Nikah/Keluarga

Suami Bersumpah Tidak Menggauli Istri, Apakah Jatuh Talak?

NU Online  ·  Selasa, 8 Juli 2025 | 21:30 WIB

Suami Bersumpah Tidak Menggauli Istri, Apakah Jatuh Talak?

Ilustrasi pasangan suami istri. (Foto: NU Online)

Dalam kehidupan rumah tangga, terjadinya dinamika keluarga sudah menjadi hal yang biasa. Hadirnya Islam dengan seperangkat aturan tidak hanya mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga mengantisipasi amarah dan konflik yang terjadi antara suami dan istri, salah satu di antaranya adalah ketentuan tentang ila’.

 

Permasalahan ila’ sering kali menjadi sorotan masyarakat, khususnya terkait dengan dampak terhadap status pernikahan. Suami mendiamkan istri, menjauhinya secara fisik dan emosional selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hal semacam ini menimbulkan pertanyaan: Apakah status pernikahan, otomatis berakhir karena suami tidak menyentuh istrinya selama berbulan-bulan?

 

Ila’ merupakan sumpah yang diucapkan suami untuk tidak menggauli istrinya selama waktu yang tidak ditentukan atau lebih dari empat bulan, padahal sebenarnya suami tersebut punya kemampuan untuk menggauli istrinya. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 226-227 yang berbunyi:

 

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۚ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (٢٢٦) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧

 

Artinya: “Bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya, diberi tangguh empat bulan. Maka jika mereka kembali (kepada istrinya), sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad untuk menceraikan, maka sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Dari ayat di atas, terlihat bahwa Allah memberikan dua opsi setelah waktu empat bulan berakhir, yaitu pertama rujuk (fa'in fâ'û), yaitu kembali menyentuh istri, maka pernikahannya tetap sah. Imam ‘Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, menulis di dalam kitabnya Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil, sebagai berikut:

 

فإن فاؤوا) أي رَجَعُوا عَنِ الْيَمِينِ بِالْوَطءِ، وَالْمَعنَى فَإِنْ رَجَعُوا عَمَّا حَلِفُوا عَلَيهِ مِن تَركِ جِمَاعِهَا فَإِنَّ اللّٰهَ (غفور رحيم) لِلزَّوجِ إِذَا تَابَ مِن إِضرَارِ لِلزَّوجَةِ، بِأَمرِهِ

 

Artinya: “fa'in fâ'û, artinya mereka kembali dari sumpahnya dengan melakukan hubungan badan. Maknanya adalah, jika mereka kembali dari sumpahnya untuk tidak menggauli istrinya, maka sesungguhnya Allah (Ghafûr Rahîm), Maha Pengampun dan Maha Penyayang bagi suami apabila ia bertaubat dari menyakiti istrinya.” (Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil, [Beirut: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2023], Jilid I, halaman 158).

 

Kedua, talak (‘azamû at-thalâq), jika suami secara sadar memilih bercerai, maka dilakukanlah talak.

 

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan ila’ kepada istrinya selama sebulan, sebagaimana dalam Jami at-Tirmidzi:

 

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَالَ آلَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا فَأَقَامَ فِي مَشْرُبَةٍ تِسْعًا وَعِشْرِينَ يَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ آلَيْتَ شَهْرًا فَقَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

 

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far dari Humaid dari Anas, bahwasannya ia berkata, Rasulullah berjanji untuk tidak mendatangi istri-istrinya sebulan penuh, lalu beliau berdiam diri di sebuah ruangan selama dua puluh sembilan hari, para sahabat bertanya, wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah berdiam diri selama satu bulan penuh, beliau bersabda, ‘Satu bulan itu (lebih banyak) terdiri dari dua puluh sembilan (hari).” (HR. Tirmidzi, no 626).

 

Hadits ini memperlihatkan bahwa Rasulullah tidak menjatuhkan talak, meskipun telah melakukan ila’. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa ila’ bukanlah talak otomatis. Lebih jauh dari itu, Syekh Muhammad Muhajirin, dalam kitab Misbâhudh Dhulâm Syarah Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkâm menjelaskan, Ila’ tidak akan terjadi jika suami bersumpah tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu di bawah empat bulan.

 

وَأَمَّا إِذَا حَلَفَ عَلَى أَن لَا يَطَأَ زَوجَتَهُ أَقَلُّ مِن أَربَعَةِ أَشهُرٍ فَلَا يَدخُلُ تَحتَ بَابِ الْإِيلَاءِ

 

Artinya: “Adapun, apabila seseorang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya kurang dari empat bulan, maka hal tersebut tidak termasuk dalam hukum Ila’,” (Misbāhu al-Dzulām Syarah Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkām, [Yogyakarta: Maktabah Iskandariyah, 2022], Jilid 3, halaman 267).

 

Ila dan Talak menurut Para Ulama

Permasalahan ila’ sudah menjadi pembahasan tersendiri di kalangan ulama fiqih. Menurut Imam Syafi’i, seorang suami yang bersumpah tidak menyentuh istrinya selama empat bulan, maka tidak otomatis jatuh talak. Talaknya hanya akan terjadi jika suami secara sadar menceraikan istrinya. Hal ini beliau tulis dalam kitab Al-Umm:

 

فَإِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشهُرُ لَم يَقَعِ الطَّلَاقُ حَتَّى يُطَلِّقَ أَو يَفِيءَ

 

Artinya: “Jika empat bulan telah berlalu, maka talak tidak akan jatuh sampai suami menjatuhkan talak atau kembali kepada (istrinya),” (Al-Umm, [Dar Al-Wafa, 2001], Juz V, halaman 159).

 

Salah seorang ulama mazhab Syafi’i, Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mi’in memberikan penjelasan ila’ sebagaimana berikut:

 

فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِنَ الْإِيلَاءِ بِلَا وَطْءٍ فَلَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالْفَيْءِ وَهِيَ الْوَطْءُ أَوْ بِالطَّلَاقِ، فَإِنْ أَبَى طَلَّقَ عَلَيْهِ الْقَاضِي

 

Artinya: “Apabila telah berlalu empat bulan dari sumpah Ila’ tanpa berhubungan badan, maka istri berhak menuntut suaminya untuk kembali (berhubungan) atau menalak. Jika suami menolak keduanya, maka hakim berwewenang untuk menjatuhkan talak atasnya,” (Fathul Mu’in, [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2004], halaman 522)

 

Sementara itu, seorang ulama mazhab Hanafi, Imam ‘Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika suami tidak kembali kepada istrinya sampai masa empat bulan berlalu, maka konsekuensinya talak jatuh secara otomatis.

 

وعند أبي حنيفة يكون مولياً ويقع الطلاق بمضي المدة

 

Artinya: “Menurut Abu Hanifah, hal ini tetap disebut Ila’, dan akan terjatuh talak bila waktunya telah habis,” (Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil, [Beirut: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2023], Jilid 1, halaman 158).

 

Selanjutnya, Ibnu Qudamah menjelaskan ila’ dalam kitab Al-Mughni li Ibni Qudamah, sebagai berikut:

 

المرأة لا تطلق بالإيلاء، وإنما يجبر الزوج على أحد الأمرين: الفيء أو الطلاق

 

Artinya: “Istri tidak akan tertalak karena sebab ila’. Hanya saja, suami harus memilih antara rujuk atau talak,” (Al-Mughni li Ibni Qudamah, [Dar al-Fikr, 2001], Juz VII, halaman 152).

 

Dalam dinamika kehidupan rumah tangga, ketegangan emosional terkadang mendorong suami untuk menjauhi istri secara fisik dan batin dalam waktu yang panjang. Namun, Islam tidak membiarkan ketidakpastian itu berlarut-larut.

 

Hukum Ila’ hadir bukan untuk menghukum, melainkan mengatur batas waktu, memberikan ruang evaluasi dan introspeksi, dan mendorong suami agar bertanggung jawab dalam mengambil keputusan. Kembali kepada istri dengan penuh kesadaran, atau mengambil jalan talak secara terbuka.

 

Dari Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat para ulama, jelas bahwa ila’ tidak otomatis menyebabkan talak. Talak baru terjadi ketika ada keputusan pasti dari suami atau keputusan hakim setelah masa empat bulan berlalu. Oleh karena itu, menyamakan diam suami selama berbulan-bulan dengan talak otomatis merupakan kekeliruan yang perlu diluruskan untuk mencegah kesalahpahaman.

 

Alief Hafidzt Aulia, Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi.