Syariah

Kartu Kredit Online atau Paylater menurut Hukum Islam

Rab, 27 Mei 2020 | 02:00 WIB

Kartu Kredit Online atau Paylater menurut Hukum Islam

Karena ada nilai yang bertambah saat pelunasan, apakah itu masuk riba?

Hari ini kita mendapati adanya sistem pembayaran Paylater di beberapa pengguna produk finansial teknologi (fintech). Secara bahasa, paylater bermakna bayar tunda atau bayar nanti. Polanya menyerupai kartu kredit, hanya saja basisnya adalah teknologi informasi.

 

Jika ditilik dari mekanismenya, produk paylater ini menawarkan sebuah pembayaran tunda dari suatu proses transaksi yang dilakukan pada marketplace tertentu atau mitra usaha dari marketplace tertentu. Semisal OVO Paylater, merupakan produk yang diusung oleh Grab dan berguna untuk memesan jasa atau makanan yang ditawarkan oleh Grab, dan bilamana saldo OVO menipis, ia bisa mengajukan sistem paylater, yaitu bayar nanti. Jadi, bila ada seseorang naik grab, kemudian saldo OVO-nya tidak mencukupi, kekurangannya itu bisa dipenuhi dengan paylater. Sekilas memang memudahkan bagi para pengguna OVO.

 

Tidak hanya Grab, beberapa produsen lain juga menerapkan sistem pembayaran yang sama. Traveloka adalah salah satu dari produsen tersebut. Jika seseorang melakukan paket perjalanan rekreasi, Traveloka menawarkan sebuah fasilitas pembayaran tiket, penginapan, dan sejenisnya kepada penggunanya dengan dibayar tunda tanpa ribet (demikian pendakunya).

 

Baik Grab maupun Traveloka menerapkan bunga pada produk paylater-nya ini. Untuk Grab mengenakan tarif 2000 rupiah per hari. Sementara pada produk Traveloka dikenakan bunga cicilan flat (rata) antara 2.14% sampai dengan 4.78% per bulan. Sebuah harga yang sebenarnya cukup tinggi. Perusahaan lain yang menggunakan sistem serupa adalah Gojek, Shopee, Lazada, Bukalapak, dan lain-lain.

 

Yang dipermasalahkan adalah apakah pola transaksi sebagaimana paylater ini termasuk yang diperbolehkan dalam syariat?

 

Ada beberapa pendapat yang memungkinkan untuk kita ambil dalam transaksi ini.

 

Pertama, utangan yang diberikan oleh Grab/Traveloka lewat produk paylater adalah termasuk kategori riba qardli (riba utang) yang diharamkan sebab adanya unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya.

 

Bagaimanapun juga, paylater ini adalah aplikasi berbasis utang (qardl). Hal itu tercermin dari konsumen yang mengakses situs pesan barang atau jasa terlebih dulu, dan selanjutnya untuk pembayarannya ditanggung dulu oleh penerbit paylater (misalnya, Grab, Traveloka, atau lainnya). Dengan demikian, pihak konsumen memiliki utang terhadap perusahaan tersebut. Sampai di sini maka bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yang diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli. Sebab, hukum asal dari utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tidak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.

 

Kedua, utangan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan itu lewat aplikasi Paylater tersebut bukan termasuk riba yang diharamkan sebab tambahan tersebut hanya bisa diperoleh lewat penggunaan aplikasi. Karena harus memakai aplikasi, maka tambahan itu termasuk bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi). Hal ini, berangkat dari qiyas terhadap kaidah berikut:

 

ولو أقرضه تسعين دينارا بمائة عددا والوزن واحد وكانت لا تنفق في مكان إلا بالوزن جاز وإن كانت تنفق برؤوسها فلا وذلك زيادة لأن التسعين من المائة تقوم مقام التسعين التي أقرضه إياها ويستفضل عشرة

 

“Seseorang memberi utang orang lain sebesar 90 dinar, namun dihitung 100, karena (harus melalui jasa) timbangan yang satu, sementara tidak ada jalan lain melainkan harus lewat penimbangan itu, maka hukum utangan (terima 90 dihitung 100) itu adalah boleh. Adapun bila 100 itu hanya sekedar digenapkan pada pokok utang (tanpa perantara jasa timbangan) maka tidak boleh sebab hal itu termasuk tambahan (yang haram). Karena bagaimanapun juga, nilai 90 ke 100 adalah menempati maqam 90, sementara 10 lainnya adalah tambahan yang dipinta.”

 

Aplikasi kedudukannya diqiyaskan dengan timbangan yang mau tidak mau harus dilalui, dan keberadaannya dihitung sebagai jasa (ijarah). Sebagaimana yang berlaku pada timbangan di atas, kedudukannya adalah sebagai jasa (ijarah) yang disewa dengan besaran upah yang ma’lum (diketahui secara jelas) sebesar 10, dan ini sesuai dengan peran aplikasi Grab yang mematok tarif 2000 rupiah per bulan. Lain halnya, bila pinjaman itu tidak dilalui lewat aplikasi, maka angka 2000 per bulan dapat dikategorikan sebagai ziyadah yang diharamkan.

 

Ketiga, mendudukkan akad di atas sebagai akad bai’ tawarruq. Yang sulit diterima pada paylater Traveloka yang memberlakukan bunga itu dengan nilai persentase dalam rentang 2.14% - 4.78% per bulan. Pihak Traveloka sebenarnya sudah menyatakan bahwa bunga itu berlangsung flat (rata). Artinya, setiap bulan, besar cicilan yang disampaikan adalah selalu sama hingga akhir masa cicilan.

 

Dalam catatan penulis, sebenarnya, bila cicilan itu berlaku rata setiap bulan hingga masa jatuh tempo, maka pola transaksi yang terjadi antara konsumen, pedagang, dan Traveloka, adalah menyerupai bai’ tawarruq sehingga hukumnya boleh.

 

Apa itu bai’ tawarruq? Di dalam kitab Fathu al-Qadir, halaman 213 disebutkan contoh dari bai’ tawarruq itu sebagai berikut:

 

كأن يحتاج المديون فيأبى المسئول أن يقرض بل أن يبيع ما يساوي عشرة بخمسة عشر إلى أجل فيشتريه المديون ويبيعه في السوق بعشرة حالة ، ولا بأس في هذا فإن الأجل قابله قسط من الثمن والقرض غير واجب عليه دائما بل هو مندوب

 

“Seperti orang yang membutuhkan utangan, namun pihak yang diutangi enggan memberikan pinjaman, dan bahkan justru menjual kepada orang tersebut barang seharga 10 dengan harga 15 secara kredit, lalu orang tersebut (menerima, lalu) menjual barang tersebut di pasar dengan harga 10 secara tunai, maka [jual beli seperti itu] adalah boleh karena kredit sifatnya adalah berimbal harga, sementara memberi pinjaman hukumnya adalah selamanya tidak wajib melainkan sunnah.”

 

Syarat dari berlakunya bai’ tawarruq ini adalah juga menitiktekankan jelasnya harga, yaitu 15. Selanjutnya, selisih antara 15 dan 10, yang sebesar 5, dijabarkan dalam bentuk cicilan bulanan. Jika mekanismenya berlaku sedemikian rupa, maka tak dapat dipungkiri bahwa itu merupakan transaksi kredit. Masalahnya adalah, paylater Traveloka menerapkan persentase. Jadi, tidak mungkin kita menggunakan kaidah di atas.

 

Keempat, ada solusi yang hampir mendekati pandangan di atas, yaitu menjadikannya akad ju’alah (sayembara). Jadi, seolah telah terjadi transaksi antara konsumen paylater dengan Traveloka lewat jasa aplikasi pada saat pihak konsumen mulai mengaksesnya dan mengontak pihak Traveloka. Saya ingin membeli menyewa tempat ini dengan harga sekian, tolong diuruskan, nanti kamu saya kasih fee sebesar sekian persen per juta biayanya.

 

قال الشافعية لو قال لغيره اقترض لي مائة ولك علي عشرة فهو جعالة

 

“Ulama kalangan Syafiiyah berkata: “Seandainya ada orang yang berkata kepada rekannya: Carikan aku utangan sebesar 100, dan kamu akan mendapatkan dariku 10%-nya.” Maka akad seperti ini masuk kelompok ju’alah (sayembara).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

 

Ulama’ kalangan Hanabilah menyebut sebagai berikut:

 

إذا استقرض الإنسان لغيره بجاهه قال الحنابلة: له أخذ جعل منه مقابل اقتراضه له بجاهه بخلاف أخذ الجعل على كفالته له فإنه غير جائز

 

“Apabila seseorang meminta orang lain agar mencarikan utangan untuk dirinya dengan berbekal kepercayaan yang dimilikinya, maka para ulama Hanabilah berkata: “Boleh bagi orang tersebut mengambil akad ju’alah, yang dengannya ia mengambil fee sebanding dengan utangan yang berhasil didapatkannya berbekal jah (kepercayaan) yang dimilikinya. Hal ini tentu berbeda jika pengambilan akad ju’alah tersebut menjadikan pihak yang berposisi mencarikan berubah menjadi kafil. Pada saat pihak yang mencarikan utangan berlaku sebagai kafil, maka hukumnya adalah tidak boleh (sebab kedudukan kafil adalah setara dengan pihak yang berutang. Ia akan dimintai pelunasan jika pihak debitur mangkir dari pelunasan).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

 

Alhasil, dengan mencermati berbagai takyif (rincian akad) yang dilalui di atas, serta menimbang peran kebutuhan yang mendesak dalam penggunaan aplikasi Paylater, maka hukum penggunaannya bisa dibagi menjadi 4.

 

Adapun, langkah bijak dalam menyikapi perbedaan hukum di atas, adalah dengan jalan mengambil kaidah keluar dari ikhtilaf adalah mustahab (yang dianjurkan). Maksudnya, bagi yang sangat berkepentingan dengan jasa paylater, maka solusi yang tepat baginya adalah mengikut jalur pendapat yang membolehkan. Adapun, bila kondisi itu tidak bersifat darurat, maka sebaiknya tidak menggunakan aplikasi tersebut mengingat adanya indikasi unsur riba yang diharamkan di dalamnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur