Hukum Menjual Properti yang Dibangun di Atas Tanah Wakaf
Selasa, 28 Januari 2025 | 12:00 WIB
Salah satu isu fiqhiyyah yang cukup kompleks adalah persoalan tanah wakaf yang di atasnya didirikan properti. Hal ini menjadi kompleks karena melibatkan dua aspek hukum yang berbeda, yaitu hukum wakaf yang tidak boleh dimiliki dan tidak boleh diperjualbelikan serta tidak dapat diwariskan dengan hukum hukum properti yang dapat dimiliki, dijual belikan dan diwariskan.
Masalah timbul ketika perumahan atau properti yang dibangun di atas tanah wakaf akan dijual. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip dasar wakaf yang mengharuskan harta yang diwakafkan tetap lestari dan tidak boleh dijual belikan.
Lantas, Apa hukum menjual properti yang dibangun di atas tanah wakaf? Berikut penjelasannya:
Sebelum jauh membahas hukum menjual properti yang dibangun di atas tanah wakaf terlebih dahulu perlu diketahui hukum pembangun properti di tanah wakaf dan bagaimana statusnya.
Dalam pandangan mazhab Syafi'i pembangunan pada tanah wakaf tidak diperbolehkan kecuali sesuai dengan syarat yang ditetapkan wakif atau wakif mensyaratkan untuk semua kemanfaatan tanpa membatasinya, karena membangun bisa jadi mengubah wakaf secara menyeluruh dan menyelisihi syarat wakif (pemberi wakaf)nya:
ورجح السبكى أنه ان وقف أرضا غير مغروسة على معين امتنع عليه غرسها الا إذا نص الواقف عليه أو شرط له جميع الانتفاعات، ومثل الغرس البناء، ولا يبنى ما كان مغروسا وعكسه. وضابطه أنه يمتنع كل ما غير الوقف بالكلية عن اسمه الذى كان عليه حال الوقف، بخلاف ما يبقى الاسم معه
Artinya, "As-Subki lebih memilih pendapat bahwa jika seseorang mewakafkan tanah yang tidak ditanami kepada pihak tertentu, maka pihak tersebut dilarang menanaminya kecuali jika pemberi wakaf secara tegas menyebutkannya dalam pernyataan wakaf atau memberikan syarat untuk semua bentuk pemanfaatan. Hal yang sama berlaku untuk pembangunan (di atas tanah tersebut), yakni tidak boleh membangun di tanah yang sebelumnya ditanami, dan sebaliknya. Dhabitnya adalah dilarang melakukan sesuatu yang dapat mengubah wakaf secara total sehingga menghilangkan nama wakaf tersebut sebagaimana kondisinya saat diwakafkan. Berbeda halnya dengan sesuatu yang tetap mempertahankan nama (karakteristik) tersebut." (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Muhadzab [Beirut, Darul Fikr: t.t.], juz XV, halaman 344-345).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pembangunan di atas tanah wakaf diperbolehkan selama itu bermanfaat dan tidak ada larangan dari wakif serta pembangunan tersebut tidak sampai mengubah peruntukan wakaf secara keseluruhan.
Kemudian pembangunan di atas tanah wakaf harus didasarkan untuk kemaslahatan wakaf atau kemaslahatan muslimin secara umumnya, dan tidak diperbolehkan membangun di tanah wakaf untuk kepentingan pribadi meskipun tidak mengganggu atau merugikan.
وقع السؤال في الدرس عما يوجد من الأشجار في المساجد ولم يعرف، هل هو وقف أو لا؟ ماذا يفعل فيه إذا جف؟ والجواب أن الظاهر من غرسه في المسجد أنه موقوف، لما صرحوا به في الصلح من أن محل جواز غرس الشجر في المسجد إذا غرسه لعموم المسلمين، وانه لو غرسه لنفسه لم يجز، وإن لم يضر بالمسجد، وحيث عمل على أنه لعموم المسلمين فيحتمل جواز بيعه وصرف ثمنه على مصالح المسلمين، وإن لم يمكن الانتفاع به جافا، ويحتمل وجوب صرف ثمنه لمصالح المسجد خاصة، ولعل هذا الثاني أقرب، لأن واقفه إن وقفه مطلقا وقلنا بصرف ثمنه لمصالح المسلمين، فالمسجد منها، وإن كان وقفه على خصوص المسجد، امتنع صرفه لغيره فعلى التقديرين جواز صرفه لمصالح المسجد محقق، بخلاف صرفه لمصالح غيره مشكوك في جوازه، فيترك لأجل المحقق
Artinya, "Terdapat pertanyaan dalam pelajaran tentang pohon-pohon yang ada di masjid, apakah statusnya sebagai wakaf atau bukan? Dan apa yang harus dilakukan jika pohon tersebut mengering? Jawabannya adalah bahwa yang tampak dari penanamannya di masjid adalah pohon tersebut dianggap wakaf, berdasarkan pernyataan para ulama dalam bab perdamaian (sulh) bahwa diperbolehkannya menanam pohon di masjid adalah apabila pohon tersebut ditanam untuk kepentingan umum kaum muslimin. Dan jika pohon itu ditanam untuk kepentingan pribadi, maka tidak diperbolehkan, meskipun tidak merugikan masjid.
Karena pohon tersebut dianggap untuk kepentingan umum kaum muslimin, maka kemungkinannya adalah diperbolehkan menjualnya dan hasil penjualannya digunakan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin jika tidak memungkinkan memanfaatkan dalam keadaan kering. Dan memungkinkan juga digunakan untuk kemaslahatan masjid saja.
Kemungkinan kedua lebih dekat, karena jika orang yang mewakafkan pohon tersebut mewakafkannya secara umum, dan kita katakan bahwa hasil penjualannya digunakan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, maka masjid termasuk dalam kategori itu.
Namun, jika pohon tersebut diwakafkan secara khusus untuk masjid, maka tidak boleh digunakan untuk selainnya. Dengan demikian, pada kedua kemungkinan tersebut, penggunaan hasil penjualan pohon untuk kemaslahatan masjid adalah pasti, berbeda dengan penggunaannya untuk kepentingan selain masjid yang masih diragukan kebolehannya. Maka, hasil penjualan pohon tersebut diprioritaskan untuk kepentingan yang pasti, yaitu masjid." (Bakri Syatha, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1997 M], juz III, halaman 216-217).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa status bangunan di atas tanah wakaf adalah mauquf juga sehingga kepemilikanya tidak bisa berpindah dengan akad jual beli. Lain halnya jika disewakan dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan wakaf.
Hemat penulis, permasalahan properti yang berdiri di tanah wakaf tidak dapat disamakan dengan pohon yang tumbuh di tanah wakaf masjid sebagaimana penjelasan I'anatut thalibin di atas sebab kemanfaatan properti tidak dapat dipisahkan dengan tanah wakaf, berbeda dengan pepohonan atau buah-buahan yang tumbuh di tanah wakaf.
Lain halnya jika properti tersebut disewakan dalam jangka waktu yang tidak lama, atau dalam jangka waktu yang lama karena adanya hajat atau maslahah yang kembali pada wakaf.
وَأَمَّا حُكْمُ إجَارَةِ النَّاظِرِ من الصِّحَّةِ تَارَةً وَالْفَسَادِ أُخْرَى فَقَدْ تَعَرَّضُوا له في بَابِ الْوَقْفِ حَيْثُ أَشَارُوا فيه إلَى أَنَّهُ يَلْزَمُ النَّاظِرَ أَنْ يَتَصَرَّفَ في مَالِ الْوَقْفِ كَالْوَصِيِّ بِالْمَصْلَحَةِ بِالنِّسْبَةِ لِرِعَايَةِ مَقْصُودِهِ وَبَقَاءِ عَيْنِهِ لَا بِالنِّسْبَةِ لِرِعَايَةِ مَصْلَحَةِ الْمُسْتَحِقِّ وَصَرَّحُوا أَيْضًا بِأَنَّ النَّاظِرَ في مَالِ الْوَقْفِ كَالْوَصِيِّ وَالْقَيِّمِ في مَالِ الْيَتِيمِ وَالْوَصِيُّ وَالْقَيِّمُ لَا يَجُوزُ لَهُمَا التَّصَرُّفُ إلَّا بِالْغِبْطَةِ وَالْمَصْلَحَةِ وَلَا يُكْتَفَى فِيهِمَا بِقَوْلِهِمَا بَلْ لَا بُدَّ من إثْبَاتِ إحْدَاهُمَا عِنْدَ الْقَاضِي فَكَذَلِكَ النَّاظِرُ لَا يَجُوزُ له أَنْ يُؤَجِّرَ الْوَقْفَ الْمُدَّةَ الطَّوِيلَةَ إلَّا لِحَاجَةٍ أو مَصْلَحَةٍ تَعُودُ لِلْوَقْفِ لَا لِلْمُسْتَحِقِّ وقد ثَبَتَتْ عِنْدَ الْقَاضِي وَمَتَى تَصَرَّفَ على غَيْرِ هذا الْوَجْهِ فَتَصَرُّفُهُ بَاطِلٌ هذا ما دَلَّ عليه كَلَامُ أَئِمَّتِنَا في بَابِ الْوَقْفِ صَرِيحًا وَاقْتِضَاءً.
Artinya, "Adapun hukum menyewakannya nazhir (pengelola wakaf), terkadang sah dan terkadang tidak sah. Para ulama membahasnya dalam bab wakaf, di mana mereka menyebutkan bahwa nazhir wajib mengelola harta wakaf sebagaimana wali (pengelola harta yatim), yaitu dengan memperhatikan maslahat yang sesuai dengan tujuan wakaf dan kelestarian asetnya. Hal ini tidak berdasarkan kepentingan mustahiq. Mereka juga menegaskan bahwa nazhir dalam mengelola harta wakaf sama seperti wali dan pengelola harta yatim, yang mana wali dan pengelola harta yatim tidak boleh bertindak kecuali dengan mempertimbangkan keuntungan dan kemaslahatan (ghibthah wa maslahah).
Selain itu, tidak cukup hanya berdasarkan klaim mereka, tetapi harus dibuktikan salah satu dari keduanya di hadapan hakim. Demikian pula, nazhir tidak boleh menyewakan harta wakaf dalam jangka waktu yang panjang kecuali karena adanya kebutuhan atau maslahat yang kembali kepada kepentingan wakaf, bukan kepada kepentingan penerima mustahiq, dan harus ditetapkan di hadapan hakim. Apabila nazhir bertindak tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka tindakannya dianggap batal. Inilah yang ditegaskan oleh para imam kami secara jelas dan tersirat dalam bab wakaf." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawal Fiqhiyah Al-Kubro, [Mesir, Al-Maktabah Al-Islamiyah: tt], juz III, halaman 328).
Dalam mahab Syaf'i, menjual properti yang dibangun di atas tanah wakaf tidak sesuai dengan prinsip utama wakaf yakni kelestarian asetnya. Beda halnya dengan menyewakannya meskipun dalam jangka waktu yang panjang jika hal ini dianggap lebih maslahat maka diperbolehkan.
Untuk diketahui, bahwa masalah ini akan dibahas secara mendalam pada Forum Munas-Konbes NU di Jakarta pada 5-7 Februari 2025 dalam Bahtsul Masail Komisi Waqi'iyah. Oleh sebab itu untuk lebih jelasnya mari kita nantikan keputusan resminya. Wallahu a'lam
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo