Nasional

Uji UU Pers, Iwakum Sebut Aturan Perlindungan Hukum Wartawan Masih Ambigu

Kamis, 28 Agustus 2025 | 11:00 WIB

Uji UU Pers, Iwakum Sebut Aturan Perlindungan Hukum Wartawan Masih Ambigu

Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/8/2025). (Foto: MKRI)

Jakarta, NU Online

Di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/8/2025).


Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil menilai bahwa Pasal 8 UU Pers disebut masih ambigu karena penjelasannya justru memperluas makna, seharusnya menjamin perlindungan hukum dan dinilai multitafsir dan berpotensi merugikan wartawan. 


Hal itu, katanya, dinilai berlawanan dengan jaminan konstitusional atas kepastian hukum, perlindungan diri, serta kehormatan dan martabat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.


"Pasal 8 menyatakan bahwa "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Sementara Penjelasan Pasal 8 menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘perlindungan hukum' adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku"," katanya.


Dalam permohonannya, ia juga membandingkan rumusan perlindungan hukum bagi pers dengan profesi advokat dan jaksa yang dinilai lebih tegas dan tidak multitafsir. Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan disebut secara jelas melindungi profesi tersebut dari tuntutan hukum selama menjalankan tugas dengan itikad baik.


Selain itu, dia juga menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dijerat pidana atas karya jurnalistik mereka. 


“Rumusan Pasal 8 UU Pers justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan gagal menjamin hak konstitusional wartawan,” tegas pemohon.


Atas dasar itu, Iwakum meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 8 UU Pers beserta Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.


Dalam persidangan, Ponco menilai berlakunya pasal a quo dapat menimbulkan kerugian konstitusional bagi wartawan hukum. 


“Kerugian ini spesifik, aktual, atau setidaknya potensial, karena wartawan bisa terancam kriminalisasi atas pemberitaan maupun investigasi yang mereka lakukan,” ujarnya.


Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Ketua MK Suhartoyo meminta pemohon mempertimbangkan kembali petitumnya. Menurutnya, petitum pemohon justru mempersempit cakupan perlindungan hukum dalam pasal a quo.


“Apakah itu tidak justru mempersempit kalau yang sebenarnya perlindungan hukum itu pengertiannya luas, tapi kalau konteksnya hanya kepolisian dan keperdataan, bagaimana dengan tata usaha negara misalnya satu saat digugat ke TUN misalnya? Atau dipersoalkan lain dalam konteks yuridis juga, bisa jadi kan tidak ter-cover jadinya, padahal perlindungan hukum di situ itu sebenarnya lebih universal,” sarannya.


Di akhir persidangan, Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada 9 September 2025.