Syariah

Mengenal Akad Investasi Syariah dalam Kajian Fiqih Muamalah

Ahad, 22 Desember 2019 | 14:30 WIB

Mengenal Akad Investasi Syariah dalam Kajian Fiqih Muamalah

(Ilustrasi: via twitter.com)

Apa itu investasi? Apa itu produk investasi? Apa pula yang dimaksud dengan istilah investasi syariah? Tiga pertanyaan ini setidaknya harus dijawab terlebih dulu oleh seseorang ketika ia ditawarkan suatu mekanisme investasi baik yang mengatasnamakan investasi konvensional maupun investasi syariah.

Investasi adalah suatu aktivitas menempatkan dana pada satu periode tertentu dengan “harapan” penggunaan dana tersebut dapat menghasilkan keuntungan dan/atau peningkatan nilai investasi. Dalam investasi, ada kemungkinan untung atau rugi dialami oleh investor. Peluang untung dan rugi ini bukan lantas kemudian menjadikan aktivitas investasi ini sebagai dikategorikan maisir (spekulatif) karena peluang itulah maka ada yang dinamakan istilah kerja (kulfah).

Beberapa kasus belakangan ini menimpa pada sejumlah usaha investasi yang mengatasnamakan investasi syariah. Sudah dilabeli dengan syariah, kok ternyata tidak kuat secara hukum dan justru menjadikan penggagasnya ditangkap polisi.

Kekhawatiran kita justru terletak pada syariahnya yang dilabeli negatif oleh orang awam. Padahal, dalam praktiknya, kita harus curiga, bahwa penggagasnya ini sebagai orang yang memanfaatkan kesempatan ghirah umat Islam Indonesia yang tengah tinggi ini sebagai ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk itu penting bagi kita, mengenal apa itu investasi syariah.

Mengenal terlebih dulu sebuah produk merupakan syarat terpenting bagi seorang individu Muslim agar dirinya tidak tercebur dalam transaksi jahalah, yaitu transaksi yang tidak diketahuinya apakah termasuk transaksi riba atau tidak, termasuk transaksi gharar (penipuan) atau tidak. Jika transaksi masuk kategori yang dilarang oleh syariat, maka sudah pasti di sana terdapat akad riba, gharar (penipuan), curang (ghabn) dan dharar (merugikan).

Sebagian di antaranya menyimpan unsur maisir (untung-untungan) dan menjanjikan bonus keuntungan yang tidak masuk akal. Padahal tidak ada bentuk usaha (amal) yang dilakukan. Pendapatan seperti ini dikenal dengan istilah pendapatan pasif (passive income) dan hukumnya adalah haram. Jadi, bukan syariahnya yang salah, tapi pelakunya itu yang patut diteliti motifnya dalam mengatasnamakan aktivitas bisnisnya dengan label syariah.

Ciri Sebuah Investasi disebut Berbasis Syariah
Pada dasarnya, investasi syariah adalah upaya tanam modal dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa mendatang, dengan pola bagi hasil dan pembagian kerja sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip syariah yang dimaksud di sini adalah tidak adanya transaksi riba, jauh dari unsur gharar, ghabn, maisir dan jahalah. Biasanya akad ini dilabeli begitu saja dengan istilah qiradh. Sementara itu, metode pelaksanaannya memakai wasilah syirkah (kemitraan). Kemitraan yang pola geraknya bagaimana? Ini yang kemudian akan menjadi bahan dialektika pemikiran berikutnya.

Suatu akad qiradh (permodalan) dalam syirkah bisa disebut sebagai akad investasi syariah, ketika memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Adanya ikatan kontrak (perjanjian) kapan kerja sama dua pihak ini berakhir.

2. Adanya lahan tempat menyalurkan kerja (amal). Lahan ini sering dikenal sebagai obyek akad. Tanpa adanya lahan tempat menyalurkan kerja, maka suatu produk tidak dapat disebut investasi, bahkan mungkin akan lebih condong pada money game.

3. Ada bentuk capaian produk yang dikehendaki dan terukur secara jelas. Misalnya, produk gelas, produk rumah, dan lain sebagainya.

4. Adanya nisbah pembagian hasil keuntungan yang disepakati. Dalam akad musaqah misalnya, nisbah bagi hasil itu harus disepakati di awal, atau sebagaimana ‘urf yang berlaku di masyarakat setempat.

5. Adanya dua pihak yang saling bekerja sama untuk memproduksi sesuatu. Salah satunya bertindak selaku pemilik modal (rabbul mal) dan pihak yang lain berperan selaku amil (pelaksana kontrak).

6. Pihak pemodal harus menyerahkan modalnya kepada mudharib (pengelola) sepenuhnya untuk dikelola dan ditasarufkan.

Obyek Investasi Syariah
Dalam fiqih klasik, akad musaqah adalah bagian dari contoh praktis investasi syariah. Akad ini ditengarai dengan adanya perintah mengupayakan agar berbuahnya pohon kurma (nakhl) dan anggur (karam) kepada amil. Adanya perintah membuahkan ini dikenal dengan istilah istitsmar. Nah, akad investasi modern mengambil intisari dari akad musaqah sehingga akadnya pun dikenal dengan istilah akad istitsmar. Namun, obyek investasi ini mengalami perkembangan yang pesat. Obyek investasi tidak lagi hanya berbentuk obyek budi daya  tanaman atau buah, melainkan sudah merambah ke arah pembangunan real estat, properti, bahkan berupa saham, portofolio saham, dan lain sebagainya yang diperdagangkan lewat pasar spot.

Akad Investasi Syariah Dunia Modern
Hari ini, obyek investasi syariah yang menjadi primadona di kalangan masyarakat kelas menengah dan awam adalah investasi pada unit kerja bidang pertanian, perkebunan, budi daya tambak, dan aneka produk peternakan. Yang memiliki kebun, tambak, sawah adalah para petani, tetapi mereka tidak memiliki modal. Itulah sebabnya mereka berusaha menjalin kerja sama dengan lembaga yang mengumpulkan dana masyarakat. Karena basisnya adalah kerja sama, maka akadnya masuk dalam kelompok akad syirkah (kemitraan). Pertanyaan mendasarnya adalah syirkah apa?

Selanjutnya, karena dana ini bisanya diperoleh hanya jika ada fasilitator yang mengumpulkan, maka risiko yang terjadi adalah bahwa fasilitator ini berperan dalam mengatur aliran penyaluran dana itu kepada petani yang memerlukan. Akibatnya, perannya menjadi ganda, yaitu selain sebagai wakil dari petani dan pemodal, mereka juga berperan selaku yang mengelola harta amanah dari investor tersebut (mudharib).

Selain mengatur penyaluran dana, peran mudharib ini juga ternyata berperan mengatur bentuk bagi hasilnya, baik antara mudharib dan petani, maupun antara mudharib dan pemilik dana sebenarnya. Obyek amalnya mudharib terhadap investor adalah pertanggungjawaban dalam mengelola harta investasi dari investor sehingga berhak baginya mendapatkan ujrah atau upah. Apakah sudah pas jika disebut sebagai ujrah saja?

Memang, seorang mudharib ini tidak berhak untuk mendapatkan ujrah. Hak ia sebenarnya adalah nisbah bagi hasil pengelolaan itu. Umumnya ujrah diberikan karena relasi akad ijarah.

Jika seorang mudharib dipandang sebagai wakil, maka benar dia berhak mendapat ujrah atas jasa yang telah dilakukannya. Misalnya, setelah mengangkut batu, maka seseorang berhak mendapatkan ujrah atau imbalan atas jasa mengangkutnya itu. Amalnya bersifat khusus, dan ukuran kerjanya juga jelas. Namun, dalam mengelola dana investor yang sudah pasti tidak hanya terdiri atas seorang saja, maka seorang mudharib harus mengelolanya dengan bidang obyek pengelolaan yang lebih rumit dari sekadar menyalurkan dana seorang investor. Hal ini membutuhkan keterampilan matematis dan penghitungan yang cermat. Hal ini juga membutuhkan peran kerja dari seorang manajer yang mumpuni di bidangnya selain membutuhkan sarana dan fasilitas pendukung dalam kerja.

Jasa manajerial ini sudah pasti menghendaki yang dinamakan bagi hasil pengelolaan dana secara umum. Itulah sebabnya bukan sekadar ujrah yang wajib diterima kepada seorang mudharibnya, melainkan juga akad “bagi hasil” pengaturan dari dana yang terkumpul itu dengan investor yang dihimpun. Akad bagi hasil ini dinamakan dengan istilah mudharabah.

Hal yang sama juga berlaku dalam hubungannya antara pihak mudharib dan petani penggarap. Relasi ini secara jelas dinamakan dengan istilah akad bagi hasil.

Alhasil, ada dua akad bagi hasil di sini. Dengan demikian selain basis akad syirkah, ternyata juga ada akad mudharabah. Untuk itulah, akad sebagaimana relasi antara “investor–mudharib–petani” di atas dinamakan sebagai akad syirkah mudharabah. Ia disebut syirkah karena akadnya berupa kemitraan. Ia disebut mudharabah karena ada bagi hasil yang ganda. Akad syirkah mudharabah inilah yang kemudian dikenal sebagai “investasi syariah” itu. Apakah akad ini mu’tabar? Dalam hal ini kita perlu menguraikannya dari sisi jaminan keamanan (dhaman) yang menjadi pengikat ketiga pihak di atas. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.