Tafsir

Arti Dharaba di Al-Qur’an: Dari Berjalan Hingga Bagi Peran dan Bagi Hasil

Ahad, 29 September 2019 | 02:00 WIB

Mudhârabah merupakan isim musytaq (kata benda jadian) dari lafal yang mengikuti wazan mufâ’alah dari bentuk verbanya ضارب (dibaca: dhâ-ra-ba) dengan bacaan panjang pada ‘ain fi’il-nya. Istilah ini mengutip dasar dari Al-Qur’ân, yaitu Surat An-Nisâ ayat 101 dan Surat Al-Muzammil ayat 20.

Allah SWT berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاة

Artinya, “Ketika kalian mengadakan perjalanan di bumi untuk shafar, maka tidak ada dosa bagimu untuk mengqashar shalat.” (Surat An-Nisâ ayat 101).

Allah SWT juga berfirman:

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللهِ

Artinya, “Sementara itu, pihak yang lain ada yang mengadakan perjalanan di bumi untuk mencari anugerah dari Allah,” (Surat Al-Muzammil ayat 20).

Kedua ayat ini turun berkaitan dengan upaya umat Islam berbagi tugas menekuni bidang-bidang tertentu. Seolah ayat ini menganjurkan bahwa hendaknya kaum muslimin ada yang bertugas mengurusi tentara, pendidikan, dan ada  pula yang bertugas dalam rangka niaga. Semua dimaksudkan untuk kebutuhan kaum muslimin.

Dari maksud berbagi tugas ini kemudian lahir istilah mudhârabah. Di antara tugas-tugas ini, masing-masing harus saling mengikat dan terkoordinasi serta berhubungan antara satu sama lain. Tidak ada yang lebih utama. Pihak yang mengurus tentara, tidak lebih utama dari mereka yang mengurus ekonomi.

Pihak yang mengurus ekonomi tidak lebih utama dari yang bertugas mengurus pendidikan. Ketiganya tidak pula lebih utama dari petani yang memang menekuni profesi pertaniannya. Sifat jalinan ini disampaikan dalam bentuk wazan mufâ’alah, yang menunjukkan pengertian "saling". Jadi, mudlârabah dalam hal ini juga bermakna saling berbagi 'bagian' atau job.

Di dalam ayat yang lain, Allah SWT memberikan suatu perumpamaan dengan menggunakan ayat dharaba matsalan (memberi perumpamaan). Ketika kosa kata ini dipergunakan, maka lafal dlaraba, seolah menunjukkan pada makna klasifikasi dan penjelasan. Misalnya ayat berikut ini:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

Artinya, “Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan Istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah. Dikatakan (kepada kedua istri itu), ‘Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka),’” (Surat At-Tahrîm ayat 10).

Di dalam Surat At-Tahrîm ayat 11, Allah SWT juga berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Artinya, “Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,” (Surat At-Tahrîm ayat 11).

Sebenarnya masih banyak lagi ayat yang menggunakan lafal dharb ini di dalam Al-Qur’an. Namun, dua ayat ini sudah dapat merangkum dari keseluruhan ayat tersebut. At-Thabary dalam kitab tafsirnya, secara tersirat menggambarkan makna dharb dalam kedua ayat terakhir ini sebagai al-washfu wat tabyîn (spesifik/klasifikasi dan penjelasan).

Ditinjau dari sisi balaghahnya, ayat-ayat di atas berkutat di seputar perumpamaan (metafor). Ditinjau dari sisi balaghah (sastra), rukun dari membuat metafor ini ada 4, yaitu adanya musyabbah, musyabbah bihi, wajh syibh dan 'adat syibh. Bila masing-masing rukun ini, kita ejawantahkan dalam urusan niaga, maka akan terpetakan sebagai berikut:

1.    Adanya musyabbah, yaitu sesuatu yang hendak diserupakan. Yang hendak diserupakan (obyek yang diserupakan) dalam hal ini adalah dua orang atau lebih yang memiliki keinginan untuk berserikat dan menjalin kemitraan dalam melakukan usaha niaga).

2.    Adanya musyabbah bih, yaitu obyek penyerupaan. Yang dijadikan obyek penyerupaan adalah gambaran dari istri-istri para nabi yang mengkhianati suaminya. Dengan kata lain, dalam suatu kemitraan, bila ada salah satu anggota yang berkhianat dengan tidak menjalankan peran dan fungsinya sesuai deskripsi tugas yang diberikan, maka Allah akan menghilangkan keberkahan dari akad kemitraan itu.

3.    Adanya wajh syibh, yaitu tujuan dari penyerupaan. Tujuan dari penyerupaan adalah mendapatkan gambaran bahwa di dalam kemitraan dan usaha bersama, hendaknya masing-masing bersikap amanah terhadap perannya, tidak boleh saling menzalimi.

4.    Adanya adat tasybih. Adat tasybih dalam niaga ibarat seorang mudharib (pengelola) yang berfungsi menjaga musyabbah (harta niaga yang diserupakan) agar berjalan sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh anggota kelompok. Kedudukan pengelola adalah sebagai “adat”, yaitu alat saja/manajer/direktur.

Maha Suci Allah lagi Maha Sempurna dalam Firman-Nya! Satu ayat ternyata banyak sekali menyimpan maksud dan tidak hanya bercerita seputar kisah. Inilah keparipurnaan Al-Qur’an sebagai wahyu kalam ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat. 

Walhasil, dharaba yang merupakan verba asli (fiil mujarrad) dari kata kerja dhâraba dengan kata benda jadiannya mudhârabah, adalah menyimpan makna berbagi tugas dalam suatu urusan tertentu dengan deskripsi yang jelas guna mencapai tujuan bersama. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya!
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur