Muhammad Tantowi
Kolomnis
Baru-baru ini, jagat maya Indonesia kembali dihebohkan oleh pernyataan oknum jaksa yang menganggap hasil pemerasan sebagai rezeki sehingga dianggap wajar untuk kemudian memberikan ‘rezeki’ tersebut kepada keluarganya. Sisanya, digunakan untuk biaya perjalanan umrah dan disumbangkan untuk pesantren.
Seorang muslim tentu akan meyakini bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki semua makhluk-Nya yang ada di bumi. Hal ini Dia tegaskan dalam ayat berikut:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَاۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya: "Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)". (QS. Hud: 6)
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, ayat ini merupakan penegasan bahwa menjamin rezeki bagi semua makhluk adalah keharusan bagi Allah. Rezeki yang Dia anugerahkan selalu sesuai dengan kebutuhan jasmani makhluk-Nya. Hanya saja, rezeki ini sengaja disiapkan bagi makhluk yang mau bergerak untuk meraihnya atau bekerja untuk mendapatkannya. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr al-Mu'ashir, 1991], jilid XII, hal. 20).
Selain ayat di atas, Nabi Muhammad SAW juga pernah menegaskan bahwa rezeki manusia telah ditetapkan setelah perubahan dari nuthfah atau sperma menjadi 'alaqah atau sesuatu yang menempel di dinding rahim. Ini terjadi setelah ia berusia empat puluh hari dalam rahim ibunya. Hal ini diungkapkan oleh An-Nawawi berikut:
وَذَلِكَ عَقِبَ الْأَرْبَعِينَ الْأُولَى وَحِينَئِذٍ يَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقَاوَتَهُ أَوْ سَعَادَتَهُ
Artinya: "Dan itu (terjadi) setelah empat puluh (hari) pertama. Pada saat itu (malaikat) menulis rezekinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntungnya". (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, [Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, 1392 H], jilid XVI, hal. 190).
Itu artinya, seseorang yang mau bekerja pasti akan mendapatkan rezeki, entah itu dalam jumlah sedikit atau banyak. Terlebih bagi seorang jaksa yang punya penghasilan tetap setiap bulan sehingga idealnya tidak perlu melakukan korupsi atau memeras pihak yang sedang tersandung suatu perkara.
Kendati demikian, rezeki bukanlah hal yang bebas nilai karena bagi seorang muslim, rezeki harus dipastikan kehalalannya, baik halal secara zat maupun teknis memperolehnya. Oleh karena itu, ajaran agama selalu memerintahkan umatnya untuk mencari rezeki yang halal. Di samping itu juga terdapat larangan memperolehnya dengan cara yang haram.
Salah satu dalil yang memerintahkan umat Islam untuk mencari rezeki halal sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mulk ayat 15:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya: "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan".
Dalam memahami ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa demi mengkonsumsi makanan yang halal, seseorang diperintahkan untuk mencarinya hingga ke tempat-tempat yang jauh di seluruh penjuru dunia. Cara mencarinya boleh dalam bentuk perdagangan atau pekerjaan lainnya. (Abul Fida' Ismail bin Umar Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur'an Al-Adhim, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1419 H], jilid VIII, hal. 199).
Dalam hal larangan mencari rezeki haram, cukuplah bagi seorang muslim yang berakal menjadikan kisah hisab atau audit amal perbuatan manusia di akhirat kelak sebagai peringatan keras. Bahwa rezeki yang didapatkan selama di dunia akan ditanyakan asal dan peruntukannya. Hal ini diungkapkan Al-Baghawi dalam menafsirkan surat As-Shaffat ayat 24. Ia mengutip hadits Nabi berikut:
لَا تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: عَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ بِهِ
Artinya: "Dua telapak kaki anak Adam tidak bisa bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal, yaitu tentang masa mudanya untuk apa saja ia lalui, tentang umurnya untuk apa saja ia habiskan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan, serta tentang ilmunya apa yang telah dia perbuat dengan ilmunya". (Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, [Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, 1420 H], jilid IV, hal. 29).
Dalam kasus oknum jaksa di atas, ketika seseorang memiliki harta dari cara yang haram, maka harta tersebut tidak dapat digunakan sebagai bekal ibadah. Baik untuk bekal umrah atau disedekahkan secara langsung kepada pihak lain. Melihat hal ini, Muhammad bin Abdullah Al-Jardani menghadirkan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA, bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ اِلَّا طَيِّبًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.”
Dalam menjelaskan hadits nabi di atas, Al-Jardani mengomparasikannya dengan hadits:
مَنْ كَسَبَ مَالاً حَرَامًا فَتَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِثْمُهُ عَلَيْهِ
Artinya: "Siapapun yang memperoleh harta haram, kemudian ia sedekahkan, maka tidak ada pahala baginya. Dan (bahkan) dosa atasnya"
Lantas ia menambahkan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, bahwa orang yang membelanjakan harta haram sebagai bekal taat kepada Allah SWT, diumpamakan seperti orang yang mencuci pakaian dengan air kencing. (Muhammad bin Abdullah Al-Jurdani, Al-Jawahirul Lu'luiyah Fi Syarhil Arbain An-Nawawiyah, [Cairo: Darul Fadhilah, 2012], hal. 109).
Sebagai muslim yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kasus yang dilakukan oleh oknum jaksa di atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 pasal 3 ayat 1, TTPU adalah kesengajaan seseorang atau sekumpulan orang yang menempatkan harta kekayaan, mentransfer, membayar atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkannya, yang patut diduga hasil dari tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama pribadi atau pihak lain.
Dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 pasal 2, terdapat 26 tindak pidana yang menjadi pidana awal atau predicate crime. Pertama adalah tindak pidana korupsi yang ancamannya tertera pada pasal 3 dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal 20 miliar.
Ancaman lain yang tidak kalah besarnya bagi seorang muslim yang memakan barang haram adalah neraka. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW berikut:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya: "Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan masuk surga. Dan setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih utama dengannya". (Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, Al-Mu'jam Al-Awsath, [Cairo: Darul Haramain, 1995], jilid VII, hal. 378).
Pada akhirnya, seorang muslim harus meyakini bahwa Allah SWT benar-benar telah menjamin rezeki manusia. Pilihan mendapatkan rezeki juga telah ditetapkan. Tinggal manusia yang memilih, akan diraih dengan cara halal atau haram yang tentunya masing-masing mempunyai konsekuensi baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a'lam.
Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.
Terpopuler
1
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
2
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
3
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
6
Khutbah Jumat: Jadilah Pelopor Terselenggaranya Kebaikan
Terkini
Lihat Semua