Yakin Shalat secara Genap, Tapi Diperingatkan Kurang Rakaat
Selasa, 27 Agustus 2024 | 18:00 WIB
Assalamu'alaikum wr wb. Saya hendak bertanya. Ketika saya setelah beranjak dari tempat shalat Ashar, saya diingatkan bahwa shalat saya kurang rakaat, tetapi saya sudah yakin kalau rakaatnya telah genap empat rakaat. Bagaimana hukumnya? (Syeikhoni).
Jawaban
Wa'alaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca setia NU Online yang dirahmati Allah. Semoga Allah memantapkan iman dan Islam kita sampai ajal menjemput. Amin.
Sederhananya, masalah yang ditanyakan penanya ialah apakah harus mengikuti perkataan orang lain yang mengatakan rakaat shalatnya masih kurang, sementara ia meyakini bahwa rakaat shalat yang dikerjakan telah genap secara sempurna.
Suatu ketika Nabi Muhammad saw pernah melaksanakan shalat Dhuhur (atau Ashar) dengan para sahabat. Sebelum genap empat rakaat beliau salam. Lalu salah satu sahabat bernama Dzul Yadain, atau yang bernama lengkap Khirbaq bin Amr dari Bani Sulaim, mengingatkan Nabi saw soal kekurangan rakaat shalat yang dikerjakan. Kemudian Nabi kembali menyelesaikan dua rakaat tersisa dan melakukan sujud sahwi.
Kisah ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: صلّى بنا النبى صلى الله عليه وسلم الظهرَ أو العصرَ، فسلمَ، فقال له ذو اليدين: الصلاةُ يا رسول الله، أنقصت؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه: أحق مَا يَقولُ. قالوا: نَعَم، فصلى ركعتين أخْرَيَينِ، ثم سَجدَ سجْدتَيْنِ
Artinya, "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi saw pernah shalat bersama kami shalat Dhuhur atau Ashar, kemudian beliau salam. Lalu Dzul Yadain berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah shalat ini dikurangi?" Lalu Nabi bertanya kepada para sahabat, "Apakah benar apa yang dikatakannya?" Mereka menjawab, "Ya, benar." Lalu beliau menambah dua rakaat lagi, kemudian sujud dua kali"." (HR Al-Bukhari).
Dari hadits ini para fuqaha menetapkan beberapa hukum fiqih. Di antaranya ketentuan ucapan yang dapat membatalkan shalat, hukum-hukum sujud sahwi, dan lain sebagainya.
Dalam ketentuan fiqih sebagaimana penjelasan Ibnu Qasim Al-Ghazi, apabila seseorang ragu dalam jumlah rakaat shalatnya maka ia harus mengambil yang diyakini, yakni jumlah rakaat yang paling sedikit. Kemudian ia disunahkan sujud sahwi setelah melengkapi rakaat yang harus dikerjakan. Dalam keadaan ini ia tidak boleh mengikuti ucapan orang lain.
وإذا شكَّ المصلي (في عدد ما أتى به من الركعات) كمن شَكَّ هل صلى ثلاثا أو أربعا (بنى على اليقين، وهو الأقل) كالثلاثة في هذا المثال، وأتى بركعة (وسجد للسهو)، ولا ينفعه غلبة الظنِّ أنه صلى أربعا، ولا يعمل بقول غيره له أنه صلى أربعا، ولو بلغ ذلك القائل عددَ التواتر
Artinya, "Dan apabila orang yang shalat ragu dalam jumlah rakaat yang telah dikerjakan, seperti ragu apakah telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, maka ia harus mengambil yang yakin, yaitu jumlah rakaat yang lebih sedikit, kemudian ia menambah satu rakaat dan sujud sahwi.
Tidak bermanfaat baginya dugaan kuat bahwa ia telah melaksanakan empat rakaat. Ia juga tidak boleh mengikuti ucapan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah melaksanakan empat rakaat, meskipun yang mengatakannya sejumlah orang yang mencapai tingkatan mutawatir." (Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 90).
Penjelasan ini memang tidak menjawab secara langsung pertanyaan, yaitu tentang keadaan penanya yang sudah yakin atas perolehan rakaat shalatnya, namun ada orang lain yang mengingatkan bahwa rakaat shalatnya masih kurang.
Namun demikian, perlu dicermati lebih lanjut, dalam penjelasan di atas ada frasa:
ولا يعمل بقول غيره له أنه صلى أربعا، ولو بلغ ذلك القائل عددَ التواتر
Artinya, "Ia juga tidak boleh mengikuti ucapan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah melaksanakan empat rakaat, meskipun yang mengatakannya sejumlah orang yang mencapai tingkatan mutawatir."
Konteks frasa ini dengan pertanyaan yang disampaikan memang berbeda. dalam ibarat ini kasusnya adalah orang ragu tentang jumlah rakaat shalatnya dan ada orang lain yang mengatakan telah genap. Sedangkan dalam masalah yang ditanyakan, penanya sudah yakin dengan perolehan rakaat shalatnya, namun diingatkan orang lain bahwa rakaat shalatnya masih kurang.
Hemat kami meskipun berbeda namun substansinya sama, yakni tentang pengaruh peringatan orang lain terhadap rakaat shalat dikerjakan.
Dengan demikian, masalah yang ditanyakan dapat diilhaqkan atau disamakan dengan keterangan kitab, sehingga dapat disimpulkan bahwa ucapan orang lain tidak dapat diikuti, apalagi jumlahnya hanya satu orang dan tentunya tidak dapat mengubah keyakinan penanya bahwa jumlah rakaat shalatnya telah genap secara sempurna.
Lain halnya jika setelah diingatkan orang lain kemudian ia kembali ingat bahwa memang rakaat shalatnya kurang; atau orang yang memberi peringatan jumlahnya banyak.
Hal ini sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya dalam kisah Dzul Yadain sebagaimana hadits di atas.
Dalam hal ini Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan:
قوله ولا يعمل بقول غيره الخ) أي ولا بفعله أيضاً، فإن قيل: قد راجع الصحابة في قصة ذي اليدين فلما قالوا نعم عادوا للصلاة، أجيب بأن ذلك محمول على أنه تذكر حينئذ كما مرت الإشارة إليه. قوله (ولو بلغ ذلك القائل عدد التواتر) ضعيف والمعتمد أنه إذا بلغ ذلك القائل عدد التواتر يعمل بقوله بأنه يفيد اليقين
Artinya, "Ucapan Ibnu Qasim Al-Ghazi: "Dan ia tidak boleh mengikuti ucapan orang lain ...", maksudnya juga tidak boleh mengikuti perbuatannya (dalam shalat).
Jika disanggah bahwa Nabi saw menanyakan ulang kepada para sahabat (atas kebenaran pernyataan koreksi rakaat) dalam kisah Dzul Yadain, dan ketika mereka mengatakan 'Ya', mereka kembali melanjutkan shalat, maka jawabannya adalah hal itu dimungkinkan karena pada saat itu Rasulullah saw kemudian teringat, seperti yang telah disinggung sebelumnya.
Ucapan Ibnu Qasim Al-Ghazi: "Meskipun perkataan tersebut disampaikan oleh orang yang jumlahnya mencapai tingkatan mutawatir", adalah pendapat lemah.
Pendapat mu'tamad menyatakan, jika perkataan tersebut disampaikan oleh orang yang jumlahnya mencapai tingkatan mutawatir, maka perkataan tersebut dapat diamalkan karena memberikan faidah meyakinkan." (Hasiyah Baijuri 'ala Syarhil Fathil Qarib, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: t.t], juz I, halaman 362).
Istilah mutawatir sebenarnya merupakan istilah dalam ilmu hadits yang merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanadnya, sehingga secara akal mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam konteks permasalahan ini, mutawatir adalah orang yang memberi peringatan jumlahnya banyak, yang tidak mungkin mereka bersepakat dalam kebohongan.
Kasus shalat ini berbeda dengan tawaf. Dalam tawaf disunahkan mengikuti peringatan orang lain yang adil (orang yang memiliki integritas moral, jujur, dan tidak pernah dikenal sebagai orang yang suka berbohong atau melakukan dosa besar) atas kekurangan bilangan tawaf, meskipun ia meyakini bahwa tawafnya telah selesai berjumlah 7 putaran.
Berikut keterangan Syekh Mahfudz Termas:
قوله : (أَنْ يَأْخُذَ بِخَبَرِ مَنْ أَخْبَرَهُ بِالنَّقْصِ ) أي : فلو اعتقد أنه طاف سبعًا فأخبره عدل بأنه ست سن له العمل بقوله كما في الأنوار» وجزم به السبكي وفارق عدد ركعات الصلاة حيث لم يعمل فيها بقول غيره مطلقا ، بأن زيادة الركعات مبطلة بخلاف الطواف لا محذور في الأخذ بقول المخبر بذلك، تأمل
Artinya, "Ungkapan Penulis: "Agar mengikuti berita orang yang mengabarkan kepadanya tentang kekurangan", yaitu, seandainya seseorang meyakini telah tawaf sebanyak tujuh kali, kemudian ada seorang yang adil memberitahunya bahwa dia baru mengelilingi Ka'bah enam kali, maka disunahkan baginya untuk mengikuti perkataan orang tersebut, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Anwar. Imam As-Subki mantap dengan pendapat ini.
Hal ini berbeda dengan jumlah rakaat shalat, yang mana tidak diperbolehkan mengikuti perkataan orang lain dalam jumlah rakaat shalat secara mutlak. Karena menambah rakaat dapat membatalkan shalat, sedangkan dalam hal tawaf, tidak ada larangan untuk mengikuti perkataan orang yang mengabarkan kekurangan tersebut. Perhatikanlah dengan cermat." (Hasyiyah At-Tarmasi, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: t.t.], juz VI, halaman 213).
Walhasil, peringatan yang diberikan orang lain atas kekurangan rakaat shalat seseorang tidak berpengaruh apapun baginya dan bahkan tidak boleh diikuti.
Kecuali setelah diingatkan orang lain, ingatannya kembali atau orang yang mengingatkannya berjumlah banyak (mutawatir), maka harus diikuti dengan kembali menyempurnakan rakaat yang kurang dan melaksanakan sujud sahwi. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo