Cerpen

Cerpen: Wong Nyupang

NU Online  ยท  Ahad, 27 Juli 2025 | 22:00 WIB

Katanya, mereka yang diberi indra keenam oleh yang membuat hidup, bisa melihat demit dari semua tingkatan. Mulai dari yang rendahan, hingga kelas kakap. Tak hanya melihat, katanya juga bisa berkomunikasi dengan mereka. Bahkan pada tingkatan tertinggi, bisa masuk ke alam gaib.


Apakah aku percaya dengan hal itu? Entahlah, aku sendiri juga bingung. Tetapi aku berprinsip bahwa orang yang diberikan kelebihan, tidak akan gembar-gembor mengatakan dirinya punya kelebihan. Kalau gembar-gembor, tentu patut untuk dipertanyakan.


Sudah ratusan kali aku mendengar hal tak mengenakan tentang kampungku dari orang-orang yang mengklaim memiliki indra keenam. Semuanya mengatakan bahwa kampungku adalah gudangnya orang yang melakukan pesugihan.


"Kata pamanku, kampung kamu itu banyak wong nyupang," ujar kawanku Alif yang tinggal di kampung sebelah. "Macam-macam jenisnya, ada yang melakukan pesugihan genderuwo, babi ngepet, tuyul, kuntilanak, pocong."


Alif mengatakan,ย  jika kampungku dilihat dari perbukitan oleh orang yang memiliki indra keenam, tampak diselimuti oleh awan hitam pekat. Hanya ada setitik cahaya terang dari beberapa titik. Cahaya itu berasal dari rumah-rumah yang tetap memegang teguh kepada yang Maha Kaya.


Meskipun ada cerita tak mengenakkan tentang kampungku, kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Mereka yang berdagang tetap berjualan, yang bertani tetap mengurus ladang. Anak-anak pun tetap pergi ke sekolah, berangkat pagi dan pulang siang.


Yang ingin aku tanyakan adalah, jika memang benar banyak orang di kampungku yang mengabdi setan, mengapa di kampungku ada lima masjid yang aktif? Lima kali sehari, adzan dikumandangkan dan shaf shalat selalu penuh. Setelah Subuh dan Maghrib, di masjid tersebut diadakan pengajian dengan jamaah yang sama banyaknya. Tidak hanya itu, kampungku juga memiliki lima Taman Pendidikan Al-Qurโ€™an, tempat anak-anak belajar membaca kalam Allah dengan benar sesuai makharijul huruf. Selain itu, ada empat Madrasah Diniyah yang mengajarkan ilmu fiqih, tauhid, dan akhlak kepada anak-anak.

 

Pertanyaan itu aku tanyakan kepada Alif.


"Kedok belaka," jawabnya. "Tentu saja untuk menutupi perbuatan syirik yang dilakukan. Mereka akan tetap shalat di masjid, tetap ikut pengajian, bahkan tetap berinfak sedekah.ย Ketika shalat, hati mereka tidak menghadap Allah."


"Dari yang aku baca, syarat untuk melakukan pesugihan adalah harus meninggalkan segala bentuk ibadah kepada Sang Pencipta," sanggahku.


"Ya itu dulu sekali, tetapi sekarang lain. Para dukun memperbaharui persyaratannya dan setan mau berkompromi akan hal itu."


"Aku tak percaya dengan omong kosongmu itu!" kataku sambil menggebrak meja. Seisi kelas yang tadi sibuk dengan aktivitas masing-masing, ada yang membaca buku, makan, menonton, berhenti dan menatap ke arah kami. "Siapa sih yang nggak iri sama kampungku? Warganya makmur semua. Kalau memang warga kampungku kaya, itu wajar, tanahnya subur, ditambah mereka juga pekerja keras. Kalau mau iri, mending pikirin cara supaya bisa kaya juga, jangan malah menyebarkan cerita-cerita bohong bahwa kampungku penuh dengan wong nyupang."


"Terserah apa katamu! Susah ngomong sama orang yang tinggal di kampung kegelapan. Hatinya pasti ikut gelap. Atau jangan-jangan ibumu pelihara tuyul," sahut Alif sinis.

 

"Keterlaluan!"


Sebuah pukulan mendarat di wajah Alif, dan ia pun membalas. Adu jotos pun tak terelakkan antara aku dan dia. Bukannya melerai, teman-teman sekelas justru bersorak, menyemangati kami untuk terus bertarung. Sementara itu, para siswi berteriak histeris. Baru setelah beberapa dari mereka mengancam akan melapor ke guru BK, para siswa akhirnya turun tangan dan memisahkan kami. Sejak kejadian itu, hingga lulus SMA, aku tak pernah lagi duduk sebangku dengan Alif.


Aku tak bisa menyembunyikan dari ibu jika diriku berkelahi di sekolah. Berbohong tak ada gunanya, sebab kedua pipiku jelas terlihat bengkak. Mau tak mau ketika ditanya, aku menjawab dengan jujur sejujur-jujurnya. Tentu saja ia kaget bukan main. Sejak aku kelas satu SMP hingga sekarang kelas satu SMA, aku selalu duduk sebangku dengan Alif. Hubungan kami terlihat baik-baik saja. Karena itulah, ibu tak menyangka kami bisa sampai berkelahi. Akhirnya, aku ceritakan semuanya, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa pertengkaran itu tak bisa dihindari.


"Cerita tentang wong nyupang di kampung kita, sudah ada sejak ibu masih kecil,โ€ ujarnya sambil mengompres pipiku. "Seharusnya kamu nggak usah menggubris itu, biarkan sajalah. Jangan malah kamu ladeni."


"Soalnya Alif menuduh ibu memelihara tuyul," bantahku. "Anak mana coba yang nggak marah kalau ibunya dituduh yang tidak-tidak."


"Kan yang paling penting ibu nggak melakukan itu."


โ€œJustru kalau aku diam, Alif mengira kalau diriku hidup dari pesugihan tuyul.โ€


โ€œYa sudah, besok di kelas kamu harus minta maaf. Namamu kan Satriaji, jadi kamu harus memiliki sifat ksatria."


"Ya."

 

Desas-desus atau entah berita hoaks, apa pun sebutannya, tentang kampungku yang katanya gudang wong nyupang, tak pernah benar-benar dipedulikan oleh warga. Hingga akhirnya, sebuah kejadian menggemparkan terjadi di kampung kami. Ketika syukuran panen raya di balai desa, terjadi kesurupan massal. Orang yang kesurupan hampir menembus angka seratus.


Mereka yang kesurupan, yang notabennya dalam kondisi tidak sadar, menyebut satu per satu nama warga kampungku yang melakukan pesugihan.

 

Ki Rangkawadi yang kami kenal sebagai orag alim di desa kami,ย meminta warga kampungku untuk tidak mempedulikan apa yang diucapkan oleh orang yang kesurupan, sebab sedang dikendalikan oleh setan.


"Jangan kalian dengarkan Ki Rangkawadi,ย manusia sok suci ini," ucap Basyir kawanku yang mengalami kesurupan. "Ia yang selama ini memimpin kalian shalat, naik ke mimbar masjid, mengajarkan untuk mengesakan Allah. Eh malah melakukan pesugihan," imbuh Basyir dengan tangan menunjuk ke arah Ki Rangkawadi.


Selanjutnya Basyir melengking keras sebelum akhirnya sadar. Aku yang tak jauh dari Basyir, bergidik ngeri mendengar suaranya yang melengking. Kekacauan itu berlangsung cukup lama. Baru sekitar pukul sebelas malam, mereka yang kesurupan akhirnya sadar kembali.

 

Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa Ki Rangkawadi meninggal dunia. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan penyebabnya adalah serangan jantung.

 

Istrinya bercerita bahwa malam sebelumnya, sepulang dari balai desa, Kiai Rangkaย langsung tidur. Sekitar dua jam kemudian, ia terbangun karena mendengar suaminya mengigau. Dalam igauannya, Ki Rangkaย berteriak minta ampun.


Biasanya, ia selalu bangun pukul tiga dini hari untuk menunaikan salat tahajud. Namun malam itu berbeda. Hingga menjelang Subuh, ia tak juga bangun. Ketika istrinya mencoba membangunkan, tubuhnya sudah dingin dan kaku.


Kematian Ki Rangka membuat banyak orang mengaitkannya dengan ucapan Basyir saat kesurupan. Tak sedikit warga kampungku yang percaya bahwa Ki Rangka meninggal karena terlibat dalam pesugihan.


Sejak kejadian kesurupan massal dan kematianย Ki Rangkawadi โ€‹โ€‹โ€‹โ€‹โ€‹โ€‹ย suasana kampungku tak lagi sama. Suasana kampung yang sejuk berubah menjadi panas. Keharmonisan warga perlahan memudar. Orang-orang saling menatap curiga, seolah tak ada lagi kepercayaan di antara mereka. Pertengkaran kecil antar tetangga mulai sering terjadi. Bahkan, ketika ada anak kecil yang tiba-tiba kejang, kejadian itu langsung dikaitkan dengan tumbal pesugihan. Orang tua si anak menuduh tetangganya hendak menumbalkan sang anak, dan pertengkaran pun tak terhindarkan.


Karena suasana kampung tak lagi kondusif. Bapak dan Ibu memutuskan membawa kami sekeluarga pergi jauh meninggalkan kampung.


Kini, dua puluh tahun telah berlalu. Aku mendengar kabar bahwa kampung tempatku dilahirkan telah berubah menjadi kampung mati. Tempat yang dulu dipenuhi kehidupan dan tawa anak Adam, kini berubah menjadi sarang para jin.

 

Aku memutuskan kembali ke kampung halamanku, ingin menziarahi makam Kakek. Menjelang Maghrib, saat mobilku perlahan memasuki kampung yang kini disebut kampung mati, tiba-tiba terdengar suara menyeramkan yang membuat bulu kuduk berdiri.

 

"Hahaha... aku berhasil memecah belah anak Adam. Akulah setan paling beruntung."

 

Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).