Konspirasi Para Elit Quraisy untuk Mencoreng Citra Nabi saat Musim Haji
Rabu, 4 Juni 2025 | 11:00 WIB
Masyarakat Arab pra-Islam telah menjadikan haji sebagai ritual tahunan yang sakral. Setiap kali tiba musim haji, mereka berbondong-bondong menuju Makkah untuk menziarahi tempat suci yang mereka sebut "rumah Tuhan", yaitu bangunan Ka'bah. Dengan demikian, praktik ibadah haji yang dijalankan umat Islam saat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari tradisi yang telah lama hidup di tengah masyarakat Arab, meskipun telah disempurnakan dan diselaraskan dengan ajaran serta nilai-nilai Islam.
Sejarawan Islam klasik terkemuka, Jawwad 'Ali, menegaskan bahwa penamaan "Dzulhijjah" (bulan ke-12 dalam kalender Hijriyah yang menjadi waktu pelaksanaan ibadah haji umat Islam) sebenarnya merupakan istilah warisan dari masa Jahiliah. Penamaan ini bukan hasil dari penetapan Islam, tetapi sudah dikenal dalam masyarakat pra-Islam dan terekam dalam berbagai sumber literatur kuno. Jawwad 'Ali menyampaikan:
وَقَدْ مَيَّزَ الشَّهْرَ الَّذِي يَقَعُ فِيهِ الْحَجُّ عَنِ الْأَشْهُرِ الْأُخْرَى بِتَسْمِيَتِهِ بِـ"شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ" وَبِـ"شَهْرِ الْحَجِّ". وَذَلِكَ لِوُقُوعِ الْحَجِّ فِيهِ. وَهَذِهِ التَّسْمِيَةُ الْمَعْرُوفَةُ حَتَّى الْآنَ فِي التَّقْوِيمِ الْهِجْرِيِّ، هِيَ تَسْمِيَةٌ قَدِيمَةٌ، كَانَتْ مَعْرُوفَةً فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَوَرَدَتْ فِي نُصُوصِ الْجَاهِلِيَّةِ.
Baca Juga
Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci
Artinya, "Bulan yang di dalamnya pelaksanaan ibadah haji berlangsung diberi keistimewaan dibanding bulan-bulan lainnya, yaitu dengan penamaan "Zulhijjah" dan "bulan haji". Penamaan ini diberikan karena ibadah haji dilakukan pada bulan tersebut. Nama ini masih dikenal hingga kini dalam kalender Hijriyah dan merupakan sebutan lama yang telah dikenal sejak masa Jahiliah, bahkan disebutkan dalam berbagai teks kuno dari masa itu." (Ali, Al-Mufasshhal fi Tarikhil 'Arab Qablal Islam, Darus Saqi, 2001: juz 11, h. 347)
Konspirasi Elit Quraisy
Musim haji di era pra-Islam bukan sekadar ibadah tahunan, melainkan peristiwa besar yang mempertemukan berbagai suku Arab dalam suasana penuh makna. Selain sebagai ritual keagamaan, mmoment ini menjadi panggung diplomasi, perdagangan, dan pertukaran budaya serta informasi antarsuku.
Baca Juga
Ini Larangan-larangan dalam Ibadah Haji
Bagi masyarakat Makkah, khususnya elit Quraisy, musim haji adalah kesempatan strategis untuk memperkuat pengaruh mereka. Namun, kemunculan ajaran Nabi Muhammad SAW yang kian menarik perhatian mengundang keresahan di kalangan mereka. Menurut Tahdzibus Sirah karya Ibnu Hisyam, fenomena ini dicatat secara rinci, menggambarkan betapa besarnya dampak dakwah Nabi terhadap dinamika sosial saat itu.
Kekhawatiran Quraisy bukan tanpa dasar. Ajaran Islam yang dibawa Nabi memiliki daya tarik yang kuat, dan musim haji menjadi momen krusial di mana para tamu dari berbagai penjuru Jazirah Arab dapat membawa pulang gagasan baru ini ke kampung halaman mereka.
Jika hal ini terjadi, penyebaran Islam akan semakin sulit dibendung. Untuk melemahkan pengaruh Nabi, elit Quraisy berusaha menstigma beliau dengan berbagai tuduhan, mulai dari dukun, penyair, orang gila, hingga penyihir. Namun, tuduhan-tuduhan ini saling bertentangan dan tidak konsisten, sehingga mudah dipatahkan oleh akal sehat masyarakat.
Menyadari kelemahan strategi mereka, Walid bin al-Mughirah, seorang tokoh senior Quraisy yang disegani, mengambil inisiatif. Ia mengumpulkan para pemuka suku untuk merumuskan tuduhan yang seragam dan lebih meyakinkan. Walid menegaskan bahwa narasi yang tidak terkoordinasi hanya akan memperlemah posisi mereka dan justru mengukuhkan dakwah Nabi.
Dalam pertemuan itu, berbagai usulan muncul. Ada yang mengusulkan agar Nabi disebut dukun, tetapi Walid menolak keras. Ia menjelaskan bahwa ucapan Nabi tidak mengandung jampi-jampi atau bisikan magis khas dukun. Usulan lain menyebut Nabi sebagai orang gila, tetapi ini pun ditolak karena perilaku beliau jelas mencerminkan akhlak mulia dan keseimbangan jiwa.
Kemudian, ada yang mengusulkan julukan penyair, dengan alasan Al-Qur'an memiliki keindahan bahasa yang luar biasa. Namun, Walid kembali membantah. Ia, yang paham betul berbagai bentuk puisi Arab seperti rajaz, hazaj, dan qasidah, menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak dapat dikategorikan sebagai syair dalam bentuk apa pun. Akhirnya, sebuah usulan muncul: menyebut Nabi sebagai penyihir.
Julukan ini dianggap paling tepat oleh mereka, karena kata-kata Nabi mampu menyentuh hati, mengguncang pikiran, dan menginspirasi banyak orang untuk meninggalkan keluarga, sahabat, bahkan kesukuan mereka demi mengikuti Islam. Dalam pandangan Quraisy, pengaruh ini mirip dengan kekuatan sihir.
Kesepakatan pun tercapai. Para tokoh Quraisy sepakat menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai penyihir dan menyebarkan narasi ini secara seragam. Saat musim haji tiba, mereka berjaga di berbagai sudut jalan menuju Makkah, menyambut para tamu dengan peringatan, “Waspadalah terhadap Muhammad, ia adalah penyihir!” Harapan mereka, stigma ini akan menyebar luas ke seluruh Jazirah Arab, melemahkan dakwah Nabi.
Namun, propaganda ini tidak berjalan sesuai rencana. Ketulusan, integritas, dan akhlak mulia Nabi justru memicu rasa ingin tahu di kalangan tamu haji. Alih-alih takut, banyak dari mereka diam-diam tertarik untuk mendengar Al-Qur'an dan mempelajari ajaran Islam. Strategi Quraisy, yang awalnya dirancang sebagai kampanye terkoordinasi pertama untuk menjatuhkan Nabi, justru gagal mencapai efek yang diharapkan.
Sebagai respons atas manuver ini, Allah SWT menurunkan ayat-ayat dalam surah Al-Muddatstsir (74:11–16) yang secara khusus mengecam Walid bin al-Mughirah:
ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا ﴿١١﴾ وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُودًا ﴿١٢﴾ وَبَنِينَ شُهُودًا ﴿١٣﴾ وَمَهَّدتُّ لَهُ تَمْهِيدًا ﴿١٤﴾ ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيدَ ﴿١٥﴾ كَلَّا إِنَّهُ كان لآيَاتِنَا عَنِيدًا ﴿١٦
Artinya, "Aku beri dia kekayaan yang melimpah, anak-anak yang selalu bersamanya, dan Aku beri dia kelapangan (hidup) seluas-luasnya. Kemudian, dia ingin sekali agar Aku menambahnya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat Kami (Al-Qur'an)." (QS. Al-Muddatstsir: 11-16)
Ironisnya, meski kampanye hitam terhadap Nabi gencar dilakukan, gaung dakwah beliau justru semakin meluas. Para jamaah haji yang kembali ke kampung masing-masing membawa cerita tentang Nabi Muhammad saw. Maka, dari peristiwa ini, nama beliau semakin dikenal luas di seantero Jazirah Arab, bukan karena propaganda Quraisy, tapi karena cahaya kebenaran yang tak dapat dipadamkan. Terkait hal ini, Abdussalah Harun dalam Tahdzibus Sirah karya Ibnu Hisyam:
فَجَعَلَ أُولَئِكَ النَّفَرُ يَقُولُونَ ذَلِكَ فِي رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لِمَنْ لَقُوا مِنَ النَّاسِ، وَصَدَرَتِ الْعَرَبُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْسِمِ بِأَمْر رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَانْتَشَرَ ذِكْرُهُ فِي بِلَادِ الْعَرَبِ كُلِّهَا
Artinya, "Kelompok itu pun menyebarkan tuduhan tersebut tentang Rasulullah saw kepada siapa pun yang mereka temui. Namun, setelah musim haji itu berlalu, orang-orang Arab kembali membawa berita tentang Rasulullah saw, sehingga namanya pun semakin dikenal luas di seluruh wilayah Jazirah Arab." (Abdussalah Harun, Tahdzibus Sirah Ibni Hisyam, Darul Kutub al-'Ilmiah, 2018, h. 49-50)
Musim haji, tradisi sakral masyarakat Arab pra-Islam, bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga ajang diplomasi dan penyebaran gagasan. Upaya elit Quraisy menstigma Nabi Muhammad SAW sebagai penyihir gagal menghentikan dakwahnya.
Kebenaran ajaran Islam, akhlak mulia Nabi, dan keindahan Al-Qur'an justru memikat para jamaah haji, menyebarkan nama beliau ke seluruh Jazirah Arab. Wahyu dalam surah Al-Muddatstsir menegaskan kebatilan fitnah Quraisy, sekaligus membuktikan bahwa cahaya kebenaran Islam tak terpadamkan, dan menjadikan musim haji panggung sejarah kemenangan dakwah. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.