Ini 5 Etika Kemitraan dalam Islam yang Bikin Bisnis Berkah
Ahad, 25 Mei 2025 | 16:00 WIB
Kemitraan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Ia hadir dalam banyak rupa, mulai dari kerja sama perdagangan antar individu, pengelolaan harta bersama, hingga sinergi antara komunitas dan institusi. Karena berbentuk mitra, tentu saja dalam praktiknya selalu menuntut adanya kepercayaan, kesetaraan, dan komitmen bersama. Tanpanya, kemitraan mudah berubah menjadi ajang dominasi, pengkhianatan, bahkan eksploitasi.
Dalam praktik ini, Islam juga memberikan perhatian besar terhadap cara manusia saling berhubungan dan bermitra. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab tidak hanya kewajiban secara umum, tetapi juga menjadi fondasi pokok dalam berbagai bentuk muamalah, termasuk dalam kemitraan. Oleh sebab itu, ketika dua pihak sepakat untuk bekerja sama, Islam tidak hanya melihat hasil akhirnya, tetapi juga cara dan praktik di balik kesepakatan itu.
Karenanya, di tengah dinamika kerja sama modern yang semakin kompleks dan sering kali kehilangan arah etisnya, penting bagi kita semua untuk kembali membaca dan mengamalkan etika-etika dasar dalam bermitra. Tentu saja etika-etika dasar ini tidak sekadar menjadi pedoman dalam bermitra saja, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan orang lain kepada kita yang bermitra. Apa saja etika-etika dasar itu? Berikut perinciannya:
1. Jujur dan Tidak Berkhianat
Etika dasar pertama yang paling pokok dalam bermitra adalah menjaga kejujuran dan saling menunaikan amanah. Selama kedua belah pihak saling menjaga kejujuran dan menjalankan tanggung jawabnya, kerja sama akan tumbuh dengan sehat dan saling menguatkan. Namun, ketika salah satu pihak berbuat curang, seperti menyembunyikan informasi, mengambil keuntungan sepihak, atau mengingkari kesepakatan, tentu saja hubungan itu akan rapuh dan mudah runtuh.
Perihal pentingnya sama-sama jujur dan dapat dipercaya dalam bermitra, Rasulullah bersabda bahwa Allah berada di tengah-tengah dua orang yang bermitra selama keduanya saling menjaga kepercayaan. Namun, apabila salah satu dari mereka mengkhianati temannya, maka Dia akan meninggalkan mereka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Artinya, “Allah ta'ala berfirman: Aku adalah pihak ketiga di antara dua orang yang bermitra, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati yang lain, maka apabila salah satu berkhianat, aku keluar dari antara keduanya.” (HR Abu Daud dan al-Baihaqi).
Makna hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dkk, adalah bahwa Allah melindungi dan membantu dua orang yang bermitra selama keduanya menjaga kejujuran dan amanah dalam hubungan mereka. Allah juga akan memberikan keberkahan pada harta dan usaha mereka, sehingga kemitraan tersebut tumbuh dan menghasilkan kebaikan.
Namun jika salah satu dari mereka menyimpang dari kejujuran, berkhianat atau mengingkari amanah, maka keberkahan itu diangkat, dan pertolongan serta perlindungan Allah tidak lagi menyertai mereka. Akibatnya, kemitraan tersebut rentan mengalami perselisihan, kegagalan, hingga kerugian. (Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid VII, halaman 58).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
يَدُ اللَّهِ عَلَى الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ رَفَعَهَا عَنْهُمَا
Artinya, “Pertolongan Allah bersama dua orang yang bermitra selama salah satunya tidak berkhianat kepada yang lain. Namun jika salah satunya berkhianat, maka pertolongan itu dicabut dari mereka berdua.” (HR ad-Daru Quthni).
Maksud dari hadits di atas menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami adalah bahwa selama dua orang yang bermitra saling menjaga kejujuran dan amanah, pertolongan Allah akan senantiasa menyertai mereka. Pertolongan ini bermakna turunnya keberkahan dalam usaha mereka, penjagaan dari kerusakan, serta tumbuh dan berkembangnya harta yang dikelola bersama.
Namun, jika salah satu dari mereka mulai berkhianat, maka keberkahan itu akan dicabut. Dan akibatnya, muncul dampak negatif berupa kerugian, konflik, atau hilangnya rasa saling percaya antara orang-orang yang bermitra. (Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair, [Beirut: Darul Fikr, 1987 M], jilid I, halaman 431).
2. Adil dan Tidak Saling Merugikan
Etika dasar kedua dalam bermitra adalah tidak berbuat zalim terhadap rekan sendiri, karena tidak sedikit orang yang bermitra kerap tergelincir dalam tindakan saling menzalimi. Maka siapa saja yang hendak bermitra, baik dalam bisnis atau harta, harus memastikan bahwa dirinya sanggup bersikap adil, transparan, jujur, dan tidak serakah. Tanpanya, mitra hanya akan menjadi pintu kezaliman yang dibungkus dengan nama kerja sama. Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Artinya, “Sesungguhnya banyak di antara orang-orang yang berserikat (bermitra) itu benar-benar saling merugikan satu sama lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.” (QS Shad, [38]: 24).
Syekh Ismail Haqqi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-khulatha’ pada ayat di atas adalah para mitra, yaitu orang-orang yang mencampurkan harta mereka dalam satu bentuk kerja sama. Ia menekankan bahwa bentuk hubungan ini, meskipun secara lahiriah tampak seperti kerja sama, sering kali menjadi ruang yang rawan untuk pelanggaran hak.
Sebab kenyataannya, kebanyakan dari mereka justru saling menzalimi, mengambil lebih dari bagiannya, dan tidak memedulikan etika maupun prinsip keadilan dalam bermitra. (Tafsir Ruhil Bayan, [Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t], jilid VIII, halaman 12).
Oleh sebab itu, salah satu etika dasar yang sangat penting dalam bermitra adalah berlaku adil, bertanggung jawab pada apa yang menjadi kewajiban bersama, transparansi, jujur, dan tidak serakah dengan hasil yang didapatkan dalam kerja bersama. Dengannya, kemitraan tidak hanya menjadi alat mencari untung, tetapi juga menjadi kesempatan saling support dengan sesama rekan kerja.
3. Saling Berkomitmen
Salah satu etika lain yang paling mendasar dalam menjalin kemitraan adalah komitmen. Komitmen tidak sekadar kesepakatan lisan atau tulisan saja, tetapi juga janji yang mengikat pada tindakan yang akan dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam bermitra. Dengan berkomitmen, konsistensi terhadap arah dan tujuan bersama akan lebih terarah dan kestabilan hubungan kerja pun dapat terjaga. Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji!” (QS Al-Ma’idah, [5]: 1).
Merujuk penjelasan Syekh Syihabuddin al-Alusi dalam kitab tafsirnya, maksud dari ayat di atas adalah bahwa orang yang terikat dalam sebuah akad atau perjanjian kesepakatan, maka sudah semestinya ia menjaga konsekuensi dari akad tersebut dan berkomitmen untuk menunaikannya. Masing-masing harus saling menjaga apa yang dituntut dalam akad dan melaksanakannya sesuai dengan isinya. (Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1994], jilid IV, halaman 358).
4. Harus Mendapatkan Izin
Dalam etika bermitra, penting disadari bahwa setiap rekan dalam kemitraan sejatinya adalah orang luar (ajnabi) terhadap bagian harta milik mitranya. Sekalipun harta itu berada dalam satu wadah kerja sama, hak kepemilikan masing-masing tetap berdiri secara utuh dan tidak saling melebur secara mutlak. Karenanya, tidak dibenarkan bagi salah satu pihak untuk bertindak atau mengelola bagian harta mitranya tanpa seizin darinya, baik dalam bentuk penggunaan, pengalihan, maupun pengambilan hasil.
Sebab pada dasarnya, tidak ada hak perwalian (wilayah) bagi seseorang atas harta orang lain kecuali dengan izin yang sah, eksplisit, dan diketahui dengan jelas. Penjelasan di atas sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Dr. Musthafa al-Bugha, dan Dr. Ali as-Syarbaji, dalam kitab karya kolektifnya ditegaskan:
إِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيْكَيْنِ أَجْنَبِيٌّ فِي نَصِيْبِ الْآخَرِ، فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، إِذْ لَا وِلاَيَةَ لِأَحَدِهِمَا عَلىَ مَالِ الْآخَرِ
Artinya, “Sesungguhnya setiap pihak dari dua orang yang bermitra adalah orang luar (ajnabi) terhadap bagian harta milik pihak lainnya. Maka, tidak boleh baginya mengelola bagian tersebut kecuali dengan izin dari pemiliknya, karena tidak ada hak kuasa bagi salah satunya atas harta milik yang lain.” (Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid VII, halaman 58).
5. Bersikap Profesional
Selain yang telah disebutkan di atas, etika mendasar lainnya dalam menjalin kemitraan adalah bersikap profesional. Dalam konteks kemitraan, profesionalisme adalah menjalankan setiap peran dan tanggung jawab dengan kesungguhan dan kehati-hatian, serta menghadirkan hasil kerja sebaik mungkin, dan tidak sekadar asal selesai. Tentu saja, ini mencakup ketepatan waktu, mutu pekerjaan yang optimal, serta komunikasi yang jujur dan terbuka.
Sikap seperti inilah yang sejalan dengan semangat kerja yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam salah satu haditsnya, Nabi mengingatkan bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang menyempurnakan pekerjaannya,
إِنَّ الله يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
Artinya, “Sesungguhnya Allah mencintai apabila salah seorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, untuk menyempurnakannya dengan sebaik-baiknya (profesional).” (HR al-Baihaqi).
Dengan demikian, kemitraan dalam Islam tidak sekadar kesepakatan kerja atau pembagian keuntungan saja, tetapi juga merupakan ikatan etis yang dibangun di atas lima pilar tersebut, yaitu kejujuran, keadilan, komitmen, izin, dan profesionalisme. Tanpa etika-etika ini, sangat mungkin dalam kerja sama tergelincir pada ruang kecurangan dan penindasan. Karenanya, Islam tidak hanya mengatur aspek teknis kerja sama, tetapi juga menekankan aspek keberkahan, kepercayaan, dan tanggung jawab moral bersama. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.