Syariah

Ketentuan Hukum Jual Beli Borongan dalam Islam

Sel, 4 September 2018 | 03:30 WIB

Ketentuan Hukum Jual Beli Borongan dalam Islam

Ilustrasi (iStock)

Salah satu syarat jual beli adalah wajib mengetahui barang yang hendak diperjualbelikan, baik wujud fisiknya barang ('ain), kadarnya maupun sifatnya, dengan tujuan menghindari adanya gharar (penipuan) yang mungkin saja terjadi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر

Artinya: “Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu: Sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang dari jual beli gharar (penipuan).” (Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 156).

Gambaran sederhana dari jual beli gharar ini misalnya adalah akad menjual salah satu dari dua baju yang digantung. Pembeli tidak mengetahui secara pasti, mana dari kedua baju yang sedang ditawarkan. Padahal, kedua baju berbeda jenis dan ukurannya. Inilah yang dimaksud dari jual beli gharar. Hukumnya haram dan akadnya tidak sah (batal). 

Permasalahannya kemudian, bagaimana dengan jual beli barang tumpukan atau jual beli borongan yang umum berlaku di masyarakat dengan kondisi barang seragam dan sejenis? Jual beli borongan adalah jual beli suatu barang yang masih ada dalam bentuk tumpukan, atau bahkan belum dipetik sama sekali dari pohonnya. Barang yang dijual adalah barang yang berwujud sebagaian dari tumpukan itu, atau bahkan total semua barang yang ada namun tidak diketahui kadarnya. Di dalam literatur fiqih, akad jual beli tebasan/borongan ini dikenal dengan istilah bai’u shabratin atau bai’u jazafin. Dalam kitab Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Syekh Jalaluddin Al-Mahally menjelaskan hukum dari jual beli borongan ini sebagai berikut:

ويصح بيع صاع من صبرة تعلم صيعانها للمتعاقدين وينزل على الإشاعة فإذا علما أنها عشرة آصع فالمبيع عشرها فلو تلف بقدره من المبيع 

Artinya: “Sah jual beli satu sha’ di antara tumpukan barang yang diketahui wujud tumpukannya oleh dua orang yang berakad sehingga barang dipandang secara global saja. Misalnya, diketahui bahwa tumpukan itu terdiri dari 10 sha’, sementara barang yang dijual hanya 1/10-nya (1 sha’), meskipun sebagian dari barang itu ada yang rusak.” (Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 156).

Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa sah melakukan jual beli sebagian dari barang sejenis yang masih berwujud tumpukan, meskipun di antara tumpukan itu ada barang yang rusak wujudnya. 

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar jual beli ini menjadi sah, yaitu:

- Wujud barang yang ditumpuk adalah berupa barang sejenis dan tidak bercampur dengan barang lain. Misalnya: tumpukan gandum, berarti seluruh dari isi tumpukan ini terdiri atas gandum.

- Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tumpukannya. Untuk syarat kedua ini sebenarnya bukan syarat baku, karena meskipun ada barang yang rusak di antara tumpukan itu, asalkan barangnya sejenis, maka masih sah untuk diperjualbelikan, dengan syarat diketahui kebutuhan takaran yang dikehendaki oleh pembeli.

- Kedua orang yang berakad menentukan jumlah takaran yang hendak dibelinya. Takaran ini bisa berwujud takaran kilogram, liter dan sejenisnya 

Jika syarat ini kita tarik dalam jual beli tebasan di lahan, maka syarat mutlak yang harus dipenuhi agar jual beli tebasan menjadi sah, adalah:

- Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tanaman yang hendak diborongnya

- Tanamannya harus seragam (sejenis). 

- Pemborong harus menentukan besar takaran yang hendak dibelinya karena ada kemungkinan sebagian dari barang ada yang rusak.

Dari ketiga syarat ini, syarat yang ketiga sering dilewatkan oleh kedua orang yang sedang bertransaksi di lapangan. Syarat itu adalah berupa jumlah takaran yang hendak diborong atau dibutuhkan oleh si pemborong. Pada umumnya, para pemborong tebasan adalah ingin mengambil untung dari kelebihan takaran barang yang ditebasnya, dan hal ini menurut qaul yang paling shohih dari madzhab Syafi’i adalah tidak diperbolehkan karena adanya unsur gharar  yang tersimpan. Syekh Jalaluddin al-Mahally lebih lanjut menjelaskan: 

ولو باع بملء ذا البيت حنطة أو بزنة هذه الحصاة ذهبا أو بما باع به فلان فرسه أي بمثل ذلك وأحدهما لايعلمه أو بألف دراهم ودنانير لم يصح البيع للجهل بقدر الثمن الذهب والفضة وغيرهما
 
Artinya: “Seandainya ada seorang penjual hendak menjual emasnya, (ditukar) dengan seluruh hinthah yang memenuhi rumahnya atau dengan timbangan kerikil misalnya, atau ditukar dengan hasil menjual kudanya suatu misal, sehingga salah satunya tidak diketahui, atau dengan 1000 dirham dan beberapa dinar, maka tidak sah jual beli tersebut disebabkan ketidak tahuan harganya, baik emas, perak atau selain keduanya.” (Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 156).

Dalam ibarat ini, Syekh Jalaluddin al-Mahally menjelaskan bahwa prasyarat agar jual beli borongan dipandang sah secara syara’, maka harus diketahui besaran harganya (thaman). Besaran harga ini penting artinya agar kedua pihak yang berakad tidak saling merasa dirugikan. Pernyataan “sebesar tumpukan hinthah yang ada di rumah”, atau “seharga jual kuda” adalah merupakan pernyataan yang mengandung pengertian samar (mubham). Agar memenuhi syarat ma’lum, maka pernyataan harus diubah menjadi: “1 kuintal hinthah” atau misalnya “1000 dinar”. Bedakan antara istilah “1000 dinar” dengan “beberapa dinar!” Keduanya jelas memiliki perbedaan yang mendasar di antara keduanya. 

Semua pendapat di atas, adalah pendapat dari Syekh Jalaluddin al-Mahally dalam kitabnya Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn. Lebih lanjut, pembaca bisa merujuk sendiri dalam kitab tersebut. Lantas, bagaimana pandangan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap jual beli tebasan? Mari kita simak ibarat dari kitab Al-Majmu’ berikut ini:

 فَرْعٌ لَوْ كَانَتْ الصُّبْرَةُ عَلَى مَوْضِعٍ مِنْ الأَرْضِ فِيهِ ارْتِفَاعٌ وَانْخِفَاضٌ فَبَاعَهَا وَهِيَ كَذَلِكَ أَوْ بَاعَ السَّمْنَ أَوْ نَحْوَهُ فِي ظَرْفٍ مُخْتَلِفِ الأَجْزَاءِ رِقَّةً وَغِلَظًا فَفِيهِ ثَلاثَةُ طُرُقٍ ( أَصَحُّهَا ) أَنَّ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ قَوْلَيْ بَيْعِ الْغَائِبِ لانَّهُ لَمْ يَحْصُلْ رُؤْيَةٌ تُفِيدُ الْمَعْرِفَةَ ( وَالثَّانِي ) الْقَطْعُ بِالصِّحَّةِ ( وَالثَّالِثُ ) الْقَطْعُ بِالْبُطْلانِ وَهَذَا ضَعِيفٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَهُوَ ضَعِيفٌ وَإِنْ كَانَ مَنْسُوبًا إلَى الْمُحَقِّقِينَ ( فَإِنْ قُلْنَا ) بِالصِّحَّةِ فَوَقْتُ الْخِيَارِ هُنَا مَعْرِفَةُ مِقْدَارِ الصُّبْرَةِ أَوْ التَّسَكُّنِ مِنْ تَخْمِينِهِ بِرُؤْيَةِ مَا تَحْتَهَا ( وَإِنْ قُلْنَا ) بِالْبُطْلانِ فَلَوْ بَاعَ الصُّبْرَةَ وَالْمُشْتَرِي يَظُنُّهَا عَلَى أَرْضٍ مُسْتَوِيَةٍ فَبَانَ تَحْتَهَا دَكَّةٌ

Artinya: “Pengembangan Masalah. Andaikan ada sebuah tumpukan barang di atas suatu tempat di bumi yang mana tempat tersebut ada bagian yang tinggi dan ada bagian yang turun dari permukaan (tidak rata), kemudian pembeli menawarkan tumpukan sebagaimana adanya tersebut, atau ada seseorang yang menawarkan bubur samin atau sejenisnya, sementara permukaannya ada bagian yang tipis dan ada pula bagian yang tebal, maka ada tiga kemungkinan hukum yang berlaku: (1) Pendapat yang paling shahih adalah pernyataan sahnya jual beli menyerupai jual beli barang ghaib dengan alasan tidak tercapainya pengetahuan dengan tepat. (2) Kepastian sahnya akad. (3) Kepastian batalnya akad. Pendapat ini merupakan pendapat yang lemah. Imam Al Rafii mengatakan: pendapat ketiga adalah pendapat yang lemah jika dibangsakan kepada pelaku berupa ahli tahqiq (ahli tebas). Alasan kita menyatakan sah adalah pada waktu khiyar, di sana terdapat upaya untuk memprediksi kadar tumpukan, atau dengan jalan memasukkan tangan ke dalam tumpukan tersebut untuk mengetahui kondisi tumpukan bagian bawahnya. Alasan kita menyatakan batal adalah apabila seorang hamba menjual suatu barang tumpukan, sementara pembeli mengira bahwa tumpukan tersebut berada di bumi yang rata, padahal ternyata di bawahnya terdapat bagian yang menonjol.” (Lihat: Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al-Mathba’ah al-Munîrah, tt.: 9/83)

Berdasarkan pendapat Imam Nawawi yang termaktub dalam kitab al-Majmu’ di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa jual beli tebasan adalah sah dan diperbolehkan manakala terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harga per takaran sudah ditentukan di muka

2. Pihak yang membeli mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak ditebasnya. Cara mengetahui ini sebagaimana dicontohkan dalam bunyi ibarat adalah dengan jalan menenggelamkan tangan ke dalam tumpukan sehingga dapat memprediksi kondisi bagian bawahnya. Bila hal ini ditarik ke lahan, ada kalanya jarak tanam, panjang larikan tanaman, berat buah yang dihasilkan dari sekian batang yang hendak ditebas, cukup dapat dijadikan patokan tolok ukur mengetahui kondisi takaran barang.

3. Orang yang melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong barang sehingga kecil kemungkinan mengalami kesalahan dalam prediksinya. 

4. Karena adanya kemungkinan salah atau benarnya hasil prediksi terhadap ukuran barang, maka jual beli tebasan disamakan dengan jual beli barang yang belum pernah dilihat (ghaib). 

Walhasil, jika diperhatikan dengan seksama, pendapat Syekh Jalaluddin al-Mahally dan pendapat Imam Nawawi di atas pada dasarnya tidak saling bertabrakan. Syekh Jalaluddin al-Mahally menyatakan keharusan menentukan kadar disebabkan ada kemungkinan barang rusak dalam tumpukan. Sementara itu, kadar kesalahan prediksi ini oleh Imam Nawawi dinyatakan dapat dijembatani melalui penaksiran dengan menyatakan langsung bukti fisik barang. Batasan-batasan kondisi barang sehingga mudah diprediksi secara tidak langsung ditetapkan sebagai langkah praktis memberikan perkiraan total takaran yang bisa didapat. Wallâhu a’lam bish shawâb.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua