Syariah

Hewan Ternak Merusak Ladang Orang Lain, Wajib Ganti Rugi?

Ahad, 29 September 2019 | 14:00 WIB

Hewan Ternak Merusak Ladang Orang Lain, Wajib Ganti Rugi?

Seseorang memiliki tanggung jawab untuk menjaga binatang piaraannya agar tak merugikan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapati hewan ternak orang lain memasuki pekarangan orang lain. Misalnya ayam peliharaan atau hewan unggas lainnya. Para tetangga umumnya masih menoleransi akan akibat yang ditimbulkan dari berkeliarannya unggas atau ternak tersebut ke lahannya selagi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. 
 
Bila hanya mengotori lantai, mereka yang masih cukup sabar akan membersihkannya, tanpa membuat keributan tak perlu dengan tetangga. Yang kadang menimbulkan masalah adalah manakala sang tetangga pada waktu musim tertentu, ia harus membuat pembenihan atau sedang bercocok tanam dan masih membutuhkan perawatan, lalu tiba-tiba diserang oleh unggas, sehingga bisa berakibat gagalnya pembenihan atau bercocok tanamnya. 
 
Jika tidak disikapi dengan arif, maka bisa terjadi cekcok antartetangga dan bahkan parahnya bisa berujung pada terputusnya silaturahim. Apalagi bila pemilik ladang dan pembenihan kemudian memasang racun atau jebakan yang bisa membunuh hewan ternak.
 
Begitu pun yang memiliki unggas juga kadang kurang peka dengan membiarkan hewannya berkeliaran tanpa usaha pengendalian, sehingga dengan bebas keluar masuk ladang orang lain dan berdampak merugikan. 
 
Baca juga:
 
Nah, dalam rangka menjaga keutuhan tali silaturahmi itulah maka berlaku hukum syariat yang menengahi perkara. Di antara aturan syariat tersebut adalah sebagai berikut: 
 
Pertama, bagaimanapun juga pemilik unggas harus berusaha mengendalikan unggasnya agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Jangan menjadikan alasan bahwa adat pelepasannya dianggap sebagai sebuah kelaziman. Di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj disebutkan bahwa: 
 
فَلَوْ اعْتَادَ الطَّائِرُ النُّزُولَ عَلَى جِدَارِ غَيْرِهِ وَشَقَّ مَنْعُهُ كُلِّفَ صَاحِبُهُ مَنْعَهُ بِحَبْسِهِ أَوْ قَصِّ جَنَاحٍ لَهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَلَّدْ عَنْ الطَّائِرِ ضَرَرٌ بِجُلُوسِهِ عَلَى الْجِدَارِ ؛ لِأَنَّ مِنْ شَأْنِ الطَّيْرِ تَوَلُّدَ النَّجَاسَةِ مِنْهُ بِرَوْثِهِ وَيَتَرَتَّبُ عَلَى جُلُوسِهِ مَنْعُ صَاحِبِ الْجِدَارِ مِنْهُ لَوْ أَرَادَ الِانْتِفَاعَ بِهِ
 
Artinya: “Andai berlaku kebiasaan seekor unggas terbang dan hinggap pada dinding orang lain dan susah untuk mencegahnya, maka pemilik unggas dibebani tugas mengurungnya atau memotong sayapnya atau tindakan semisal, meskipun hinggapnya unggas di atas tembok tersebut tidak membawa akibat langsung pada timbulnya kerugian. Karena bagaimanapun, tingkah polah seekor unggas dapat menularkan terjadinya najis sebab kotorannya, dan terkadang sebab hinggapnya ia di atas tembok, dapat berakibat pada tercegahnya pemilik tembok dari memanfaatkan tembok yang dimilikinya” (Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj ‘ala Syarhi al-Minhaj, Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 23/202).
Kedua, bilamana terjadi kerusakan pada harta orang lain akibat unggas yang dimiliki oleh orang tersebut, maka berlaku akad tempuh risiko alias ganti rugi (dlaman). Hal ini berpedoman dari kitab I’anatu al-Thalibin, sebagai berikut: 
 
وإن كانت وحدها فأتلفت زرعا أو غيره نهارا لم يضمن صاحبها أو ليلا ضمن إلا أن لا يفرط في ربطها وإتلاف نحو هرة طيرا أو طعاما عهد إتلافها ضمَّنَ مالكَها ليلا ونهارا إن قصر في ربطه
 
Artinya: “Jika tabiat hewan tersebut dengan sendirinya merusak tanaman orang lain atau yang semisal tanaman, dan khususnya bila kejadian itu terjadi di siang hari, maka tidak ada pertanggungan risiko yang dibayarkan oleh pemilik ternak. Akan tetapi, bila perusakan itu terjadi pada malam hari, maka wajib tempuh risiko bagi pemiliknya. Semua ini khususnya bila tidak ada unsur keteledoran dari pemilik hewan dalam mengikatnya (mengendalikannya). Namun, bila perusakan itu dilakukan seumpama oleh seekor kucing piaraan yang memakan burung atau makanan tetangga maka dalam kondisi ini, wajib berlaku tempuh risiko (dlaman) bagi pemiliknya, baik perusakan itu dilakukan di siang hari atau malam hari, khususnya jika ia sembrono untuk tidak mengikatnya.” (Sayyid Abu Bakar ibn Syatha’, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in, Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179).
 
Kutipan ini setidaknya menjelaskan bahwa ada dua jenis binatang piaraan yang memiliki watak berbeda. Ada yang wataknya cenderung merusak bila dilepaskan, ada juga yang wataknya tidak merusak. Untuk hewan yang memiliki watak acap kali merusak bila dilepaskan, maka berlaku ketentuan bagi pemiliknya untuk mengendalikannya semaksimal mungkin. Bila ternyata ia dilepaskan, dan berakibat rusaknya harta benda orang lain karenanya, maka pemilik hewan wajib membayar ganti rugi. Tidak peduli waktu kejadiannya siang atau malam. 
 
Lain halnya bila hewan piaraan itu tidak biasa menimbulkan kerusakan. Maka dalam hal ini berlaku ketentuan, bahwa pemilik hendaknya mengendalikan hewannya pada batas-batas yang memungkinkan tidak timbul kerusakan. Bila ternyata akibat pengabaian penjagaan itu, kemudian hewan tersebut tandang ke lahan milik orang lain, maka pemilik wajib tempuh risiko, khususnya bila hal itu terjadi pada malam hari.
 
Namun kadang kejadian terjadi di siang hari, maka dalam hal ini diperlukan tindakan memerinci. Bila tandangnya adalah akibat pengabaian dari sang pemilik (menggampangkan) dalam urusan penjagaannya, maka wajib baginya tempuh risiko. Akan tetapi, bila sudah dijaga, tapi tanpa disadari ternyata lepas juga dari penjagaan sehingga lari ke ladang orang lain, maka tidak ada tempuh risiko baginya. Karena umumnya di siang hari adalah waktu bagi pemilik lahan untuk menjaga lahan dan tanaman yang dimilikinya (Sayyid Abu Bakar ibn Syatha’, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in, Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179).
 
Sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dijelaskan terkait dengan dlaman ini. Namun, kiranya yang berkaitan dengan hewan ternak dan korelasinya dengan hubungan saling bertetangga, sepertinya keterangan ini sudah cukup mewakili untuk pengembangan ke ternak atau kasus piaraan hewan lainnya. Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah - PW LBMNU Jawa Timur