Hukum Hubungan Seksual dan Perkawinan LGBT (Lesbian)
NU Online ยท Ahad, 21 Februari 2016 | 10:01 WIB
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat. Langsung saja, belakangan ini ramai dibicarakan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Yang saya tanyakan, apa hukum hubungan seksual LGBT dalam Islam dan apa konsekuensinya? Apakah status perkawinan mereka? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamuโalaikum wr. wb. (Abdullah/Jakarta).
Jawaban
Penanya yang budiman di mana saja berada, semoga Allah SWT merahmati kita semua. Benar bahwa belakangan ini ramai diperbincangkan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Pelbagai kalangan dan tingkatan usia membicarakan masalah ini.
Setidaknya ada empat masalah berbeda perihal LGBT. Semuanya memerlukan pembahasan tersendiri. Pada kesempatan ini kita mengangkat masalah lesbian dari sisi hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan perilaku mukallaf. Artinya kita akan memandang masalah lesbian dari perilaku seksualnya.
Lesbian sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Dengan kata lain, lesbian adalah wanita homoseks. Syekh Nawawi Banten menyebut status hukum hubungan seksual wanita homoseks dalam karyanya Nihayatuz Zain sebagai berikut.
Artinya, โHubungan seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya dikenakan sanksi level takzir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan. Qadhi Abut Thayyib mengatakan, โDosa sihaq serupa dengan dosa zina berdasarkan sabda Rasulullah SAW, โBila perempuan melakukan seksual dengan sejenisnya, keduanya telah berzinaโ,โโ (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiโin, Al-Maโarif, Bandung, tanpa tahun, Halaman 349).
Lalu sanksi apa yang dikenakan bagi pelaku hubungan homoseksual wanita ini? Imam An-Nawawi di dalam Raudhatut Thalibbin menyebutkan bahwa sanksi lesbian tidak sampai batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum Islam seperti rajam. Mereka hanya dikenakan takzir, satu tingkat sanksi di bawah hudud.
Artinya, โAktivitas pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha, pendahuluan-pendahuluan dalam bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian, tidak dikenakan sanksi hudud,โ (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa โUmdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 415).
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj yang kemudian diuraikan lebih jauh oleh Ibnu Qasim Al-Abbadi mempertegas sanksi takzir bagi pelaku homoseksual wanita/lesbian.
Artinya, โ(Tiada sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan aktivitas seksual lain yang tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti sihaq) redaksi dalam Mughni, โTiada sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya cukup di-takzir. Begitu juga mereka yang melakukan masturbasi dengan tangannya. Mereka di-takzir. Sedangkan masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau budak perempuannya, hukumnya makruh karena masuk kategori โazal [keluar mani di luar vagina]โ (karena tidak ada masuknya penis seperti keterangan lalu),โ (Lihat Abdul Hamid As-Syarwani dan Ahmad Ibnu Qasim Al-Abbadi, Hawasyi Tuhfatil Muhtaj, Musthofa Muhammad, Mesir, Juz IX, Halaman 104).
Dari sejumlah keterangan di atas kita memahaminya bahwa hubungan seksual lesbian adalah haram dan dosa besar yang memiliki konsekuensi hukum di dunia. Pelakunya dikenakan sanksi takzir yang diijtihadkan oleh pemerintah dalam konteks Indonesia melalui perundang-undangan yang berlaku.
Perihal perkawinan sejenis seperti pernikahan sesama lesbian, jelas tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat pernikahan. Hukum positif tidak boleh melegalkan pernikahan mereka. Pemerintah baik eksekutif maupun legislatif akan berlaku zalim bila melakukan legalisasi perbuatan keji. Imam An-Nawawi secara eksplisit menyebut perilaku homoseksual wanita sebagai perbuatan keji.
Artinya, โPemasukan vagina ke vagina, termasuk juga di dalamnya homoseksual pria (liwath) adalah bagian dari perbuatan keji dan dosa besar,โ (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa โUmdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 414).
Adapun orientasi seksual, menurut hemat kami, adalah masalah medis yang bisa dikonsultasikan kepada para psikiater, medisin, atau pengobatan alternatif. Masalah orientasi sejenis ini masuk dalam ruang lingkup medis yang memiliki metode sendiri dalam menangani masalah ini.
Kendati demikian, masyarakat tidak boleh mengucilkan mereka secara sosial. Mereka justru membutuhkan dukungan masyarakat dalam mengatasi problem medis yang tengah mereka hadapi.
Demikian jawaban yang bisa kami kemukakan. Semoga jawaban ini dipahami dengan baik. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari perlaku seks sejenis agar rahmat-Nya turun merata kepada kita semua. Kepada pelaku hubungan seksual sejenis, dianjurkan untuk bertobat kepada-Nya. Allah maha penerima tobat hamba-Nya. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamuโalaikum wr. wb
(Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Cerpen: Tirakat yang Gagal
4
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua