Dari banyaknya nikmat Allah swt pada hamba-Nya, barangkali nikmat kesehatan adalah satu dari beberapa nikmat yang underrated. Bahkan orang cenderung lebih mensyukuri nikmat berupa harta yang datangnya di waktu-waktu tertentu saja, dibanding mengucap syukur atas kesehatan yang selalu ia rasakan sepanjang hidupnya. Ketika sakit, barulah sadar semua nikmat duniawi tidaklah terasa nikmat tanpa badan yang sehat.
Kesehatan adalah sesuatu yang sangat mahal. Dalam pasar dagang, komoditas apapun jika diberi embel-embel kesehatan akan melonjak harganya. Mulai dari makanan dan minuman higienis, alat masak anti kolesterol, hingga peralatan medis. Islam sendiri bukan hanya memerintahkan pemeluknya untuk menjaga kesehatan rohani, tapi juga jasmani. Allah swt berfirman:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya, "Dan janganlah menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan." (Al-Baqarah: 195).
Rasulullah saw sebagaimana diceritakan Abu Bakr ra bersabda:
اسْألُوا الله الْعَفْوَ وَالْعَافيةَ، فإنَّ أحدًا لم يُعْطَ بَعْدَ الْيَقينِ خَيْرًا من الْعَافيةِ
Artinya, "Mintalah ampunan dan kesehatan pada Allah, sungguh seseorang setelah diberi iman tidak diberi nikmat yang lebih baik daripada nikmat sehat." (HR. At-Tirmidzi). (Muhammad bin 'Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, [Beirut, Darur Risalah Al-'Alamiyyah: 2009], juz VI, halaman 158).
Hadits menunjukkan betapa berharga dan nikmatnya kesehatan sehingga diposisikan setelah kenikmatan iman secara langsung. Namun, tentunya dalam menjalani kehidupan, betapa pun kita menjaga diri, ada saat di mana tubuh kita berteman dengan sakit. Biasanya, seseorang yang sedang sakit akan beristirahat dan mengobati sakitnya tersebut.
Hukum Berobat
Tindakan berobat sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
ٍإنَّ الله عزّ وجلّ أنْزَلَ الدَّاءَ والدَّواء، وجَعَلَ لِكُل داءٍ دَوَاءً، فَتَداوُوا، وَلَا تَدَاووا بِحَرَام
Artinya, "Sungguh Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menciptakan obat bagi tiap penyakit, maka berobatlah kalian, dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud). (Sulaiman bin Al-Asy'ats, Sunan Abi Dawud, [Beirut, Darur Risalah Al-'Alamiyyah: 2009], juz VI, halaman 23).
Dalam mazhab Syafi'i, hukum berobat adalah sunah. Keterangan ini dijelaskan salah satunya oleh Syamsuddin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj:
وَيُسَنُّ لِلْمَرِيضِ التَّدَاوِي ... وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ الْإِجْمَاعَ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَجِبْ كَأَكْلِ الْمَيْتَةِ لِلْمُضْطَرِّ وَإِسَاغَةِ اللُّقْمَةِ بِالْخَمْرِ لِعَدَمِ الْقَطْعِ بِإِفَادَتِهِ بِخِلَافِهِمَا
Artinya, "Bagi orang sakit, disunahkan untuk berobat. Qadhi 'Iyadh mengutip ijma' ulama bahwa berobat hukumnya tidak wajib. Hukum ini didasari alasan berobat tidak pasti memberi efek positif."
Syekh 'Ali Syabromallisi dalam anotasinya (hasyiyah) mencatat:
قَوْلُهُ لِعَدَمِ الْقَطْعِ بِإِفَادَتِهِ أَفْهَمَ أَنَّهُ لَوْ قَطَعَ بِإِفَادَتِهِ كَعَصْبِ مَحَلِّ الْفَصْدِ وَجَبَ وَهُوَ قَرِيبٌ
Artinya, "Ungkapan Ar-Ramli: "Berobat tidak pasti memberi efek positif," memberi pemahaman bahwa jika melakukan pengobatan dipastikan berdampak positif, seperti menyumbat pendarahan, maka hukumnya wajib."
(Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ma'a Hasyiyah Syabromallisi war Rasyidi, [Beirut: Darul Fikr: 1984], juz III, halaman 19).
Tindakan Medis Berisiko
Semakin maju teknologi, semakin canggih pula alat-alat medis. Dampak positifnya, semakin banyak penyakit yang dapat dengan mudah terdeteksi. Setiap penyakit memiliki cara penanganan masing-masing yang seringnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dari berbagai macam cara penanganan suatu penyakit, ada beberapa yang tergolong berisiko, dari yang rendah sampai yang tinggi seperti operasi-operasi besar.
Lalu bagaimana hukumnya melakukan pengobatan atau tindakan medis yang berisiko?
Dalam Asnal Mathalib Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari menjelaskan hukum mengamputasi tangan yang busuk dan perlahan mengikis. Beliau menjelaskan:
وَيتَخَيَّرُ بَيْنَ الْقَطْعِ وَعَدَمِهِ فِي قَطْعِ الْيَدِ الْمُتَآكِلَةِ أَوْ نَحْوِهَا إنْ جَرَى الْخَطَرَانِ؛ خَطَرُ الْقَطْعِ وَخَطَرُ التَّرْكِ، وَغُلِّبَتْ السَّلَامَةُ فِي الْقَطْعِ عَلَى خَطَرِهِ وَإِنْ اسْتَوَى الْخَطَرَانِ أَوْ زَادَ خَطَرُ الْقَطْعِ
Artinya, "Seseorang yang tangannya terkena penyakit kemudian perlahan mengikis boleh memilih antara melakukan amputasi atau tidak, selama ada dugaan kuat amputasi tersebut tidak berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Ia tetap boleh melakukan amputasi meskipun risiko (selain nyawa) dari amputasi tersebut lebih besar daripada risiko membiarkan tangannya tanpa amputasi." (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Darul Kitab Al-Islami: tt], juz II, halaman 170).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa melakukan tindakan medis yang berisiko hukumnya dibolehkan selagi prosedur tersebut tidak membahayakan nyawa. Terkait dampak buruk (selain nyawa) yang mungkin terjadi akibat tindakan tersebut, misalnya dalam prosesnya terjadi insiden, atau setelah dilaksanakan tindakan justeru semakin sakit, hal itu tidak mempengaruhi boleh atau tidaknya melakukan tindakan tersebut. Wallahu a'lam.
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo.