Syariah

Haram Memborong Masker di Pasaran untuk Dijual dengan Harga Tinggi

Sabtu, 7 Maret 2020 | 13:00 WIB

Haram Memborong Masker di Pasaran untuk Dijual dengan Harga Tinggi

Ciri khas monopoli adalah ada pada tindakan sepihak berupa penimbunan/penguasaan barang tertentu, dengan niat meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Hukum ekonomi menyatakan bahwa “saat kebutuhan akan sumber daya yang jumlahnya terbatas merangkak naik, maka pasar akan meresponsnya sebagai kenaikan pada harga.” Demikian kiranya yang tengah terjadi di kancah nasional hari ini. Karena antisipasi terhadap wabah corona, sehingga masyarakat membutuhkan kehadiran masker, pasar merespons kebutuhan tersebut dengan kenaikan pada harga satuan per unit masker. Tidak tanggung-tanggung, kenaikan tersebut bisa mencapai 330 ribu rupiah. Sebenarnya bagaimana syariat memandang hal ini?

 

Beberapa pihak mengaitkan bahwa tindakan di atas adalah sama dengan tindakan monopoli (ihtikar) atau menimbun barang. Benarkah begitu? Jawabnya, ya belum tentu juga. Kita perlu mencermatinya terlebih dulu sebelum menghukuminya.

 

Apotek atau pihak penjual masker itu umumnya membeli barang sudah dalam jangka waktu yang lama. Bahkan mungkin ada yang sampai berpikiran, kok enggak laku-laku. Modalnya tertahan dalam bentuk barang seiring lamanya jangka waktu. Pihak yang demikian ini, sudah pasti tidak bisa dikategorikan sebagai pihak penimbun. Hanya faktor kebetulan saja, mereka punya masker yang belum terjual.

 

Namun, juga tidak menutup kemungkinan, bahwa ada pihak yang memanfaatkan momen dan kepanikan masyarakat yang tengah berlangsung sehingga berusaha memborong barang yang potensial laku untuk dijual kembali dengan harga yang fantastis guna meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Tindakan seperti inilah yang disebut sebagai ihtikar (menimbun harta).

 

الاحتكار هو حبس مال أو منفعة أو عمل، والامتناع عن بيعه وبذله حتى يغلو سعره غلاءً فاحشاً غير معتاد، بسبب قلته، أو انعدام وجوده في مظانه، مع شدة حاجة الناس أو الدولة أو الحيوان إليه

 

“Monopoli itu adalah tindakan memborong barang atau manfaat atau pekerjaan jasa, tidak dijualnya atau disalurkannya sehingga harganya bergerak naik dengan kenaikan yang bersifat menindas dan tidak lumrah, sebagai akibat dari minimnya barang itu di pasaran atau langka, bersamaan dengan sangat butuhnya masyarakat akan wujudnya, atau negara, atau bahkan hewan peliharaan” (Dr Fathi al-Darainy, Buhutsu Muqaranah fi al-Fiqhi al-Islamy wa Ushulihi, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2008, juz 1, halaman 411).

 

Jadi, ciri khas monopoli itu adalah ada pada tindakan sepihak berupa penimbunan/penguasaan barang tertentu, yang disertai dengan niat menaikkan harganya secara fantastis saat terjadinya krisis guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Istilah lainnya, adalah bisnis temporer dan berbasis momentum.

 

Dalam syariat, hukum asal monopoli itu diharamkan dan hanya berlaku pada produk jenis makanan pokok. Hal ini berangkat dari firman Allah SWT:

 

وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيراً لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ

 

“Tiada larangan bagi kalian memakan hayawan yang disembelih dengan disebut nama Allah atasnya. Allah telah menjelaskan secara rinci kepada kalian segala apa yang diharamkan kecuali karena terpaksa. (Q.S. Al-Anfal [: 119)

 

من احتكر طعاماً أربعين يوماً فقد برىء من الله وبرىء الله منه» رواه أحمد والحاكم بسند جيد عن ابن عدي

 

“Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, maka ia lepas tangan dari Allah dan Allah juga berlepas diri darinya.” HR. Ahmad dan Hakim dengan sanad jayyid, dari Ibnu ‘Adiy.

 

Adapun pada barang/produk lain, seumpama masker, hal tersebut adalah berangkat dari qiyas pada sifat dlaruratnya makanan, disebabkan adanya faktor penguat (murajjih) yaitu kebutuhan (hajat). Kaidah yang berlaku dalam hal ini adalah:

 

الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أم خاصة

 

“Hajat suatu ketika dapat menempati derajat primer (dlarurat) baik secara umum atau secara khusus.”

 

Berangkat dari dasar ini maka menimbun masker melalui aksi borong barang untuk maksud dijual dengan harga fantastis (ghalâan fakhisyan) guna meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah termasuk bagian dari ihtikar yang diharamkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur