Apakah Sujud Harus di Atas Bahan Bumi yang Tidak Dimakan atau Dipakai?
NU Online · Ahad, 2 Maret 2025 | 20:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Assalamu’alaikum wr. wb. Selamat siang, Redaktur Kolomnis Bahtsul Masail NU Online. Saya ingin bertanya mengenai ketentuan sujud dalam shalat. Apakah benar bahwa sujud harus dilakukan di atas bahan yang berasal dari bumi yang tidak dapat dimakan atau dipakai, seperti batu, tanah, daun, atau sejenisnya? Mohon penjelasannya. Terima kasih. (Hamba Allah).
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Perlu diketahui, bahwa anggapan sujud harus dilakukan di atas bahan yang berasal dari bumi yang tidak dapat dimakan atau dipakai, seperti batu, tanah, atau daun, tidaklah benar, karena prinsip dasar dari sujud itu sendiri adalah dahi orang yang shalat harus bersentuhan langsung dengan tempat sujudnya.
Pendapat di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Khatib as-Syarbini (wafat 977 H), dalam kitabnya mengatakan bahwa yang terpenting dalam sujud adalah memastikan dahi menyentuh pada tempat sujud, baik itu berupa tanah maupun benda lain yang layak dan sah dijadikan tempat sujud. Dalam kitabnya disebutkan:
Baca Juga
Kewajiban Sujud Sahwi Makmum Masbuk
وَ التَّاسِعُ السُّجُوْدُ مَرَّتَيْنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، وَهُوَ لُغَةً التَّطَامُنُ وَالمَيْلُ وَقِيلَ الخُضُوعُ وَالتَّذَلُّلُ. وَشَرْعًا أَقَلُّهُ مُبَاشَرَةُ بَعْضِ جَبْهَتِهِ مَا يُصَلِّي عَلَيْهِ مِنْ أَرْضٍ أَوْ غَيْرِهَا
Artinya, “Dan yang kesembilan adalah sujud dua kali dalam setiap rakaat. Secara bahasa, sujud berarti merendah dan condong, ada pula yang mengatakan berarti tunduk dan merendahkan diri. Sedangkan secara syariat, sujud paling minimal adalah menyentuhkan sebagian dahinya pada tempat sujud, baik berupa tanah maupun selainnya.” (Syekh Khatib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid I, halaman 136).
Untuk lebih detail dan lebih sempurna, penulis akan menjelaskan beberapa syarat sahnya sujud. Artinya, sujud tidak akan sah jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi di dalamnya, sehingga dengan mengetahui syarat-syarat tersebut dan mengaplikasikannya dalam sujud ketika shalat, akan menjadikannya sempurna dan ibadahnya menjadi sah.
Merujuk penjelasan Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Dr. Ali as-Syarbaji, dalam kitab kodifikasinya menjelaskan bahwa syarat sah sujud yang harus dipenuhi ketika shalat ada enam macam, yaitu:
- Membuka dahi. Artinya, dahi harus dalam keadaan terbuka ketika hendak menyentuhkannya pada permukaan tempat sujud;
- Bersujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu: [1] dahi, termasuk hidung, [2] dan [3]; kedua telapak tangan. [4] dan [5]; kedua lutut. [6] dan [7]; kedua ujung kedua telapak kaki. Namun, dari anggota-anggota ini, yang wajib dibuka hanyalah dahi;
- Bagian bawah tubuh lebih rendah dari bagian atas;
- Tidak bersujud di atas kain atau pakaian yang menyatu (menempel) dengan tubuhnya, sehingga kain tersebut bergerak seiring dengan gerakan tubuhnya;
- Sujud harus murni dilakukan untuk beribadah, dan tidak karena tujuan lain seperti rasa takut atau hal-hal duniawi lainnya;
- Thuma’ninah dalam sujud, yaitu diam sejenak ketika sujud dan tidak langsung mengangkat kepada, dengan seukuran minimal membaca satu kalimat tasbih (subhanallah).
Itulah enam syarat sah sujud yang harus dipenuhi dalam shalat menurut Syekh Dr. Musthafa al-Khin, dkk. Namun tidak hanya sekadar sah saja, ada juga tata cara sujud yang lebih sempurna sesuai dengan tuntunan dalam Islam.
Dalam praktiknya, sujud yang paling sempurna adalah seseorang dianjurkan untuk bertakbir ketika hendak turun ke posisi sujud. Saat menurunkan tubuhnya, hendaknya dimulai dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan kedua tangan, selanjutnya dahi dan hidungnya.
Kedua tangan diletakkan sejajar dengan bahu, jari-jari dirapatkan dan diarahkan ke kiblat. Selain itu, posisi tubuh dalam sujud juga perlu diperhatikan. Perut hendaknya dijauhkan dari paha, siku diangkat dari lantai, dan kedua lengan tidak menempel pada sisi tubuh. Dalam keadaan sujud ini, dianjurkan membaca: “Subhana Rabbiyal A’la” (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi) sebanyak tiga kali.
Penjelasan tentang praktik sujud yang paling sempurna (akmalus sujud) di atas sebagaimana ditulis oleh Syekh Dr. Musthafa al-Khin, dkk, dalam kitabnya disebutkan:
وَأَكْمَلُ السُّجُوْدِ أَنْ يُكَبِّرَ لِهَوِيِّهِ، وَيَضَعَ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَدَيْهِ ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ، وَيَضَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَنْشر أَصَابِعَهُ مَضْمُوْمَةً لِلْقِبْلَةِ، وَيُفَرِّقَ بَطْنَهُ عَنْ فَخْذَيْهِ، وَمِرْفَقَيْهِ عَنِ الْأَرْضِ وَعَنْ جَنْبَيْهِ، وَيَقُوْلُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى، ثَلاَثاً
Artinya, “Adapun sujud yang paling sempurna adalah dengan bertakbir saat hendak turun, kemudian meletakkan kedua lutut terlebih dahulu, lalu kedua tangan, selanjutnya dahi dan hidung secara bersamaan. Kedua tangan diletakkan sejajar dengan bahu, dengan jari-jari dirapatkan dan diarahkan ke kiblat. Selain itu, perut dijauhkan dari paha, siku diangkat dari tanah dan tidak menempel pada sisi tubuh, serta membaca: Subhana Rabbiyal A’la, tiga kali.” (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid I, halaman 135).
Namun demikian, perlu kembali ditegaskan, bahwa sujud tidak boleh dilakukan di atas sesuatu yang melekat pada tubuh atau bergerak seiring gerakan shalatnya, karena salah satu syarat sahnya sujud adalah memastikan bahwa sujud tidak dilakukan di atas benda yang melekat pada tubuh atau yang ikut bergerak ketika seseorang berdiri atau duduk dalam shalat. Jika seseorang dengan sengaja bersujud di atas benda semacam itu, maka shalatnya menjadi batal.
Jika terjadi tanpa sengaja, ia wajib mengulang sujudnya agar shalatnya tetap sah. Akan tetapi, jika benda tersebut tidak bergerak seiring dengan tubuhnya, atau tidak berupa benda yang ia bawa, seperti ranjang tempatnya berdiri atau sesuatu yang berada di tangannya seperti tongkat, maka sujud di atasnya diperbolehkan dan shalatnya tetap sah.
Pendapat di atas sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam kitabnya mengatakan:
وَشَرْطُهُ عَدَمُ السُّجُودِ عَلَى شَيْءٍ مَحْمُولٍ لَهُ أَوْ مُتَّصِلٍ بِهِ بِحَيْثُ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ فِي قِيَامِهِ أَوْ قُعُودِهِ، فَإِنْ سَجَدَ عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ، وَإِلَّا لَزِمَهُ إِعَادَةُ السُّجُودِ، فَإِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ مِنْ مَحْمُولِهِ، وَإِنْ تَحَرَّكَ بِحَرَكَتِهِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ سَرِيرًا هُوَ عَلَيْهِ أَوْ شَيْئًا فِي يَدِهِ كَعُودٍ، جَازَ السُّجُودُ عَلَيْهِ
Artinya, “Syaratnya adalah tidak bersujud di atas sesuatu yang dibawanya atau yang bersambung dengannya sehingga bergerak seiring dengan gerakannya saat berdiri atau duduk. Jika ia bersujud dengan sengaja di atasnya, maka shalatnya batal. Jika tidak, ia wajib mengulang sujud. Jika benda tersebut tidak bergerak bersamaan dengan gerakannya atau bukan sesuatu yang ia bawa, meskipun benda itu bergerak, seperti ranjang tempat ia berada atau sesuatu di tangannya seperti tongkat, maka sujud diperbolehkan.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhajul Qawim, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], halaman 184).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa anggapan sujud harus dilakukan di atas bahan yang berasal dari bumi dan tidak dapat dimakan atau dipakai tidaklah benar. Sebab, yang terpenting dalam sujud adalah memastikan dahi menyentuh tempat sujud, baik berupa tanah maupun benda lainnya yang sah dijadikan tempat sujud. Dengan kata lain, jika enam syarat yang telah disebutkan di atas terpenuhi semuanya, maka sujud dianggap sah. Begitu juga sebaliknya, jika tidak terpenuhi, maka sujudnya tidak sah dan shalatnya menjadi batal.
Salah satu contohnya adalah sujud tidak boleh dilakukan di atas sesuatu yang melekat atau menempel pada tubuh, sehingga akan ikut bergerak seiring gerakan shalat, seperti kain yang dipakai atau benda yang dibawa. Jika hal itu dilakukan dengan sengaja, maka sujudnya tidak sah dan shalatnya menjadi batal. Jika tidak sengaja, maka wajib mengulang sujudnya. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
6
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
Terkini
Lihat Semua