Syariah

Etika Perang vs Pernyataan Rabi Yahudi: Anak Gaza Tak Boleh Dibiarkan Kelaparan

Selasa, 12 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Etika Perang vs Pernyataan Rabi Yahudi: Anak Gaza Tak Boleh Dibiarkan Kelaparan

Anak ISIS (HRW.org - Sam Tarling)

Beberapa waktu lalu, pernyataan seorang rabi Yahudi viral di berbagai platform media. Dalam video yang beredar ia berkata, anak-anak yang kelaparan di Gaza sebaiknya "dibiarkan saja." Ia secara tegas membenarkan praktik pembiaran kelaparan anak-anak di Gaza dalam konflik Israel-Palestina. 
 

Pernyataan ini merupakan statemen yang sangat bertentangan dengan prinsip etika perang dalam berbagai tradisi agama dan pandangan kemanusiaan. Hal ini memicu perdebatan serius mengenai etika perang, peran agama dalam konflik, dan bagaimana prinsip kemanusiaan seharusnya diterapkan dalam situasi konflik.
 

Beberapa pengamat mengatakan, Konflik antara Israel dan Palestina secara umum bukan semata-mata perang agama, melainkan konflik politik dan teritorial. Banyak ahli dan pengamat menegaskan, akar konflik ini berasal dari perebutan wilayah dan penentuan nasib sendiri di bekas wilayah Mandat Britania atas Palestina
 

Kendati demikian, apa yang terjadi di Gaza hari ini bukan hanya soal politik atau perebutan wilayah, tetapi tragedi kemanusiaan yang nyata. Anak-anak kelaparan, rumah-rumah hancur, air bersih langka, dan akses bantuan ditutup. Dalam konteks ini, sikap diam dan membiarkan adalah pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
 

Etika Perang dalam Konteks Internasional

Dalam hukum humaniter internasional, yang diatur oleh Konvensi Jenewa, etika perang sangatlah jelas. Prinsip dasarnya adalah distinction, yaitu pembedaan antara kombatan (pihak yang terlibat dalam pertempuran) dan nonkombatan (warga sipil, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua). Serangan terhadap nonkombatan, apalagi dengan sengaja menyebabkan mereka kelaparan, adalah sebuah kejahatan perang.
 

Konvensi Jenewa, yang merupakan bagian dari hukum humaniter internasional, memberikan perlindungan khusus kepada kombatan yang terluka, sakit, dan tawanan perang, serta kepada warga sipil yang berada di wilayah konflik. Tujuan hukum ini adalah untuk meminimalisasi penderitaan manusia selama konflik
 

Ini adalah upaya peradaban untuk memastikan bahwa bahkan dalam situasi paling brutal sekalipun, ada batas-batas kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar. Pernyataan Rabi di atas, jika diinterpretasikan sebagai dukungan terhadap kelaparan anak-anak, secara terang-terangan, tentu bertentangan dengan prinsip dasar ini. 
 

Etika Perang dalam Ajaran Islam

sebelum Konvensi Jenewa dirumuskan, Islam telah memiliki seperangkat etika perang yang ketat dan sangat humanis. Hukum Islam dalam perang yang melarang membunuh rakyat sipil jauh mendahului hukum perang internasional dalam konvensi Jenewa pada 1949. (Himasal, Fikih Kebangsaan III, [Kediri, Lirboyo Press: 2020], halaman 59).
 

Dalam peperangan, Islam tetap menunjukkan rahmatnya dengan mewajibkan pasukannya agar menaati etika peperangan. Nabi melarang pasukannya membunuh anak-anak, orang tua, pendeta, penyandang disabilitas, orang buta, dan rakyat sipil yang tidak terlibat peperangan.
 

Etika perang tersebut disampaikan oleh Imam Al-Kasani sebagai berikut:
 

أَمَّا حَالُ الْقِتَالِ فَلَا يَحِلُّ فِيْهَا قَتْلُ امْرَأَةٍ وَلَا صَبِيٍّ وَلَا شَيْخٍ فَانٍ وَلَا مُقْعِدٍ وَلَا يَابِسِ الشِّقِّ وَلَا أَعْمَى وَلَا مَقْطُوْعِ اليَدِ وَالرِّجْلِ مِنْ خِلَافٍ وَلَا مَقْطُوْعِ اليَدِ الْيُمْنَى وَلَا مَعْتُوهٍ وَلَا رَاهِبٍ فِي صُوْمَعَةٍ وَلَا سَائِحِ فِي الْجِبَالِ لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَقَوْمٍ فِي دَارٍ أَوْ كَنِيسَةٍ تَرْهَبُوا وَطُبِقَ عَلَيْهِمُ البَابُ
 

Artinya, "Dalam kondisi peperangan tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, orang tua renta, penyandang disabilitas, pengidap celah kering, orang buta, orang yang terpotong tangan dan kakinya secara berbeda, orang yang tangan kanannya terpotong, pengidap gangguan jiwa, pendeta di rumah ibadahnya, orang yang mengisolasi diri di pegunungan, orang yang berada di rumah atau gereja yang tidak ikut terlibat dan mengunci pintunya." (Badai'us Shanai, juz VII, halaman 101).
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyampaikan, dalam kondisi peperangan, Islam mengklasifikasi musuh menjadi dua pembagian. Pertama, pasukan militer atau kombatan. Kedua, rakyat sipil. Islam hanya membolehkan menyerang pasukan militer musuh, dan mengharamkan penyerangan rakyat sipil yang tidak terlibat peperangan. (Atsarul Harb, halaman 480).
 

Kepedulian terhadap Korban Perang yang Kelaparan 

Dalam Islam, tawanan perang wajib diperlakukan secara manusiawi. Nabi Muhammad saw berpesan untuk memperlakukannya dengan baik. Beliau memberi instruksi  untuk memperlakukan para tawanan dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Thabarani. (Fikih Kebangsaan III, halaman 60)
 

Bahkan para tawanan dijamu dan diberi makanan dengan layak sebagaimana pernyataan dari Abu Aziz bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdid Dar Al-'Abdari:
 

وَكُنْتُ فِي نَفَرٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَكَانُوا إِذَا قَدِمُوا غِدَاءَهُمْ أَوْ عَشَاءَهُمْ أَكَلُوا التَّمَرَ وَأَطْعِمُونِي الخُبْزَ بِوَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ إِيَّاهُمْ
 

Artinya, “Aku (Abu Aziz bin Umair) berada dalam penawanan sepasukan Anshar. Lalu ketika mereka menyajikan makan siang atau makan malamnya, mereka makan kurma dan memberiku roti, sebab instruksi Rasulullah saw kepada mereka untuk berbuat baik kepada tawanan.” (Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani, Mu'jamus Shaghir, [Oman, Al-Maktab Al-Islami: 1985] juz I, halaman 250).
 

Selain itu, membantu orang yang kelaparan juga merupakan kewajiban (fardhu kifayah) bagi orang yang mampu. Sebagaimana disampaikan oleh syekh Zakariya Al-Anshari:
 

وَعَلَى الْمُوسِرِ إذَا اخْتَلَّ بَيْتُ الْمَالِ) وَلَمْ تَفِ الصَّدَقَاتُ الْوَاجِبَةُ بِسَدِّ حَاجَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَالذِّمِّيِّينَ وَالْمُسْتَأْمَنِينَ (الْمُوَاسَاةُ) لَهُمْ (بِإِطْعَامِ الْجَائِعِ وَسَتْرِ الْعَارِي) مِنْهُمْ وَنَحْوِهِمَا (بِمَا زَادَ عَلَى كِفَايَتِهِ سَنَةً)
 

Artinya, "Dan wajib bagi orang kaya, jika kas negara (baitul mal) kosong, dan zakat wajib tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslimin, zimmi, dan musta'min, untuk memberikan bantuan kepada mereka dengan memberi makan orang yang kelaparan, menutupi orang yang telanjang, dan yang sejenisnya, dengan harta yang melebihi kebutuhan dirinya selama setahun." (Asnal Mathalib, juz IV, halaman 181).
 

Secara ringkas, kutipan ini menjelaskan bahwa jika kas negara tidak memiliki dana yang cukup dan dana zakat yang ada tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk Muslim, zimmi (Nonmuslim yang tinggal di wilayah Islam), dan musta'min (Nonmuslim yang diberi jaminan keamanan sementara), maka orang-orang kaya memiliki kewajiban untuk membantu. 
 

Bantuan ini dilakukan dengan menggunakan harta yang melebihi kebutuhan pokok mereka selama satu tahun. Contoh bantuan yang disebutkan adalah memberi makan orang yang kelaparan dan menyediakan pakaian bagi yang tidak memiliki.
 

Sikap NU Terhadap Konflik di Berbagai Belahan Dunia

Konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk yang melibatkan kelompok-kelompok dari kalangan umat Islam, NU memandang bahwa upaya memperjuangkan perdamaian dunia merupakan kewajiban agama karena merupakan upaya untuk mengakhiri fitnah. Sedangkan melibatkan diri ke dalam konflik berarti memperbesar fitnah. (Hasil-Hasil Munas Alim Ulama & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019).
 

Disamping itu, Muktamar NU ke-32 di Makassar, NU merekomendasikan "...agar pemerintah aktif terlibat dalam penyelesaian konflik, terutama yang melibatkan umat Islam seperti konflik Palestina-Israel, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam kesederhanaan dan kesetaraan sekaligus menghilangkan ego-ego sejarah, ideologi, ekonomi dan politik."
 

Karena itu terhadap konflik yang terjadi di belahan dunia, NU memilih sikap untuk memperjuangkan perdamaian ketimbang melibatkan diri ke dalam konflik.
 

Dari penjelasan di atas, jelas ucapan seorang rabi yang menolak kepedulian terhadap anak-anak Gaza tentu sangat bertentangan dengan prinsip agama dan hukum internasional. Meski dalam kondisi peperangan, tindakan yang dilakukan harus tetap manusiawi. 
 

Terlepas dari konflik yang ada, membantu anak-anak yang kelaparan juga merupakan kewajiban umat. Islam menekankan pentingnya kepedulian sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan dan tidak mampu. Wallahu a’lam.
 


Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar