Syariah

Klaim Cacat Barang dan Boleh Dikembalikan dalam Fiqih Jual Beli

Jumat, 21 September 2018 | 09:30 WIB

Setiap orang yang membeli barang, pasti mengharap manfaat besar dari alat yang dibeli. Namun, ada kalanya manfaaat itu dirasa tidak sesuai dengan spesifikasi yang pernah ditawarkan oleh penjual. Untuk itulah kemudian pembeli melakukan klaim cacat. Di Indonesia sendiri sudah berdiri sebuah lembaga yang khusus melindungi klaim cacat dari konsumen. Lembaga itu adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ia didirikan pada 11 Mei 1973. Tujuan berdirinya adalah meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan kewajibannya sehingga dapat melindungi diri sendiri dan lingkungannya. Di dalam perbankan ada juga istilah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

Sadar atau tidak, semua lembaga ini didirikan semata karena ingin menjaga hak-hak konsumen dan pengguna, termasuk nasabah, dalam mendapatkan barang atau servis layanan sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh lembaga produsen dan atau lembaga perbankan. Pertanyaannya adalah sebenarnya apa sih pengertian cacat menurut syariat itu? Berikut ulasannya. 

Dasar utama bolehnya klaim cacat adalah firman Allah ﷻ: 

إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم

Artinya: “Kecuali jika berlangsung perdagangan yang saling ridlo di antara kalian.”

Mafhum mukhalafah (logika terbalik) dari ayat ini, secara tidak langsung adalah kebolehan adanya komplain bila muncul tidak saling ridla dalam jual beli. Komplain dalam jual beli umumnya adalah disebabkan karena klaim cacat barang. Untuk menjaga agar tidak timbul perselisihan antara penjual dan pembeli, maka para ulama menetapkan definisi cacat menurut kacamata fiqih.

Para ulama umumnya memberikan definisi tentang cacat adalah sebagai berikut:

ما نقص عن الخلقة الطبيعية أو عن الخلق الشرعي نقصانا له تأثير في ثمن المبيع

Artinya: “Sesuatu yang kurang dari watak asal barang produksi, atau sesuatu yang kurang dari pekerti syara’ sehingga berpengaruh terhadap harga barang.” (Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 2/127).

Ada dua istilah penting dari definisi di atas, yaitu watak asli barang produksi, dan pekerti syar’i. Maksud dari watak asli barang produksi sering merujuk pada masalah spesifikasi barang dan tujuan barang tersebut diperjualbelikan. Sementara yang dimaksud dengan pekerti syara’ adalah tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ditetapkan. Apakah kedua kriteria ini harus mutlak ada dalam barang yang dijual belikan? 

Untuk memahami hal ini kita hadirkan sebuah ilustrasi, misalnya adalah jual beli kelapa utuh. Menurut ketentuan syara’ yang paling hati-hati adalah, agar tidak timbul keraguan dan sebagai upaya menghilangkan unsur ke-majhul-an (ketidaktahuan terhadap barang), maka jual beli kelapa mensyaratkan dipecah. Namun, mengingat watak asli produksi yang dikehendaki oleh pembeli bahwa kelapa tersebut dimaksudkan untuk bisa dikirim jarak jauh, seperti ke wilayah Kalimantan atau diekspor ke negara lain, maka disyaratkan kelapa utuh. Jika kelapa sudah dipecah, sifat barang menjadi tidak tahan lama. Namun dengan dibiarkan utuh, maka kelapa bisa diekspor ke mana saja dan tahan lama. Inilah yang dimaksud bahwa lolos dari ketentuan syara’ belum tentu lolos dari ketentuan tujuan produksi. 

Sebaliknya, juga demikian terhadap watak barang produksi belum tentu cocok terhadap ketentuan syara’. Untuk contoh kebalikannya ini misalnya adalah jual beli makanan dalam kaleng. Seharusnya, pembeli berhak untuk tahu terhadap kondisi barang yang ada dalam kemasan. Namun, karena apabila kaleng tersebut dibuka oleh penjual justru bisa menimbulkan mudlarat yang merugikan bagi penjual, maka makanan dalam kaleng tidak dibuka. Dengan demikian, maka pembeli dipaksa untuk menerima apa adanya produk bergantung pada kepercayaan kepada penjual dan mutu kadaluarsa. Bila kaleng dibuka, maka justru menyalahi watak asli produksi. Bila tidak dibuka, maka menyalahi dasar utama syar’i. Dengan demikian, kondisi dlarurat, kepercayaan pembeli kepada produsen, spesifikasi barang dan tanggal kadaluarsa, menjadi faktor penentu cacat atau tidaknya barang sehingga boleh diklaim cacat atau tidaknya oleh pembeli. 

Inilah sebabnya, definisi di atas tidak serta merta bisa diterapkan secara mutlak.Masih ada ikhtilaf di kalangan fuqaha’ satu dengan fuqaha’ lain.Adakalanya barang yang cacat secara syar’i ternyata tidak dipandang cacat menurut standar asal produksinya. Sebaliknya, terkadang ada barang yang sudah sesuai standar asli syar’i ternyata justru dipandang cacat menurut asal tujuan produksi. 

Mencermati akan hal ini, muncul definisi lain, bahwa cacat adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syarat (ketentuan) produksi barang. Definisi ini umumnya ditemukan dalam jual beli. Ibnu Rusyd mendefinisikan:

عيوب بأن تشترط أضدادها في المبيع وهي التي عيوبا من قبل الشرط

Artinya: “Cacat yang disebabkan kondisi kebalikan dari yang disyaratkan, disebut cacat syarat.” (Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 2/127).

Rupanya, definisi cacat yang terakhir ini yang selanjutnya dipergunakan oleh fuqaha’ dan menjadi landasan dasar definisi-definisi cacat berikutnya dalam aneka ragam jual beli. Definisi yang relatif singkat dan lebih tegas untuk kategori fiqih jual beli, yang dimaksud sebagai cacat, adalah:

كل ما حط القيمة

Artinya: “Segala sesuatu yang menyebabkan berkurangnya nilai barang.” (Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 2/134)

Namun, dengan mencermati frasa: “segala sesuatu yang bisa mengurangi harga barang,” maka timbul masalah baru karena salah satu agen penyebab “defisit harga barang produksi” juga bisa disebabkan karena membludaknya barang dan sedikitnya penawaran. Apakah membludaknya barang juga termasuk bagian dari cacat? Tentu dalam hal ini, ia bukan termasuk yang kita maksudkan. Kita lebih mengacu pada aspek fiqih yang menyebutkan relasi antara cacat barang dan penurunan harganya serta bolehnya klaim pengembalian yang diakibatkan oleh faktor internal yang melibatkan: pabrik, gudang penyimpanan, agen penjual dan ekspedisi barang. Keempatnya sering dijadikan objek total quality management (TQM). 

Sebagaimana diketahui bahwa setiap TQM adalah berorientasi pada kepuasan pelanggan. Dengan demikian, produk cacat menurut khazanah manajemen pemasaran adalah produk yang tidak memuaskan pelanggan. Ketidakpuasan pelanggan umumnya disebabkan karena ketidaksesuaian produk dengan spesifikasi yang ditawarkan. Pengertian ini sejalan dengan definisi fiqih yang menyebut bahwa, produk cacat adalah produk yang dihasilkan tidak sesuai standar kualitas yang sudah ditentukan (ضد ما اشترط), atau cacat syarat. Ketidaksesuaian syarat dengan barang yang dijual dapat mengakibatkan penurunan harga barang. Berangkat dari definisi ini, maka berlaku kaidah dasar yang dipergunakan untuk menetapkan hukum bolehnya pengembalian barang sebab cacat dalam fiqih, yaitu:

الأصل أن كل ما حط القيمة أنه يجب به الرد 

Artinya: “Hukum asal segala sesuatu yang bisa mengurangi harga barang adalah wajib dikembalikan.” (Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid, Surabaya, Al-Hidayah, tt., 2/134)

Walhasil pengertian cacat terus-menerus berkembang dari zaman ke zaman tergantung pada materi, kualitas, serta fungsi produk yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumennya. Selain itu, cacat juga bisa terjadi akibat model transaksi jual beli yang diambil. Dalam fiqih transaksi, semua cacat itu hukum asalnya adalah bolehnya mengembalikan barang kepada penjualnya. Wallahu a’lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim


Terkait

ADVERTISEMENT BY OPTAD