Syariah

Akad Inden dan Kejatuhan Harga Produk Pertanian dalam Fiqih Muamalah

Sen, 19 Juli 2021 | 03:45 WIB

Akad Inden dan Kejatuhan Harga Produk Pertanian dalam Fiqih Muamalah

Di sisi lain, bagi perusahaan, saat harga cabai melambung tinggi senilai Rp.50 ribu per kilogram, maka ia untung sebesar Rp.30 ribu sebab kontrak pembelian cabai senilai Rp.20 ribu per kilogram.

Perhatikan lagi pada tulisan terdahulu tentang agro-trading pada sistem agro-trading pertanian cabai! Sebuah perusahaan membeli cabai petani dengan harga yang dipatok saat ini seharga Rp.20 ribu per kilogram dengan atas nama bantuan modal usaha. Jatuh tempo pembayaran adalah 3 bulan semenjak masa tanam dilakukan, sebab sebagian besar usia panen cabai adalah 90 HST (Hari Setelah Tanam). 


Ketika harga cabai saat panen tiba mencapai Rp.50 ribu per kilogram, maka petani mengalami kerugian sebesar Rp.30 ribu per kilogram sebab ia sudah menyepakati penjualan senilai 20 ribu rupiah per kilogram. Jika harga cabai jatuh senilai Rp.10 ribu per kilogram, maka petani diuntungkan senilai 10 ribu rupiah per kilogram sebab kontrak penjualan senilai Rp.20 ribu per kilogram tersebut.


Di sisi lain, bagi perusahaan, saat harga cabai melambung tinggi senilai Rp.50 ribu per kilogram, maka ia untung sebesar Rp.30 ribu sebab kontrak pembelian cabai senilai Rp.20 ribu per kilogram. Sebaliknya, jika harga cabai jatuh senilai Rp.10 ribu per kilogram, maka perusahaan mengalami kerugian sebesar 10 ribu rupiah per kilogramnya karena terikat dengan kontrak pembelian senilai Rp.20 ribu di awal transaksi.


Harga yang sudah dipatok sejak 3 bulan sebelum panen ini dikenal dengan istilah harga exercise. Akad yang dipergunakan adalah akad salam, dengan ketentuan sahnya adalah bila harga sudah ditetapkan di muka dan volume barang yang akad diserahkan sudah diketahui saat transaksi itu disepakati. Selanjutnya, modal (ra’sul mal) diserahkan di muka kepada petani oleh perusahaan.


Di saat harga cabai mencapai Rp.50 ribu per kilogram, maka ada hak opsi (khiyar) yang dimiliki perusahaan untuk membeli produk petani yang sudah dimodalinya (call option). Tindakan perusahaan untuk melakukan pembelian ini dikenal dengan istilah long.


Di sisi lain, ketika harga jatuh senilai 10 ribu rupiah, perusahaan juga memiliki hak opsi untuk membeli (call option/long) atau merelakan begitu saja (put option) terhadap modal yang sudah diserahkan kepada petani. Bisa juga perusahaan menjualnya kepada pihak lain secara over the counter (OTC) yaitu secara oper tanggungan. Di dalam fiqih, akad ini disebut hiwalah. 


الحوالة في اللغة النقل والتحويل , أما في الاصطلاح الفقهي فهي عبارة عن نقل الدين من ذمة إلى ذمة أخرى


Artinya, "Hiwalah secara bahasa bermakna pindah atau pengalihan. Adapun secara istilah dalam ilmu fiqih, hiwalah adalah suatu istilah tentang pemindahan utang dari satu tanggungan ke tanggungan pihak lain.” (Fiqhl Muamalat, juz I, halaman 190).


Ketika Perusahaan Memilih Opsi Short (beli) saat Tiba Waktu Call Option dan Harga Jatuh di Pasaran


Short merupakan aksi beli. Call Option adalah panggilan bagi investor karena sudah tiba waktunya untuk menetapkan pilihannya, yaitu antara membeli (short) produk yang sudah dikontrak atau menjualnya (long). 


Apabila perusahaan memiliki sumber daya pengelolaan terhadap hasil pertanian, atau memiliki ruang penyimpanan yang layak untuk hasil pertanian sehingga mampu menahan lama kondisi produk dalam keadaan segar, maka bisa saja ketika harga cabai jatuh di pasaran, perusahaan tetap mengambil risiko kerugian dengan melakukan pembelian hasil pertanian cabai petani, meskipun dalam hitungan riel saat kini (current account), perusahaan (investor) dipastikan mengalami kerugian secara materiil sebesar Rp.10 ribu per kilogram. Jika produk yang harus dibeli adalah total Rp.10 per kilogram, maka total kerugian mencapai Rp.100 juta.


Dalam kondisi semacam ini, pihak petani mengalami keuntungan, sebab harga cabainya sudah dipatok sejak jauh hari oleh perusahaan senilai Rp.20. Harga cabai menjadi tidak bergantung pada permintaan dan penawaran pasar (aradl dan thalab). Harga cabai sepenuhnya bergantung pada kebutuhan (hajat) perusahaan.


Melihat dari bangunan akadnya (takyif fiqihnya), akad semacam ini memang pada dasarnya sudah masuk dalam ranah akad salam. Namun, karena pertimbangan moral hazard yang potensial untuk ditimbulkan-apalagi berkaitan dengan trading-itulah, maka akad ini dalam tulisan terdahulu tentang agro-trading, adalah diputus sebagai haram. Sifat spekulasi terhadap hasil panenan di belakang menjadikan seseorang cenderung berlaku mencari untung-untungan yang rawan dengan maisir dan gharar.


Namun bila dikupas lebih lanjut, banyak nushushus syariah menyatakan bahwa akad ini adalah boleh. Meski begitu, sifat kebolehan ini tidak bersifat mutlak, melainkan berlaku dalam bingkai terbatas, yaitu karena ada alasan dharurah li masisi al-hajat. Artinya, akad salam sebagaimana berlaku di atas adalah diperuntukkan untuk maksud lindung nilai (hedging).


Keuntungan bagi petani, adalah akibat harga panenannya sudah dipatok duluan, maka harganya menjadi terlindungi (hedged), kendati saat itu harga di tengah pasaran tengah dalam kondisi jatuh. Untuk terpenuhinya syarat hedged ini, diperlukan kriteria tertentu dari perusahaan yang bisa melakukannya.


Perusahaan tersebut memiliki manajemen mitigasi risiko yang mumpuni, seperti kepemilikan ruang penyimpanan yang luas, atau memproduksi bahan mentah menjadi barang jadi. Dengan demikian, terpenuhi illat hajat baginya untuk menjalankan akad salam seiring kebutuhan atas bahan baku industri.


Saat Perusahaan Memilih Opsi Long saat Call Option dan Harga Jatuh di Pasaran


Lawan dari short (beli), adalah long, yaitu jual. Call Option adalah waktu yang telah ditentukan dalam kontrak agar perusahaan melakukan aksi long (jual) atau short (beli) terhadap produk yang sudah dikontrak.


Karena modal sudah diserahkan kepada petani, dan perusahaan memiliki hak untuk memborong produk hasil panen petani, maka hak (right) opsi pembelian hasil pertanian cabai oleh perusahaan terhadap petani ini tetap bisa dinilai sebagai harta. Sebagai sebuah harta, maka ia bisa dialihkan pelaksanaannya secara over the counter/OTC) kepada pihak lain, yaitu dengan jalan dijual ke investor yang lain. (Perhatikan kembali ta’rif hiwalah di atas!)


Penjualan hak (right) investor untuk mengambil produk cabai petani kepada investor lain ini dikenal dengan istilah put option. Opsi ini dipilih sudah barang tentu karena pertimbangan jika investor awal melakukan opsi beli sendiri, maka ia rugi. Oleh karenanya, daripada ruginya bertambah-tambah, maka ia merelakan hak pengambilan cabai itu diambil alih pihak lain secara over the counter (OTC). Oper tanggungan semacam ini disebut transaksi forward (forward contract).


Seberapa Besar Nilai Jualnya?


Umumnya, penjualan secara over the counter (OTC) ini adalah dilakukan sesuai dengan harga kontrak yang sudah dilakukan oleh investor awal ke petani, yaitu Rp.20 ribu per kilogram (harga exercise) dengan total lot aset sebesar 10.000 kg. Total biaya pengalihan adalah senilai Rp.200 juta, dan dibayarkan ke investor yang digantikan. 


Apa yang Didapatkan Petani?


Dengan menyimak akan alur over the counter ini, maka pihak petani menjadi dapat terlindungi produk cabainya dengan tetap menerima harga sesuai kontrak, yaitu Rp.20.000 per kilogram. Pihak investor yang mengambil alih berhak mengambil produk cabai. Sementara pihak investor dapat tertutupi modalnya.


Menggarisbawahi Akad Over The Counter dalam Fiqih Transaksi


Sederhanya, Over the Counter merupakan “hak” (right) investor dalam rangka menjual (put option) “aset yang sudah dibelinya secara future contract” kepada pihak lain ketika jatuh tempo pihak investor pertama untuk melakukan call option (membeli aset yang telah dikontrak beli). Karena obyek yang dijual masih ada di tangan pihak lain, maka transaksi over the counter adalah sama pengertiannya dengan transaksi hiwalah (forward contract). (Perhatikan ta’rif hiwalah di atas!)


Hiwalah adalah transaksi pengalihan tanggungan dari pihak satu ke pihak lain ketika tanggungan tersebut bersifat iltizam (saling mengikat satu sama lain). Akad ini juga bisa disebut akad bai’ud dain bid dain (jual beli tanggungan dengan tanggungan), atau bai’u ma fidz dzimmah bi ma fidz dzimmah.


Syarat kebolehan dari akad hiwalah ini adalah apabila besaran ma fidz dzimmah yang dioper (al-muhal bih), sama nilainya dengan ma fidz dzimmah sebagai operan (al-muhtal bih). Di dalam akad ini, tidak berlaku yang namanya khiyar (opsi). Alhasil, jika kesepakatan over the counter itu sudah disepakati, dan pihak yang mengambil alih sudah menyerahkan harga, maka secara otomatis akad tersebut wajib berlaku dan tidak bisa dibatalkan (irreversible contract). 


Kupasan lebih lanjut mengenai akad hawalah ini, insya Allah akan disampaikan pada kesempatan tulisan-tulisan mendatang. Wallahu a’lam bish shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.