Syariah

Pidana Mafia Tanah dalam Perspektif Kajian Fiqih Muamalah

Sen, 22 Agustus 2022 | 23:00 WIB

Pidana Mafia Tanah dalam Perspektif Kajian Fiqih Muamalah

Pidana mafia tanah perspektif kajian fiqih muamalah

Menurut hemat penulis, mafia tanah bisa diqiyaskan dengan pelaku pencurian, karena aksi kejahatannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan menyebabkan pindah kuasa hak atas barang yang dicuri. Pencurian sendiri secara syara’ didefinisikan sebagai:


أخذه خفية ظُلمًا من حِرز مثله


Artinya: “Mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan semestinya.” (Ahmad ibnu Qasim al-Ghazy, Fathul Qarîbil Mujîb, [Beirut, Dâr Ibn Hazm], halaman 285).

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Pidana pencuri yang berlaku secara syara’, adalah dipotong tangan dan kaki secara bersilangan. Apabila telah melebihi 4 kali pencurian, maka dita’zir sampai bertobat. 


وتقطع يد السارق بثلاثة شرائط أن يكون بالغا عاقلا وأن يسرق نصابا قيمته ربع دينار من حرز مثله لا ملك له فيه ولا شبهة في مال المسروق منه

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya, “Tangan pencuri dipotong apabila terpenuhi 3 syarat, yaitu baligh, berakal dan pencurian dilakukan mencapai nishab yang nilainya ¼ dinar dan diambil dari tempat penyimpanan. Harta curian itu nyata bukan miliknya serta bukan kepemilikan bersama antara pencuri dan pihak yang dicuri.” (Abu Syuja’, Matnul Ghâyah wat Taqrîb, [‘Alamul Kutub], halaman, 39). 


1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Dengan demikian, nilai ¼ dinar setara 1,511 gram. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Jika nilai per gram emas (Agustus 2022) adalah mencapai Rp 834.000,00 per gram, maka nilai ¼ dinar adalah setara dengan 1,511 x Rp 834.000,00 = Rp 1.260.174,00. 


Alhasil, berdasarkan ketentuan fiqih tersebut, apabila terjadi pengambilan hak milik pihak lain melebihi nishab Rp1.260.174,00, maka baginya sudah berlaku hukum potong tangan kanannya. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Akan tetapi, di Indonesia tidak berlaku hukum potong tangan, namun dapat berlaku ketentuan yang setara dengan diyat. Karena itu, pendekatan hukum yang berlaku untuk sanksi pidana ini bisa didekati dengan ketentuan diyat tersebut. 


Berapakah besaran ganti rugi akibat pengambil alihan hak itu bila dinilai dengan diyat berupa rupiah? Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra, Nabi saw menetapkan bahwa:


وفِي اليَد خَمْسُونَ من الإبِل ولِأنَّهُما أعظم نفعا

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya, “Diyat untuk (kedua) tangan adalah 50 ekor onta, karena keduanya merupakan organ paling besar manfaatnya.” (Taqiyuddin al-Hishny, Kifâyatul Akhyâr fî Hilli Ghâyatil Ikhtishâr, [Damaskus: Dârul Khair], halaman 464). 


Berdasarkan hadits ini, maka 1 tangan adalah setara dengan 25 ekor onta. Jadi, apabila seorang pencuri mengambil harta yang senilai dengan ¼ dinar, maka jika tidak ingin dipotong tangan, maka ia harus menebusnya dengan harga senilai 25 ekor onta. 


Jika diasumsikan bahwa harga 1 ekor onta adalah 4.500 riyal, dan 1 riyal adalah setara Rp 3.964,00, maka harga 1 ekor onta adalah setara dengan Rp 17.838.000,00. Dengan demikian, 1 had tangan, adalah setara dengan Rp17.838.000,00 x 25 ekor onta = Rp 445.950.000,00, hampir setara dengan 450 juta rupiah. 


Bagaimana dengan kaki?


Diyat kaki, adalah setengah dari diyat tangan. Dengan demikian, satu kaki adalah setara dengan 12,5 ekor onta, sehingga setara dengan Rp222.975.000,00. 


Alhasil, apabila diyat ini diberlakukan untuk para mafia tanah yang melakukan pencurian tanah melalui pengalihan dokumen, maka setidaknya mereka harus membayar nilai diyat sebesar Rp 1.337.850.000,00. 


Persoalannya, nilai tanah yang dicuri legalitas dokumennya, pasti melebihi nilai 1 dinar (4,25 gram emas). Lantas bagaimana dengan diyatnya?
 

Diyat sebesar Rp 1.337.850.000,00 adalah standar apabila dipotong kedua tangan dan kedua kaki. Sementara itu, ada ketentuan bahwa bila suatu pencurian telah dilakukan 4 kali, maka hakim bisa melakukan tindakan istitabah, yaitu memenjarakannya sampai jera. 


وعَن القَدِيم أنه يقتل لِأنَّهُ (ص) أمر بِقطع السّارِق فِي الأرْبَعَة وقالَ فِي الخامِسَة: اقْتُلُوهُ. والمذهب أنه يُعَزّر كَما ذَكرْناهُ. وقالَ الزُّهْرِيّ: إن القَتْل مَنسُوخ لِأنَّهُ (ص) رفع إلَيْهِ فِي الخامِسَة فَلم يقْتله. وقالَ الشّافِعِي: القَتْل مَنسُوخ بِلا خلاف بَين العلماء. ولِأن كل مَعْصِيّة أوجبت حدا لم يُوجب تكرارها القَتْل كالزِّنا والقَذْف


Artinya, “Berdasarkan qaul qadim, sesungguhnya pencuri (yang sudah melakukan 4 kali pencurian dengan total mengambil 1 dinar), baginya berhak di hukum mati. Karena Nabi saw pernah memerintahkan memotong bagian tubuh pencuri untuk pencurian 1-4, dan hukum matilah ia untuk yang ke-5. Adapun pendapat yang dipedomani adalah dita’zir sebagaimana yang telah kami sampaikan. Al-Zuhri berkata bahwa hukuman mati bagi pencuri yang kelima kali, telah dinasakh, oleh karena itu pelaku pencurian yang kelima kalinya tidak dihukum mati. Imam Syafi’i juga mengatakan bahwa hukuman mati telah dinasakh tanpa khilaf di kalangan ulama. Alasan lainnya adalah karena setiap maksiat hanya bisa mendapatkan pidana yang bisa mengakibatkan dia tidak bisa mengulanginya lagi karenanya tidak berlaku hukuman mati seperti layaknya zina dan qadzaf.” (Al-Hishny, Kifâyatul Akhyâr, halaman halaman 487).

 


Ustadz Muhammad Syamsuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean Gresik, dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU PWNU Jawa Timur

 


 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND