Syariah

Hukum Transaksi Jual Beli oleh Penyandang Tunanetra

Kam, 18 Juli 2019 | 15:45 WIB

Hukum Transaksi Jual Beli oleh Penyandang Tunanetra

Ilustrasi (iStock)

Sebenarnya masalah ini merupakan masalah cabang, akan tetapi berlaku umum di masyarakat. Penulis sendiri sering mendapati ada dua orang tunanetra berjalan ke pasar tanpa ada yang membimbing dan mereka belanja keperluan mereka untuk panti sosial tempat mereka dititipkan. Sejak awal penulis amati, belanja mereka benar dan tidak ada masalah. Namun, di sisi yang lain, ada juga orang yang usil mengerjai mereka para penyandang disabilitas ini. Mereka mengambil keuntungan dari saudara kita yang tidak bisa melihat ini dengan memberikan barang jelek tapi dibilang baik. Dan saudara kita ini tidak bisa mengenalinya dan jadilah mereka pulang dengan membawa barang jelek namun dibilang baik, atau kadang juga campuran antara barang baik dan buruk. Di sini penulis berpikir, akankah mata sebagai sarana melihat menduduki posisi yang penting dalam muamalah kaum disabilitas ini? 

Beberapa literatur penulis buka dan mendapati salah satu literatur yang ditulis oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily dengan menempatkan kondisi mata (baca: indra penglihat) sebagai yang tidak baku bagi kelegalan muamalah jual belinya tunanetra. Dengan kata lain, asalkan keempat indra lainnya masih berfungsi normal, maka mata tidak mutlak sebagai syarat ru'yah (mengenali barang). 

وأما ما يعرف بالنظر فوصفه للأعمى يقوم مقام نظره

Artinya: "Sementara itu barang yang bisa diketahui dengan memandang, maka dengan menunjukkan sifat barang tersebut bagi tunanetra adalah sama dengan menempati derajat memandangnya orang yang bisa melihat." (al-Zuhaily, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 4, Beirut: Dâru al-Ma'rifah, tt.: 580)

Kali ini penulis coba hadirkan literatur lain sebagai pembanding dari literatur yang disampaikan Syekh Wahbah itu yang menyatakan khilaf di antara bisa dan tidaknya mata sebagai faktor kelegalan itu. Setidaknya ada dua konsekuensi hukum yang berlaku. Dalam Majmu' Syarah al-Muhadzab li al-Syairazy, Imam Nawawi menyatakan bahwa: 

وإن باع الأعمى أو اشترى شيئا لم يره (فإن قلنا) إن بيع ما لم يره البصير لا يصح لم يصح بيع الأعمى وشراؤه (وإن قلنا) يصح ففى بيع الأعمى وشرائه وجهان (أحدهما) يصح كما يصح من البصير فيما لم يره و يستنيب في القبض والخيار كما يستنيب في شرط الخيار (والثانى) لا يصح لأن بيع ما لم يره يتم بالرؤية وذلك لا يوجد في حق الاعمى ولا يمكنه أن يوكل في الخيار لأنه خيار ثبت بالشرع فلا تجوز الاستنابة فيه كخيار المجلس بخلاف خيار الشرط

Artinya: "Jika seorang tunanetra menjual atau membeli sesuatu yang belum dilihatnya, maka ada dua pendapat, yaitu 
  1. Jika kita berpendapat bahwa jual beli barang yang belum dilihat oleh orang yang bisa melihat hukumnya adalah tidak sah, maka tidak sah pula hukum jual belinya tunanetra.
  2. Jika kita berpendapat bahwa jual beli barang yang belum dilihat oleh orang yang melihat sebagai sah, maka ada dua wajah hukum yang berlaku bagi muamalah jual belinya tunanetra, yaitu:
Pertama, dipandang sah sebagaimana sahnya muamalah jual belinya orang yang bisa melihat. Sementara dalam rangka penerimaan barangnya (qabdlu) dan melakukan khiyar (opsi membatalkan transaksi bila ada cacat, red), maka dia harus mengangkat orang kedua sebagaimana orang yang melihat mengangkat orang lain untuk melakukan qabdlu dan khiyar.  

Kedua, dipandang tidak sah karena jual beli barang yang belum pernah dilihat, sempurnanya hanya dengan cara melihat. Dan hal demikian ini tidak ditemukan pada potensi penyandang tunanetra. 

(Untuk wajah yang kedua ini), berlaku konsekuensi  hukum bagi tunatetra, yaitu: 
  • mengangkat wakil tidak dimungkinkan dalam urusan khiyar karena aturan khiyar sudah tetap di dalam syara' (yakni melihat dulu), dan
  • mengangkat pihak kedua untuk menggantikannya melakukan khiyar (opsi) juga tidak diperbolehkan, seperti mengangkat pengganti untuk melakukan khiyar majelis (karena dalam khiyar majelis, disyaratkan yang bersangkutan harus melihat dulu dengan mata kepala sendiri), kecuali 
  • khiyar syarat. (Jika ada opsi khiyar syarat, maka boleh mengangkat orang kedua untuk melakukan khiyar).." 

(Lihat: Al-Nawawy, al-Majmû' Syarah al-Muhadzab li al-Syairazy, juz 3, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 15-16!). 


Objek bahasan dalam pendapat di atas adalah jual beli barang yang belum dilihat oleh pembeli. Dalam kasus umum, jual beli yang masuk barang belum pernah dilihat itu ada dua, yaitu bai' maushufin fi al-dzimmah (jual beli salam) dan bai' al-ghaib. Jual beli salam (pesan) berlaku syarat harga harus diketahui secara jelas, dan barang sudah ada dalam tanggungan penjual (milik penjual). Pada saat barang sudah diterima oleh pembeli, pembeli bisa melihat langsung barangnya dan sekaligus bisa menyifatinya sehingga dengan mudah ia bisa menentukan khiyar, yaitu antara melanjutkan akad atau membatalkannya. Jika ada ketentuan bahwa dalam akad jual beli salam ini harus khiyar majelis, maka setidaknya pembeli harus bisa mengenali saat awal barang ditunjukkan spesifikasinya oleh penjual. Dan ini bisa dilakukan oleh pembeli dengan catatan, pembeli sudah punya pengalaman tentang barang dengan spesifikasi tersebut. Namun, jika pembeli belum punya pengalaman, maka jual beli barang yang dipesan dengan khiyar majelis masuk kategori jual beli jahalah, karena menyimpan unsur ketidaktahuan pembeli. 

Apakah akad ini sah? Dalam kasus ini sebenarnya berlaku dua pandangan, yaitu antara sah dan tidak. Sah jika kondisi pembeli masuk dalam syarat kondisi pertama, dan tidak sah bila pembeli masuk syarat kondisi kedua disebabkan unsur ketidaktahuannya (jahâlah) terhadap barang yang dibeli. Namun untuk kondisi kedua, menjadi sah bilamana khiyarnya bukan khiyar majelis, melainkan khiyar syarat. 

Dengan mencermati kasus di atas, maka hal yang sama bisa berlaku bagi penyandang tunanetra.  Jika penyandang tunanetra belum pernah memiliki pengalaman dengan barang, maka jual belinya bisa menjadi tidak sah disebabkan ketidaktahuannya terhadap barang, kecuali bila diterapkan khiyar syarat. Sebaliknya jual beli tersebut bisa dipandang sah, bila si pembeli pernah memiliki pengalaman dengan barang. 

Syarat memiliki pengalaman pada barang ini, khusus untuk tunanetra, bisa terjadi melalui tiga kemungkinan, yaitu: 

1. Pada saat memutuskan membeli barang, sang penyandang tunanetra pernah melihat dengan mata kepala sendiri terhadap barang. Dan ini memungkinkan terjadi pada penyandang yang sifatnya bukan tunanetra sejak lahir. Gambarannya, saat membeli ia belum mengalami kebutaan, dan saat barang diterima, ia mengalami kebutaan. Kondisi jual beli seperti ini hukumnya sah karena illat pernah berpengalaman. Akan tetapi, qabdlu barangnya, tidak boleh ia terima sendiri, melainkan ia bisa menyuruh pihak kedua untuk menolongnya, kecuali jika ada khiyar syarat, maka ia tidak perlu meminta tolong, disebabkan ia sendiri saja sudah cukup untuk memenuhi syarat qabdlu.

2. Jika sang penyandang tunanetra itu menyandangnya sejak lahir, maka khiyar yang berlaku baginya hanya khiyar syarat. Yang disoal oleh ulama adalah saat akad memutuskan jual beli. Apakah boleh sang tunanetra membeli sendiri barang yang belum pernah dilihatnya? Dalam hal ini maka seolah yang berlaku adalah jual beli barang yang ghaib. Hukumnya juga bisa sah dan bisa tidak. Bisa sah apabila disebutkan spesifikasinya dan bisa tidak sah manakala tidak diketahui spesifikasinya. Ketidaktahuan spesifikasi ini seolah menyerupai jual beli munâbadzah (jual beli spekulasi dengan jalan lempar). Jadi, poin krusialnya adalah spesifikasi barang itu, bisa diketahui oleh pembeli tunanetra sendiri atau tidak, atau oleh orang suruhannya. 

3. Kondisi ketiga kemungkinan pembeli tidak tahu barang saat pembeli kecuali spesifikasinya. Namun, di saat qabdlu (penerimaan barang), ia sembuh dari kebutaan. Apakah boleh ia melakukan khiyar kembali? Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaily, dinyatakan tidak boleh disebabkan ru'yah dengan sifat barang saat masih mengalami kebutaan menempati derajat maqam ru'yat al-bashîr (mengetahuinya orang yang bisa melihat). Namun, menurut pendapat Imamuna al-Nawawy di atas, hukumnya adalah boleh disebabkan karena sempurnanya jual beli hanya dengan ru'yatu al-bashîr

Walhasil, sah atau tidak jual belinya penyandang tunanetra, dalam hal ini ada khilaf pendapat di kalangan ulama'. Syekh Wahbah memilih pendapat sah mengingat hushul ru'yat (tercapainya ru'yat) bisa dilakukan melalui sarana panca indra yang lain. Sementara itu, Imam al-Nawawy memandang sisi dhahir (tekstual) nash, bahwasanya jual beli tanpa ru'yatu al-bashir dihukumi sebagai dua, tergantung pada sisi mana kita memberi kelonggaran pada makna jual beli barang yang belum terlihat. Jual beli tunanetra hukumnya sah manakala kita mengikut pendapat bahwa jual beli barang belum terlihat hukumnya adalah sah. Dan bisa diputus sebagai tidak sah, bila kita menyatakan pendapat bahwa jual beli barang yang belum pernah dilihat sebagai tidak sah, kecuali ada khiyar syarat. Bila ada khiyar ini, maka hukum jual beli barang yang belum terlihat hukumnya menjadi mutlak sah. 

Lantas mana dari kedua pendapat ini yang maslahat bagi penyandang tunanetra? Imam al-Nawawy memberikan penegasan bahwa:

ﻭﺇﻥ ﺟﻮﺯﻧﺎﻩ ﻓﻮﺟﻬﺎﻥ ﺃﺻﺤﻬﻤﺎ ﻻﻳﺠﻮﺯ ﺃﻳﻀﺎ ﻷﻧﻪ ﻻ ﻃﺮﻳﻖ ﻟﻪ ﺇﻟﻰ ﺭﺅﻳﺘﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻛﺑﻴﻊ اﻟﻐﺎﺋﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺧﻴﺎﺭ واﻟﺜﺎﻧﻲ يجوﺯ ﻓﻴﻘﺎﻡ ﻭﺻﻒ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻪ ﻣﻘﺎﻡ ﺭﺅﻳﺘﻪ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺃﺣﻤﺪ 

Artinya: "Jika kita memilih pendapat membolehkan, maka ada dua pandangan, (yang paling shahih) adalah tidak bolehnya transaksi jual belinya kaum tunanetra karena ketiadaan jalan untuk melihat barang. Oleh karena itu pula, transaksinya menyerupai transaksi jual beli barang ghaib, tiada khiyar baginya. (Kedua) boleh namun harus mengajak orang lain guna menjelaskan sifatnya, yang penjelasan ini menempati maqam melihatnya tunanetra. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad." (Lihat: Al-Nawawy, al-Majmû' Syarah al-Muhadzab li al-Syairazy, Juz 3, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 15-16!)

Jika melihat struktur pendapat di atas, pendapat kedua (pendapat yang membolehkan muamalah jual belinya tunanetra) bukanlah menduduki pendapat yang lemah. Pendapat itu merupakan pendapat yang shahih juga. Artinya, jika hal ini diterapkan pada praktik muamalah penyandang tunanetra, maka tetap bisa dibenarkan, asalkan kondisi lingkungannya tidak bersifat merugikan bagi tunanetra. Bukankah tunanetra yang bekerja dengan melakukan jual beli adalah jauh lebih baik dibanding ia diam saja sembari menunggu uluran dari orang lain? Sampai di sini, maka pendapat yang kedua ini dirasa yang lebih maslahat. Wallahu a'lam bish shawab


Ustadz Muhammad Syamsudin, Pegiat Forum Kajian Fiqih Terapan dan Peneliti dan Pemateri Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua