akan mereka beli, sehingga keputusan pembelian dapat diambil dengan lebih percaya diri dan terinformasi.
Dengan mematuhi etika bisnis, seperti menghindari penipuan dan bersikap jujur tentang produk seorang pelaku usaha tidak hanya meraih kepercayaan konsumen, tetapi juga keberkahan dari usahanya. Kasus ini menjadi pelajaran berharga agar setiap pelaku usaha senantiasa menjaga integritas, sehingga tercipta ekosistem bisnis yang adil dan transparan bagi semua pihak. Wallahu a'lam.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
Terkini
Lihat Semua