Inden menurut arti leksikalnya adalah pembelian barang dengan cara memesan dan membayar terlebih dahulu. Jika dilihat dari rumpun akadnya, maka inden ini masuk rumpun akad jual beli barang yang "belum ada." Istilah "belum ada" ini bukan berarti "tidak ada." Perbedaannya di mana?
Barang belum ada, menyimpan makna bahwa barang itu tengah dalam proses pencetakan, atau tengah dalam proses pengiriman, atau tengah dalam proses diadakan. Ciri dan spesifikasi barangnya sudah diketahui karena sampelnya sudah diuji coba atau ada contoh gambarannya. Dengan berbekal pengetahuan terhadap ciri dan spesifikasi barang itu, pembeli bisa melakukan pesan rakit barang (
istishna') ke produsen.
Adapun yang dimaksud 'barang tidak ada' adalah barangnya memang benar-benar tidak ada karena tidak diadakan atau tidak berusaha mengadakan. Karena tidak berusaha diadakan, maka ciri dan spesifikasi barang secara jelas tidak bisa ditentukan. Jika spesifikasi barang tidak bisa ditentukan, bagaimana ia bisa dihargai? Sudah pasti tidak bisa dihargai. Karena harga barang terbentuk disebabkan oleh karena adanya gambaran kualitas barang.
Baik barang "belum ada" ataupun barang "tidak ada" keduanya adalah sama-sama ghaib (belum nampak) saat akad sedang dilangsungkan. Yang menjadi persoalan adalah, benarkah bahwa jual beli barang yang belum ada ini hukumnya terlarang secara ijma' (kesepakatan ulama)? Berikut penjelasan dari para ulama.
Jual Beli Pesan (Salam)
Inden itu hakikatnya adalah jual beli dengan sistem pesan. Para ulama sering menyebutnya sebagai akad jual beli barang yang bisa disifati dan ada dalam tanggungan (bai' maushuf fi al dzimmah).
Syarat dari jual beli seperti ini mengharuskan:
Pertama, barang harus sudah diketahui ciri dan spesifikasinya oleh pembeli. Berdasarkan sifat keharusan pembeli mengetahui barang yang akan dibeli ini, jual beli pesan dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Jual beli barang yang pernah dilihat oleh pembeli
b. Jual beli barang yang belum pernah dilihat oleh pembeli, namun pembeli familiar dengan tipe barang sejenis sebelumnya
c. Jual beli barang yang belum pernah dilihat oleh pembeli dan pembeli belum familiar dengan tipe barang sebelumnya
d. Jual beli barang yang tidak ada sama sekali
Untuk kategori jual beli barang (a, b, dan c), para fuqaha' empat mazhab justru membolehkannya, dengan catatan wajib adanya khiyar syarat, yaitu bila barang tidak banyak menyimpang dari ketentuan yang tertuang di dalam spesifikasi, maka akad yang terjadi adalah boleh dilangsungkan. Pembeli bisa melakukan opsi pembatalan, jika ditemui spesifikasi barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang ditawarkan.
Jadi, dalam hal ini, sama dengan ketentuan jual beli barang inden. Wajib berlaku adanya khiyar syarat yang membolehkan pembeli membatalkan akad jual beli, jika ditemui ketidaksesuaian barang dengan spesifikasi yang ditawarkan.
Kedua, barang adakalanya sudah ada di dalam tempat penyimpanan penjual, dan ada kalanya belum ada namun tengah diadakan oleh penjual.
Untuk kategori barang yang sudah ada di tempat penyimpanan penjual, tidak ada khilaf dari para ulama akan kebolehannya, karena jual beli yang terjadi adalah masuk rumpun akad yang masyhur, yaitu akad salam.
Adapun untuk barang yang belum ada di gudang penjual, ada satu kemungkinan, yaitu: barang masih berada di tangan orang lain. Dalam situasi seperti ini, boleh hukumnya bagi penjual untuk menjual barang tersebut, dengan catatan ada ijin dari pihak yang memiliki barang secara langsung. Peran dari penjual dalam hal ini adalah menyerupai peran
dropshipper, wakil, atau bahkan
samsarah (makelar).
Ketiga, harga pokok barang sudah diketahui oleh pembeli.
Keempat, ada masa penyerahan barang yang disepakati, baik antara penjual maupun pembeli.
Istishna'
Istishna' adalah akad pesan perakitan barang. Akad ini termasuk akad pengembangan dari jual beli salam. Ruang masuk bagi sahnya akad ini adalah:
1. Sifat barang diketahui (maushuf)
2. Penjual menjamin kehadiran barang sesuai dengan yang dipesan (fi al dzimmah)
Akad ini kerap dipergunakan dalam pesan perakitan pesawat terbang, kapal selam, proyek tol, pendirian gedung, bahkan untuk barang kecil semisal buku atau komputer. Sistem pemesanan semacam ini disebut inden, karena ada antri tunggu. Syarat yang harus dipenuhi sama dengan syarat jual beli salam, dengan keharusan adanya khiyar (opsi melanjutkan atau membatalkan transaksi) bagi pembeli.
Walhasil, tidak benar bahwa akad inden barang tidak diperbolehkan dalam syariat, atau bahkan diharamkan secara ijma'—sebagaimana penulis temui di sejumlah sebaran di media sosial. Sejumlah dalil syar'i dengan rujukan dari keterangan ini sudah pernah disampaikan oleh penulis dalam beberapa tulisan sebelumnya. Wallahu a'lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur