Syariah

Bai’ Najasy, Jual Beli dengan Rekayasa Permintaan dan Provokasi Harga

Sel, 18 Agustus 2020 | 14:00 WIB

Bai’ Najasy, Jual Beli dengan Rekayasa Permintaan dan Provokasi Harga

Ada tiga  tujuan jual beli najasy sehingga menyebabkannya haram: rekayasa informasi, mempengaruhi opini publik, dan menaikkan level harga.

Kita umumnya mengenal praktik bai’ najasy dalam transaksi berlangsung pada sendi akad-akad tradisional. Bai’ najasy seringkali didefinisikan sebagai jual beli dengan provokasi harga lewat rekayasa permintaan. Dalam kajian fiqih klasik, rekayasa ini misalnya adalah ada seorang pedagang yang memiliki 4 orang anak buah. Keempatnya diminta untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dijual oleh seorang penjual. Tujuannya, agar masyarakat yang melihat menjadi tertarik untuk ikut nimbrung di lapak mereka, kemudian terjaring melakukan praktik transaksi pembelian.

 

Melihat dari ilustrasi ini, peran dari keempat orang suruhan pedagang di atas, setidaknya dapat dijelaskan tujuan dasarnya, yaitu:

 

  1. Untuk menciptakan kesan banyaknya  orang yang menawar barang dagangan
  2. Menciptakan kesan bahwa track record pedagang adalah baik dengan bukti banyak orang yang mengerubutinya untuk membeli barangnya
  3. Menjerat calon pembeli agar melakukan penawaran dengan harga terbaik, dan
  4. Semata-mata menciptakan iklim persaingan palsu
  5. Keempat orang tersebut sebenarnya tidak pernah bermaksud membeli, atau didesain agar seolah benar terjadi transaksi jual beli, namun itu hanya strategi pengelabuan pembeli sebenarnya agar ia terprovokasi.

 

Gambaran dari contoh di atas ini kemudian dirangkum oleh Syekh Ibn Hajar Al-Asqalani, yang selanjutnya beliau mendefinisikan bai’ najasy secara syara, sebagai berikut:

 

وفي الشرع الزيادة في ثمن السلعة ممن لا يريد شراءها ليقع غيره فيها ، سمي بذلك لأن الناجش يثير الرغبة في السلعة

 

“Menurut syara’, bai najasy merupakan upaya menaikkan harga barang dagangan (pump and dump) oleh orang yang sebenarnya tidak menghendaki membeli barang tersebut dengan tujuan agar orang lain masuk dalam perangkapnya. Itulah sebabnya, tindakan itu dikenal dengan istilah najasy, karena pihak yang berperan selaku penawar palsu (najisy) ini berperan dalam menambahkan daya pikat terhadap barang dagangan” (Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 416)

 

Bagaimana Syariat memandang Praktik Najasy Ini?

 

Dalil pokok yang dijadikan landasan larangan praktik bai’ najasy ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma:

 

نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن النجش

 

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang praktik jual beli najasy” (HR Bukhari, dengan Nomor Hadits 2035).

 

Sayyidina Umar radliyallahu ‘anhu sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan:

 

هذا نجش لا يحل، فبعث مناديا ينادي : إن البيع مردود ، وإن البيع لا يحل

 

”Praktik provokasi harga ini tidak halal.” Oleh karenanya beliau menyuruh seorang petugas agar mengumumkan bahwa sesungguhnya jual beli najasy (provokasi harga) ini adalah tertolak lagi tidak halal.” [Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 417)

 

Tentang Keabsahan Transaksi

Saat seorang pembeli terperangkap dalam praktik najasy, maka persoalan yang sering ditanyakan adalah apakah transaksi pembeli tersebut hukumnya sah? Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Ibnu Mundzir dan kalangan ahli dhahir (ulama literalis) serta salah satu jalur riwayaat kalangan ulama mazhab Maliki menyebut bahwa akad jual beli semacam itu rusak (tidak sah). Dan pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah. Artinya, menurut ketiga kalangan ini, jual belinya batal dan harganya dikembalikan pada harga mitsil (harga normalnya).

 

Adapun pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah dan Syafi’yah, adalah jual belinya tetap sah, namun wajib berlaku adanya khiyar. Kalangan Syafi’iyah lebih menegaskan lagi bahwa  jual belinya sah namun pelakunya tetap dianggap telah maksiat alias berbuat dosa. Pendapat Syafi’iyah ini merupakan yang dipedomani sebagai pendapat yang paling shahih (qaul ashah) oleh kalangan Hanafiyah dan bahkan menyebut shihhatu al-bai’ ma’a al-itsmi (jual belinya sah namun pelakunya berdosa). Risiko dari mengikuti pendapat ini adalah, harga dan barang yang diserahkan oleh penjual dan pembeli, sifatnya adalah sah sehingga tidak boleh diminta kembali. Lantas bagaimana dengan praktik kebohongan yang sudah dilakukan oleh pelaku najasy di atas? Imam Al-Rafii menyatakan bahwa kebohongan tersebut merupakan dasar dari ditetapkannya pelaku sebagai yang telah berbuat maksiat, khususnya bila ia telah tahu bahwa perbuatan itu dilarang oleh syara’.

 

وقال الرافعي : أطلق الشافعي في " المختصر " تعصية الناجش ، وشرط في تعصية من باع على بيع أخيه أن يكون عالما بالنهي

 

“Imam Al-Rafii mengatakan bahwa Imam Al-Syafi’i telah menyampaikan status maksiatnya pelaku najasy di dalam kita al-Mukhtashar, dengan takhsish berdasar dalil status maksiatnya orang yang menjual barang yang diitawar oleh saudaranya, khususnya bila orang tersebut tahu bahwa praktik itu dilarang syara’” (Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 417)

 

Bagaimana bila pelaku tidak tahu bahwa perbuatan najasy itu sebagai yang dilarang syara’? Berangkat dari penjelasan Imam al-Rafii di atas, maka mafhumnya, adalah bahwa orang yang tidak tahu, maka tidak dihukumi maksiat atau berdosa (itsm) disebabkan unsur jahalah (kebodohan) yang dimilikinya.

 

Illat Larangan Bai’ Najasy

Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan illat (alasan dasar) larangan dari bai’ najasy. Pertama, ada ulama yang menyatakan bahwa larangan tersebut adalah diakibatkan karena adanya unsur khadi’ah, yaitu penipuan (transaksi palsu) yang dilakukan melalui rekayasa permintaan (demand), sehingga tercipta dumping (melambungkan harga) yang berakibat terpengaruhinya opini publik bahwa track record pedagang adalah yang berlaku sebagai baik. Jadi, ada tiga  tujuan yang hendak diraih lewat najasy sehingga menyebabkan haramnya praktik tersebut, yaitu: (1) rekayasa informasi positif, (2) mempengaruhi opini publik, dan (3) dumping (menaikkan level harga).

 

وأجاب الشارحون بأن النجش خديعة، وتحريم الخديعة واضح لكل أحد، وإن لم يعلم هذا الحديث بخصوصه ، بخلاف البيع على بيع أخيه فقد لا يشترك فيه كل أحد

 

“Para penyarah kitab menjawab bahwa praktik najsy dilarang sebab unsur khadi’ah (pemalsuan). Keharaman khadi’ah(palsu/fiktif) ini merupakan yang jelas bagi setiap orang, kendati ia belum mengetahui penjelasan hadits yang menunjukkan larangan tersebut secara khusus. Lain halnya, dengan jual belinya seseorang terhadap barang yang masih ditawar oleh saudaranya, maka larangan itu tidak diketahui oleh setiap orang, (melainkan yang bersangkutan semata),” (Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Juz 4, halaman 417)

 

Kedua, Imam al-Rafii (dari kalangan Syafi’iyah) menganggap bahwa larangan itu justru disebabkan hikmah adanya idlrar (niat merugikan) terhadap orang lain akibat jual beli barang yang masih dalam penawaran orang lain. Meskipun najasy itu sifatnya hanya fiktif semata karena hanya dimaksudkan untuk rekayasa informasi dengan tujuan akhir adalah melakukan dumping (menaikkan level harga), hal tersebut tidak mempengaruhi terhadap  sahnya jual beli yang disertai penyerahan harga dan barang. Serah terima harga dan barang merupakan illat mu’tabar bagi sahnya jual beli. Adapun sikap idlrar yang tersimpan dalam praktik khadi’ah (pemalsuan informasi positif) itu yang menjadikan pelakunya dihukumi sebagai ‘ashin (yaitu orang yang telah berbuat maksiat sebab kebohongannya).

 

واستشكل الرافعي الفرق بأن البيع على بيع أخيه إضرار، والإضرار يشترك في علم تحريمه كل أحد ، قال : فالوجه تخصيص المعصية في الموضعين بمن علم التحريم

 

“Imam Al-Rafii menganggap sulit untuk memerinci mengenai illat larangan jual beli barang yang ditawar oleh saudaranya disebabkan alasan idlrar, khususnya bila tindakan idlar ini secara bersama-sama dilakukan oleh setiap orang yang terlibat, bersama pengetahuan mereka terhadap illat keharamannya. Oleh karena itu, Imam al-Rafi berkata: “Latar belakang dari penetapan dalil khususkemaksiyatanpada dua konteks masalah di atas (antara najasy dan jual beli barang yang masih ditawar saudaranya) adalah khusus dikaitkan bagi orang yang sudah mengetahui dalil larangan praktik keduanya. (Mafhumnya; Adapun bila tidak tahu, maka ia tidak bermaksiat)” (Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Juz 4, halaman 418)

 

Pernyataan Al-Rafii ini senada dengan pernyataan Imam Al-Syafi’i yang menegaskan:

 

فمن نجش فهو عاص بالنجش إن كان عالما بالنهي ، والبيع جائز لا يفسده معصية رجل نجش عليه

 

“Barang siapa melakukan praktik najasy, maka dia telah berlaku maksiat sebab tahu larangan. Adapun hukum jual belinya adalah sah, dan tidak rusak sebab maksiatnya pelaku.” (Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Juz 4, halaman 418)

 

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Jatim