Nikah/Keluarga

Zhihar dalam Al-Qur’an: Dari Tradisi Jahiliah Menuju Keadilan bagi Perempuan

Ahad, 13 Juli 2025 | 14:00 WIB

Zhihar dalam Al-Qur’an: Dari Tradisi Jahiliah Menuju Keadilan bagi Perempuan

Ilustrasi perempuan sedang berdoa. Sumber: Canva/NU Online.

Sebelum Islam, zhihar merupakan tradisi turun-temurun dalam masyarakat Arab sebagai bentuk talak (perceraian). Zhihar terjadi ketika seorang suami menyamakan istrinya dengan ibunya, yang berarti ia mengharamkan hubungan suami-istri dengan istrinya, serupa dengan istilah "pisah ranjang" dalam bahasa yang populer di tengah masyarakat kita. 


Ketika Islam hadir dengan cahaya kebenaran dan keadilan, Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap praktik ini, tidak hanya untuk mengecamnya, tetapi juga untuk mengatur solusi bagi pelakunya. Apa sebenarnya zhihar menurut Al-Qur’an? Bagaimana praktik ini dilakukan? Dan apa dampak hukumnya dalam pandangan Islam?


Penjelasan Al-Qur’an Tentang Zhihar

Al-Qur’an membahas zhihar secara langsung dalam Surat Al-Mujadalah ayat 1-4, yang diturunkan sebagai respons atas kasus seorang perempuan pada masa Nabi yang suaminya mengucapkan zhihar kepadanya. Ayat-ayat ini menetapkan hukum yang tegas sekaligus adil, melindungi hak perempuan dan memberikan solusi bagi pasangan yang terlanjur melakukan zhihar. Berikut adalah QS. Al-Mujadalah ayat 1-4: 


قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ اَلَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهٰتِهِمْۗ اِنْ اُمَّهٰتُهُمْ اِلَّا الّٰۤـِٔيْ وَلَدْنَهُمْۗ وَاِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهٖۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًاۗ ذٰلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ


Artinya: “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu, (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang kafir mendapat azab yang pedih.”


Sebab turunnya ayat 1-4 QS. Al-Mujadilah

Surah Al-Mujadilah ayat 1–4 diturunkan berkenaan dengan kisah Khawlah binti Tsa‘labah, istri Aus bin Shamit, yang suaminya mengucapkan zhihar dengan menyamakan Khawlah dengan ibu mertuanya. Khawlah menolak anggapan bahwa ucapan itu memisahkannya dari suami, lalu mengadu kepada Rasulullah. Atas pengaduan ini, Allah menurunkan wahyu yang menegaskan bahwa zhihar bukan talak dan menetapkan hukum yang harus dijalani pelaku zhihar.


نزلت في خولة بنت ثعلبة كانت تحت أوس بن الصامت وكانت حسنة الجسم وكان به لمم فأرادها فأبت فقال لها أنت علي كظهر أمي ثم ندم على ما قال وكان الظهار والإيلاء من طلاق أهل الجاهلية فقال لها ما أظنك إلا قد حرمت علي فقالت والله ما ذاك طلاق وأتت رسول الله


Artinya: “Ayat ini turun mengenai Khawlah binti Tsa‘labah. Ia adalah istri dari Aus bin Shamit. Ia memiliki tubuh yang indah, sementara Aus memiliki gangguan (kejiwaan atau emosi). Suatu ketika Aus menginginkannya, namun Khawlah menolak. Maka Aus berkata kepadanya, 'Engkau bagiku seperti punggung ibuku.' Kemudian ia menyesali ucapannya. Pada masa itu, zhihar dan ila’ dianggap talak oleh masyarakat Jahiliah. Aus berkata kepadanya, 'Aku kira engkau telah menjadi haram bagiku.' Namun Khawlah menjawab, 'Demi Allah, itu bukan talak,' lalu ia pun mendatangi Rasulullah,” (Al-Baghawi, Ma’alimuttanzil fii Tafsiril Qur’an, [Beirut: Darul Ihya’ At-Turats, 1979] jilid V, halaman 78).


Dampak hukum pelaku zhihar dalam Al-Qur’an

Dalam syariat Islam, zhihar tidak dianggap sebagai talak yang memutus hubungan suami-istri secara permanen, tetapi tetap memiliki konsekuensi hukum yang serius. Suami yang mengucapkan zhihar dilarang berhubungan dengan istrinya hingga menunaikan kafarat sebagai bentuk tanggung jawab. 


Kafarat dibebankan sepenuhnya kepada suami dengan tiga pilihan berurutan: memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut jika tidak mampu, atau memberi makan enam puluh orang miskin jika puasa pun tidak sanggup dilakukan. Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:


وحكم الظهار في الجاهلية تحريم الزوجة تحريما مؤبدا، فبدّل الله ذلك الحكم، وجعل حكم الظهار التحريم المؤقت الذي يزول بإخراج كفارة الظهار المنصوص عليها في الآيات الأولى من هذه السورة: عتق رقبة، فصيام شهرين متتابعين، فإطعام ستين مسكينا


Artinya: “Hukum zhihar pada masa jahiliah adalah mengharamkan istri untuk selamanya. Maka Allah mengganti hukum tersebut, dan menjadikan zhihar sebagai pengharaman sementara yang dapat hilang dengan membayar kafarat zhihar sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat awal surah ini, yaitu: memerdekakan budak, lalu jika tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.” (At-Tafsirul Munir fil ‘Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus: Darul Fikr, 1991] jilid XXVIII, halaman 6)


Zhihar, praktik jahiliah di mana suami menyamakan istrinya dengan ibunya sehingga dianggap haram untuk disentuh selamanya, dikoreksi oleh Islam melalui Surah Al-Mujadilah ayat 1–4. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah Khawlah binti Tsa‘labah, yang mengadu kepada Rasulullah atas ucapan zhihar suaminya. Dalam Islam, zhihar bukan talak yang memutus hubungan suami-istri, melainkan ucapan keliru dengan konsekuensi hukum tertentu.


Pelaku zhihar dilarang berhubungan dengan istrinya hingga menunaikan kafarat, yang dibebankan sepenuhnya kepada suami. Kafarat ini terdiri dari tiga pilihan berurutan: memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut jika tidak mampu, atau memberi makan enam puluh orang miskin jika puasa pun tidak sanggup.


Walhasil, melalui kasus zhihar, Islam menegaskan keadilan dan perlindungan hak perempuan, mengganti tradisi keliru dengan hukum yang tegas namun penuh solusi. Dengan menetapkan kafarat, Islam tidak hanya menegur pelaku, tetapi juga membuka jalan pertobatan dan pemulihan hubungan suami-istri. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.