Syariah

Pernikahan Aisyah di Bulan Syawal dan Nilai Ketauhidannya

Kam, 25 April 2024 | 19:00 WIB

Pernikahan Aisyah di Bulan Syawal dan Nilai Ketauhidannya

Pernikahan dan nilai tauhid. (Foto: Freepik)

Rasulullah saw, seperti yang sudah masyhur di telinga kita dan terdokumentasi di berbagai tulisan menikahi Sayyidah Aisyah pada bulan Syawal. Dalam suatu hadits dijelaskan:


 عن عَائِشَة رَضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّال، وَبَنَى بِي فِي شَوَّال، فَأَيّ نِسَاء رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْده مِنِّي؟ قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَة تَسْتَحِبّ أَنْ تُدْخِل نِسَاءَهَا فِي شَوَّال.  


Artinya: “Dari Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata, ‘Rasulullah saw menikahiku di bulan Syawal, dan mulai mencampuriku juga di bulan Syawal, maka istri beliau manakah yang kiranya lebih mendapat perhatian besar di sisinya dari pada aku?’ Salah seorang perawi berkata, ‘Dan Aisyah merasa senang jika para wanita menikah di bulan Syawal.’” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Berangkat dari hadits ini, Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits tersebut menjadi dasar anjuran menikah dan melakukan hubungan suami-istri di bulan Syawal. Hadits ini juga sebagai bantahan atas keyakinan orang awam bangsa Arab saat itu yang bersumber dari tradisi jahiliah terkait kemakruhan menikah di bulan Syawal. (Imam Nawawi, al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim, [Beirut, Daru Ihya’ Turats: 1392 H], juz. 9, hal. 209)


Nilai Ketauhidan Pernikahan Sayyidah ‘Aisyah di Bulan Syawal

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Salah satu nilai ketauhidan dari pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad saw di bulan Syawal adalah mematahkan mitos dan takhayul tidak berdasar yang diyakini oleh masyarakat Arab dan orang-orang jahiliyah waktu itu. 


Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Syekh Hisamuddin dalam kitabnya yang berjudul, Fatawa Yas’alunaka. Berikut adalah kutipan dari beliau:

ADVERTISEMENT BY OPTAD


الشهر العاشر شوال سمي بذلك أخذا من شالت الإبل بأذنابها إذا حملت لكونه أول شهور الحج وقيل من شال يشول إذا ارتفع ولذلك كانت الجاهلية تكره التزويج فيه لما فيه من معنى الإشالة والرفع إلى أن جاء الإسلام بهدم ذلك


Artinya: “Bulan kesepuluh adalah bulan Syawal. Ia dinamakan demikian karena pada bulan itu seekor unta betina yang sedang hamil akan menegakkan ekornya, sebab merupakan permulaan dari bulan-bulan haji. Ada juga yang berpendapat bahwa dinamai demikian karena berasal dari kata, Syala-yasyulu, yang bermakna hilang. Oleh karena itulah masyarakat jahiliah tidak suka jika menikah pada bulan Syawal, sebab bisa menghilangkan hubungan. Kepercayaan ini berlangsung sampai datangnya agama Islam menampiknya.” (Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Fatawa Yas’alunaka, [Palestina, Maktabah Dandis: 1427 H], juz. 7, hal. 180)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Dari keterangan ini dapat kita ketahui bahwa di kalangan masyarakat Jahiliah muncul sebuah kepercayaan dan anggapan sial terhadap bulan Syawal. Mereka benci untuk melakukan pernikahan dan memulai kehidupan rumah tangga di antara dua hari raya. Sedangkan Syawal posisinya terletak setelah perayaan Idul Fitri dan sebelum perayaan Idul Adha. Mereka takut jika melangsungkan pernikahan di bulan Syawal, maka pernikahan mereka tidak akan langgeng dan mudah rusak.


Bulan Syawal dalam bahasa Arab menurut sebagian ahli bahasa berasal dari kalimat “Syalat an-naqah bi dzanabiha”, yang maknanya ‘seekor unta betina yang menegakkan ekornya’. Hal itu bermula dari kecenderungan unta-unta betina yang enggan didekati oleh pejantan.


Ekor yang diangkat menandakan penolakan atau bahkan perlawanan. Dari situ, lantas muncullah kesimpulan masyarakat Arab sebelum Islam bahwa menikah di bulan Syawal menjadi sebuah hal yang tabu, bahkan dilarang. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Selain itu, Syekh Hisamuddin juga berpendapat bahwa tasya’um (meyakini suatu hal membawa sial) dan tathayyur (meyakini tanda-tanda kesialan) adalah termasuk perbuatan syirik. Sehingga, menurut beliau, mengutip pendapat Imam Suyuthi, perkataan Sayyidah Aisyah dalam hadits yang telah disebutkan di atas adalah salah satu aspek ketauhidan dari pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. (Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Fatawa Yas’alunaka, [Palestina, Maktabah Dandis: 1427 H], juz. 7, hal. 180)


Demikianlah salah satu nilai ketauhidan dalam pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad saw. pada bulan Syawal. Tentunya tidak menutup kemungkinan ada nilai-nilai lain yang belum terangkat dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam.


M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo

ADVERTISEMENT BY ANYMIND